Nostalgia yang selalu kukenang. Ah...! Entah sampai kapan bayangan tentangmu akan menghilang semakin kupendam semakin kuat asa yang kurasakan.
Sebuah asa yang sangat menyiksa. Sesempurna itukah dia? Sehingga aku tidak dapat menemukan sosoknya pada orang lain? Sesempurna itukah dia? Sehingga tahtanya tidak tergantikan dalam hati dan jiwaku?
Memejamkan mata di kesunyian malam. hal terindah yang kerap kulakukan. Menata hati agar berhenti bergejolak. Bayang semu sebuah nama yang terus terukir dalam jiwa dan mimpi.
Larik-larik senja bergelayut manja. Menyisakan rona jingga di ufuk timur, membelai hangat sekujur tubuh, "Akh, aku sangat merindukannya," gumamku.
Kurasakan rona senja sore itu, seolah menjelma menjadi sosok yang rupawan. Membawaku ke suatu tempat yang belum pernah kudatangi. Semerbak aroma bunga menyeruak ke dalam penciumanku, kembali kupejamkan mata. Mencoba menikmati sajian senja sore itu. Kutarik nafas sedalam-dalamnya dan kuhembuskan lewat mulut yang mulai bergetar menahan sesaknya rindu dalam dada.
Sejenak aku terdiam. Hingga bisikan senja mengusik diamku seakan tau apa yang aku rasa "Aku tidak menjanjikan keindahan senja esok hari, begitupun dengan waktu yang tak akan bisa terulang, semua yang kita lalui saat ini hanya akan menjadi cerita dalam kenangan yang menyisakan rindu."
Senja pun tidak selalu indah keadaan yang memaksanya terus berubah, tapi... Apa langit selalu merindukan rona senja yang sama??
Langit seakan mendengar bisikan hatiku dan ia berkata. "Aku selalu menerima perubahan senja tanpa memaksa untuk memberikan rona yang indah di setiap senjanya."
Aku belajar pada langit yang menerima perubahan tanpa memaksa keadaan. Perlahan malam menyapa dengan keheningan. Dari balik jendela kamar memandang rembulan bersembunyi di balik awan di antara kerlip bintang yang bertaburan
Angin datang menghampiri dengan kemurungan, aku bertanya "Wahai angin mengapa wajahmu tampak murung?" Angin tidak lantas menjawab ia membelaiku dengan raut kesedihan dan.... ia menangis. Angin berkata di sela tangisnya," Rindumu masih digenggamanku, sebuah nama yang kau rindu telah membuangnya dibalik pintu kenangan yang ia tutup rapat."
Mataku menghangat. Gerimis mulai turun dari ceruk bola mataku tanpa mendung. Membentuk anak sungai di kedua pipiku, ia tak rela membiarkan hati ini kembali terluka.