Entah dalam kondisi sadar atau tidak, ia menganggukan kepala.
Sejak saat itu aku merasa memiliki mimpi yang begitu besar. Mimpi yang membuatku semangat menjalani hari dan penuh harap dalam rentan waktu yang panjang. Sebuah penantian.
Tanpa di sadari aku tumbuh menjadi wanita yang introvert, menutup diri dari semua pergaulan terutama laki-laki. Kugunakan waktu senggang hanya untuk menulis, menggoreskan kata-kata indah, tentang sebuh harapan, impian dan kerinduan.
Sementara Fadil, menghilang entah kemana. Ia pergi tanpa memberi kabar.
Bertahun-tahun lamanya aku menunggu, ya... menunggu sebuah janji dari seseorang yang memebriku harapan.
Cinta pertama tumbuh subur dalam hatiku. Meski tanpa pupuk maupun stimulasi akan sebuah cinta yang sesungguhnya. Aku begitu bahagia dengan bayang-bayang semu seorang Fadil.
Sesekali aku menyambangi warung tempat di mana pertama kali kami bertemu. menyusuri jalan yang menyimpan banyak kenangan indah.
Jejaknya tidak terhapus oleh rintik hujan, tidak juga tertutup debu jalanan. Masih segar dalam ingatanku, kala kami melangkah di bawah temaram lampu jalanan, seraya mengunyah kacang rebus dan kulitnya kami tebar sepanjang jalan agar menjadi kenangan.
******
"Kak Fadil...!!" seruku melihat sosok yang selama ini membayangi hidupku. Bediri di depan rumahku, aku nyaris tak percaya, aku melangkah cepat mendekatinya memastikan jika ini bukanlah mimpi.
Fadil tersenyum sangat manis, lebih manis dari senyumnya yang pernah kukenal.