Mohon tunggu...
neneng salbiah
neneng salbiah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada buku yang ingin kau baca, namun kau tak menemukannya, maka kaulah yang harus menulisnya!

Apa yang kamu lihat itu adalah berita. apa yang kamu rasakan itu adalah puisi dan apa yang kamu khayalkan itu adalah fiksi. saya berharap pembaca tidak menghakimi tulisan-tulisan yang ada di blog ini. karena saya penulis pemula. belum pandai dalam menata ide pokok cerita dalam sebuah paragraf yang sempurna. Seorang ibu rumah tangga yang sedang belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Balik Pintu Rumah Kiayai

18 Maret 2024   14:18 Diperbarui: 18 Maret 2024   15:25 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Balik Pintu Rumah Kiayi

Regina Fatimah Salsabila, gadis usia 16 tahun yang kini duduk di bangku sekolah kelas 10. Dalam lingkungan pondok pesantren.

Jangan bertanya kenapa ia berada di tempat yang awalnya ia anggap mustahil. Apa lagi alasannya kalau bukan desakan orang tua. Saat ia baru saja lulus dari Sekolah Menengah Perama. Ayah dan ibu memintanya untuk meneruskan sekolah di pesantren dengan beribu alasan dan dengan beribu alasan pula Salsa berusaha menolak, namun nihil.

Satu tahun sudah Salsa berada di pesantren. Namun belum bisa menerima dengan logika terhadap kehidupan pesantren yang ia anggap aneh.

Menurutnya, keindahan apa yang tersingkap di tempat ini? atau sebuah keajaiban yang dapat mengabulkan impian? Selama satu tahun di sini semua itu belum pernah ia dapatkan di tempat sederhana yang padat penghuni.

Pertanyaan demi pertanyaan bersemayam di kepalanya. Mengapa orang-orang berbondong masuk ke tempat ini? rela hidup dengan aturan dan peraturan yang semua serba di batasi.

Gadis tomboy yang saat ini berbalut gamis syar'i.  memiliki otak cerdas. Kritis dan selalu berfikir dengan logika. memilki ayah hanya pekerja buruh bangunan. Ibu yang hanya pengurus rumah tangga. Terkadang bekerja dengan tetangga yang membutuhkan bantuannya dengan upah tidak seberapa.

Faktor ekonomilah yang membuat ayah Salsa menitipkannya di pondok salafi ini, dengan harapan sang putri dapat meneruskan sekolah dengan biaya yang terjangkau.

Pondok pesantren modern pernah menjadi alternatif pilihan. Namun ayah Salsa tidak memiliki uang yang cukup untuk biaya pondok modern yang terlampau tinggi.

***

Tatkala malam mulai menggelar tirainya. Bintang-bintangg bersemai di sana. Selepas kegiatan holaqoh Al-quran yang di pimpin langsung oleh sang tuan guru. Satu pemandangan aneh, menarik perhatian Salsa untuk mendekati teman-temannya.

"Apa yang sedang kalian lakukan?" tanya Salsa heran.

"Minum," ujar Nafisa seraya mengangkat gelas berukuran cukup besar.

"Loh? Itu, kan gelas bekas kiayai... kenpa kalian rebutan untuk meminumnya?"

"Iya karena ini bekas kiayai. Ada banyak barokah di sisa minuman ini," timpal Hafsoh.

Salsa mengernyitkan keningnya. "Bekas orang itu yang ada banyak penyakitnya bukan barokah!" seru Salsa.

"Ih! Salsa, santri macama apa kamu, tidak faham yang namanya barokah," ujar Nafisa ketus.

"Nafisaaaa.... Ini udah lewat dari abad 20, tahayul kok masih di sembah-sembah," ucap Salsa sambil menepuk jidatnya.

Barokah adalah omong kosong yang sering Salsa dengar. Semenjak Salsa hidup di pondok pesantren ini, ia benar-benar sadar bahwa ada banyak pola hidup di sini yang tidak bisa di terima dengan logika.

Ada satu hal lagi yang menggelitik pikiran Salsa. Satu perkataan yang sering kali diucapkan orang-orang di sini. "Jangan biarkan dirimu mengejar dunia, tapi biarkan dirimu dikejar dunia."

Salsa diam dan termenung di bawah langit pesantren yang lengang, tidak ada akivitas santri. Sunyi layaknya tempat tak berpenghuni. Mungkin karena gerimis yang kian manis mebasahi bumi pesantren malam ini. udara dingin membuai semua para pejuang ilmu untuk tetap berada di dalam buaian mimpi-mimpi dengan berbantalkan lengan.

Atau mungkin terpaan angin lembut yang meniup jerami penutup atap gazebo hingga tak ada yang mau bersenda gurau di sana. Entahlah, Salsa hanya merenungi setiap perkataan dan berbuatan mereka di sini.

sumber Fhoto Bing image kreator digital Ai
sumber Fhoto Bing image kreator digital Ai

"Apa maksud dari kata, Kiayi waktu kemarin?" Tanya Salsa, kala itu kepada Nafisa sahabat satu kamarnya.

"Yang mana?"

"Jangan biarkan dirimu mengejar dunia, tapi biarkan dirimu yang dikejar dunia, Apa artinya kita tidak boleh bekerja? Hal yang mustahil" ujar Salsa seraya mengangkat bahu.

"Ya, nggak mustahillah... contohnya pak, Kiayai. Dia tidak kelihatan bekerja, tapi lihat kehidupannya? Bahkan punya mobil mewah!" jawab Nafisa. Dengan ekspresi takjub.

"Ya, itu sih kebetulan saja," kila Salsa.

"Kebetulan itu hanya sekali, tapi yang terjadi kepada pak, Kiayi itu berkali-kali, malah ada yang di tolaknya," Nafisa meyakinkan. Tidak ada yang dapa Salsa lakukan selain diam, saat itu.

Dan sekarang, lagi-lagi Salsa merenung di tengah kesunyian. Duduk di gazebo pondok yang berada tepat di depan asrama putri, Kakinya di biarkan menjuntai. Sesekali menatap rembulan yang bersinar, pendar cahayanya menebar ke seluruh lapangan rumput di hadapannya. Tempat biasa para santri bermain mengisi waktu luang.

sumber Fhoto bing Image kreator digital AI
sumber Fhoto bing Image kreator digital AI

Sengau sang pungguk turut membisikan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Seringkali Salsa menanyakan kepada para santri senior, tentang apa yang membuat mereka betah tinggal di tempat ini. Tapi jawabannya selalu mainstrem. Sama sekali tidak memberikan jawaban yang bisa memuaskan Salsa.

"Pasti ada sesuatu yang disembunyikan, Pak Kiayai," batinnya.

Butiran embun kian menjamah. Kesejukan berbalut dingin bersama malam yang kian bergelayut. Jenuh kian menguap mata Salsa pun mulai terserang kantuk. Namun ada satu pemandangan yang membuatnya mengerjapkan mata.

Sang kiayai tengah berjalan sendirian. Salsa membenarkan posisi duduknya serta Berusaha memperhatikan orang tua itu.

Salsa memicingkan kedua mata, berusaha memfokuskan penglihatannya. Sungguh aneh melihat orang tua berjalan sendirian di tengah malam, berkeliling area pondok. Nampak kedua bibirnya bergerak seperti orang yang sedang melafalkan doa-doa.

"Oh... mungkin ini yang membuat para santri betah di tempat ini. pak kiayi menggunakan jampi-jampi," otak Salsa menyimpulkan sekenanya.

Merasa telah menemukan jawaban dari semu pertanyaan. Salsa pun beranjak meninggalkan pemandangan aneh yang di lakukan orang tua itu. Ia dapat tertidur dengan nyenyak.

***

"Ada apa, Sa? Sepagi ini kamu sudah senyum-senyum sumringah, baru dapet transferan uang jajan ya?" tanya Nafisa sedikit heran.

"Aku sudah dapat jawaban dari semua pertanyaanku," jawab Salsa sambil mendekati Nafisa.

"Pertanyaan yang sering kamu lontarkan kepada kakak-kakak santri senior?" Salsa menjawab dengan anggukan.

"Lalu apa jawabannya?" kembali Nafisa bertanya seraya memperhatikan raut wajah Salsa yang masih tersenyum.

"Pak Kiyai, pakai jampi-jampi," bisik Salsa.

Mendengar jawaban Salsa. Mata Nafisa langsung terbelalak, ia berdiri seraya berkacak pinggang. Wajah herannya kini berubah menjadi raut amarah.

"Berani-beraninya kamu bilang pak kiayi seperti itu?" ucap Nafisa dengan intonasi suara yang mulai meninggi.

"Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri! Pak Kiayai mengelilingi pondok sambil membaca mantra," seru Salsa dengan keyakinan.

"Salsa! Bilang sekali lagi, atau semua santri dan pengurus akan mengusirmu dari sini!" teriak Nafisa menahan emosi.

Semua santri mendadak mengerumuni Salsa dan Nafisa, bahkan pengurus pondok pun turut mendekati. Tidak hanya itu pak Kiayi yang kebetulan melintas di area santri putri pun turut datang. Suara Nafisa membahana ke seluruh area pondok.

Seperti mengetahui perkara yang terjadi, sang kiayai langsung mendekat. Para santri pun beringsut mengundurkan diri sebari menundukkan kepala, memberi jalan kepada tuan guru. Nafisa begitu melihat pak Kiayai langsung menundukkan pandangannya. Amarah yang tadi membara hilang seketika.

Senyum teduh dan suara lembut sang kiayi seolah menghipnotis semua santri. "Nafisa... bisa ikut saya ke rumah?" tanya sang guru. Nafisa mengangguk takjim.

"Baik, yang lain silahkan beristirahat," ucap kiayai kemudian berlalu meninggalkan kamar asrama.

Setelah beberapa langkah sang guru menjauh. Nafisa langsung melangkah menyusul sang tuan guru.

"Assalamuaalaikum," ucap Nafisa setibanya di depan pintu rumah kiayai.

"Waalaikumssalam," ucap seorang wanita paruh baya, yang tidak lain adalah istri dari pak kiayi, sambil membukakan pintu.

"Nafisa? Mari Nak, pak Yayi sudah menunggu," ucapnya.

"Baik, Umi. Terimaksaih," jawab Nafisa.

"Silahkan duduk, Nak," lanjut Umi, mempersilahkan Nafisa untuk duduk, lalu beliau pun turut serta, duduk di samping pak kiayai.

"Saya sudah mendengar apa yang kamu dan Salsa bicarakan. Kamu tau kenapa saya memanggilmu ke sini?"

Nafisa menggeleng. "Tidak kiayi," jawabnya seraya meremas ujung hijab dengan jemarinya.

"Tidak seharusnya kamu melawan ketidak tahuan dengan kekerasan, suara yang tinggi atau pun amarah."

"Tapi, Salsa sudah menghina Pak Kiayai."

"Bukan menghina. Tapi dia tidak tahu dengan apa yang saya lakukan. Bukankah tidak selamanya kebaikan selalu di balas dengan kebaikan? Biarkan dia mencari lebih dalam lagi. Tentang semua makna dalam hidupnya. Perlu waktu untuk mengetahui sebuah kebenaran."

"Baik, Kiayi."

"Sekarang kembalilah ke asrama dan minta maaf kepada Salsa."

Nafisa langsung mundur, baru Nafisa membuka pintu ternyata Salsa sudah berdiri di dekat pintu keluar.

"Maafkan aku, Sa. Tidak seharusnya aku marah kepada orang yang sedang belajar," Nafisa lantas memeluk Salsa.

Salsa terdiam, otaknya di penuhi oleh banyak fikiran, lamat-lamat ia mendengar pembicaraan pak Kiayai dan Nafisa. Di balik pintu rumah kiayi yang tidak tertutup rapat.

Ia semakin baingung. Ada sesuatu yang mengalir jernih ke dalam lubuk hatinya. Entah apa itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun