Rintik gerimis menawarkan kesejukkan pada hati nan gersang karena kerinduan hingga pagi menjelang.
Hujan meninggalkan embun yang mengintip malu di sela ujung dedaunan. Sesaat aku merasa sang embun mengejekku."Jangan menangis sayang... Jadi lah sepertiku, yang tidak pernah mengharapkan hujan untuk datang kembali."
"Apakah hujan berjanji untuk kembali?" Tanyaku pada embun. Kemudian embun menjawab "Hujan selalu berjanji untuk kembali, tapi... ia tak kunjung datang hingga mentari pagi membawa kupergi."
Senyumku mengahat, di antara hembusan angin pagi yang begitu bersahabat.
Angin menghampiriku dan berkata "Titipkan rindumu kepadaku akan kubawa kepada sebuah nama yang kau mau," Kuberikan rinduku pada angin dan ia pun menggenggam erat rinduku.
"Jaga rinduku wahai angin, jangan biarkan siapapun merebutnya, rindu ini hanya milikku. Katakan pada sebuah nama yang kutitip rindu. Bahwa aku akan selalu memeluk jiwanya dalam mimpi-mimpiku."
Angin beranjak pergi dengan membawa sepenggal harap dalam hati. Berharap sebuah nama yang kurindu akan menerima titipan rinduku pada angin dengan senyum kebahagiaan, berharap kembali merajut kasih yang telah hilang di balik pintu kenangan.
sepenggal cerita yang menyisakan kenangan bak jelaga yang bergantung pada tepian rindu nan kelam.
Kadang aku ingin berlari sejauh yang aku mau, terbang bersama awan untuk meninggalkan rindu yang tak merindu. Namun, aku kembali diingatkan oleh kenangan.
Nostalgia yang selalu kukenang. Ah...! Entah sampai kapan bayangan tentangmu akan menghilang semakin kupendam semakin kuat asa yang kurasakan.
Sebuah asa yang sangat menyiksa. Sesempurna itukah dia? Sehingga aku tidak dapat menemukan sosoknya pada orang lain? Sesempurna itukah dia? Sehingga tahtanya tidak tergantikan dalam hati dan jiwaku?
Memejamkan mata di kesunyian malam. hal terindah yang kerap kulakukan. Menata hati agar berhenti bergejolak. Bayang semu sebuah nama yang terus terukir dalam jiwa dan mimpi.
Larik-larik senja bergelayut manja. Menyisakan rona jingga di ufuk timur, membelai hangat sekujur tubuh, "Akh, aku sangat merindukannya," gumamku.
Kurasakan rona senja sore itu, seolah menjelma menjadi sosok yang rupawan. Membawaku ke suatu tempat yang belum pernah kudatangi. Semerbak aroma bunga menyeruak ke dalam penciumanku, kembali kupejamkan mata. Mencoba menikmati sajian senja sore itu. Kutarik nafas sedalam-dalamnya dan kuhembuskan lewat mulut yang mulai bergetar menahan sesaknya rindu dalam dada.
Sejenak aku terdiam. Hingga bisikan senja mengusik diamku seakan tau apa yang aku rasa "Aku tidak menjanjikan keindahan senja esok hari, begitupun dengan waktu yang tak akan bisa terulang, semua yang kita lalui saat ini hanya akan menjadi cerita dalam kenangan yang menyisakan rindu."
Senja pun tidak selalu indah keadaan yang memaksanya terus berubah, tapi... Apa langit selalu merindukan rona senja yang sama??
Langit seakan mendengar bisikan hatiku dan ia berkata. "Aku selalu menerima perubahan senja tanpa memaksa untuk memberikan rona yang indah di setiap senjanya."
Aku belajar pada langit yang menerima perubahan tanpa memaksa keadaan. Perlahan malam menyapa dengan keheningan. Dari balik jendela kamar memandang rembulan bersembunyi di balik awan di antara kerlip bintang yang bertaburan
Angin datang menghampiri dengan kemurungan, aku bertanya "Wahai angin mengapa wajahmu tampak murung?" Angin tidak lantas menjawab ia membelaiku dengan raut kesedihan dan.... ia menangis. Angin berkata di sela tangisnya," Rindumu masih digenggamanku, sebuah nama yang kau rindu telah membuangnya dibalik pintu kenangan yang ia tutup rapat."
Mataku menghangat. Gerimis mulai turun dari ceruk bola mataku tanpa mendung. Membentuk anak sungai di kedua pipiku, ia tak rela membiarkan hati ini kembali terluka.
Aku tertunduk, dengan lirih kukatakan kepada angin. "Wahai angin kembalikan rindu itu padaku, biarlah rindu yang tertahan tetap bertahta di hatiku."
Kupejamkan mata dalam keheningan menanti mimpi di penghujung malam, sesaat aku terbuai diantara suara-suara binatang malam yang tidak mengenal batas hidup dan kematian, hingga mata lelah ini menolak cahaya dan terlelap. Malam membungkus tidurku dengan kabut kerinduan.
Kusambut pagi tanpa perubahan. kembali aku berdiri di samping jendela kamar, tak kutemui embun pagi ini. Mungkin, mentari telah membawanya pergi dengan sinar hangatnya. Celoteh burung kenari di ranting kecil seolah ingin mengajakku bercanda, alangkah bahagianya burung-burung itu melompat kian kemari dan berkicau tanpa beban.
Aku yang terjebak dalam kenangan, tanpa kuasa menahan arus rindu yang terus mengalir menuju sebuah nama. Rindu yang membuat aku ingin selalu menatap senja, rindu yang membuat aku selalu ingin menyendiri, menanti angin memberi kabar tentang sebuah nama yang kurindu. Rindu membuat aku bersahabat dengan malam yang setia mendatangkan mimpi-mimpi tentangnya.
Saat ini aku kembali menatikan malam tanpa ingin melewati senja, semburat jingga yang selalu menawarkan ke damaian di tengah pusaran badai kerinduan yang membuncah.
Mataku terlalu lelah untuk terus terjaga hingga sura isak tangis mengusik lelapku.
Aku terbangun kuhampiri malam yang tampak kelam" Wahai malam mengapa kau begitu sedih.? " Malam pun menjawab "Aku tidak lagi membawakan mimpi indah untukmu. " Jawab malam nyaris tak terdengar.
"Wahai malam... Bawakan lagi mimpi untukku, seperti halnya angin yang telah mengembalikan rinduku." Pintaku mengiba pada kegelapan malam.
Kemana aku harus titipkan rinduku? kutegakkan kepala menatap langit, kupadang langit malam yang terbalut awan hitam. Seandainya petir adalah syarat untuk menyatukan rindu ini, aku ingin menjadi awan yang menghitam.
Aku terlalu lama berada di kubangan rindu. Hanya bercumbu dalam mimpi-mimpi bersama bayangan semu sebagai pengobat rindu. Haruskah aku salahkan rindu?? Atau semua hanya rasa yang berlebihan...
Setelah angin mengembalikan rindu dan malam tak lagi memberikan mimpi-mimpi semu.
Aku terpaku membiarkan malam berlalu hingga kantuk kembali menyerang kelopak mataku yang mulai sayu.
Aku tertidur di antara lelahku, samar kudengar bisikan semesta " Istirahatlah di antara lelah dan rindumu manis... kebahagiaan tidak selalu datang lewat pintu, lihatlah masih banyak jendela yang harus kau ketuk dan kau buka, di sana bahagiamu pasti ada."
Aku tersenyum dalam tidurku, " Terima kasih Tuhan...telah KAU berikan anugerah cinta dan rindu di hati ini lewat sosok yang selalu kurindu. Sebuah nama yang akan selalu tinggal dalam jiwaku. " Cinta hanya sebuah cerita. Kita bisa saja mengakhiri semua dengan cerita bahagia tapi... ada yang lebih berhak melakukan itu semua yaitu semesta.
Aku harus terbangun dari mimpi-mimpi meski mungkin aku tak lagi bisa bermain dengan nostalgia, meniup bunga dandaloni kering, bersama angin senja di tepi jalan bersamamu kala itu, yang ada hanya rindu yang kupeluk erat dalam mimpi.
Sayap-sayap cinta yang patah.
Aku tersenyum saat mengingatmu.
Karena saat itu aku sangaaaat merindukanmu.
Aku menangis.
Karena kau tak lagi ada disampingku.
Aku pejamkan mata indah ini.
Aku merasa kau ada di dekatku.
Karena kau telah berada di hatiku selamanya.
Tak ada lagi yang tersisa untukku.
Sebuah nama yang dulu pernah memberikan sinar harapan.
Sebuah Nama yang dulu pernah menjadi milikku.
Kini hanya tinggal kenangan.
Cintamu tak akan pernah membebaskanku.
Bagaimana aku terbang mencari cinta yang lain??
Sementara sayap-sayap cintaku telah patah karena mu.
Cintamu akan tetap tinggal disini dalam jiwa yang nyaris mati.
Jika nanti aku terpikat pada sosok terang dalam kegelapan.
Menghidupkan sinar cintaku yang mulai redup.
Namun tidak akan menghangatkan perasaanku yang sesungguhnyanya.
Karena kamu tidak akan tergantikan oleh sosok siapapun dalam jiwaku.
Harus kuhadapi kenyataan bahwa orang yang kurindu telah menentukan pilihan. Serupa bangunan pasir di tepi pantai, indah, megah, sekali tersapu ombak akan menjadikan segala bentuk kembali seperti semula, yang tersisa hanya keyakinan bahwa di tempat itu pernah ada kenangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H