Mohon tunggu...
Nela Dusan
Nela Dusan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Praktisi KFLS dan Founder/Owner Katering Keto

mantan lawyer, pengarang, penerjemah tersumpah; penyuka fotografi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | "If You're Not the One" (Tamat)

21 Januari 2019   18:41 Diperbarui: 21 Januari 2019   18:46 825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: pinterest

Malam itu aku tidur dengan hati penuh kebahagiaan, orang tuaku sudah menerima keputusanku. Tiba-tiba terlintas ide dalam kepalaku, aku mau memberi kejutan kepada Fira hari Sabtu pagi. Aku akan terbang ke Bali dengan pesawat pertama lalu aku akan datangi dia di vila Tante Wiwiek di Ubud, menghabiskan waktu bersama di sana sampai Minggu malam. Kalau Fira tidak mengijinkan aku menginap di vila tantenya maka aku akan menginap di hotel yang ada disekitar Ubud.

Hari Jum'at, seharian Fira tidak meneleponku, akupun sengaja tidak menelepon dia, aku mau menambah rasa kangen kami supaya bisa terbayar besok di hari Sabtu pagi.

Sabtu dini hari aku berangkat menuju Bandara Sukarno-Hatta, aku meninggalkan mobil ditempat parkir bandara dan langsung check in sesuai waktunya dan menunggu saat boarding. Sempat terlintas untuk menelepon Fira memberitahukan kedatanganku, tapi aku urungkan niatku, aku mau memberi kejutan untuknya. Mestinya pagi ini Fira belum pergi kemana-mana, kalaupun pergi aku bisa menunggu dia di Vila.

Pesawatku mendarat di Ngurah Rai pukul 8 Waktu Indonesia Tengah. Sekeluarnya aku dari bandara aku langsung memanggil taksi yang langsung mengantarkanku ke Ubud. Di perjalanan hatiku berdebar-debar tidak tentu rasa, sudah tak sabar rasanya ingin jumpa Fira. Kuberikan alamat Vila kepada supir taksi, pintu gerbangnya hanya berjarak beberapa meter dari jalan masuk menuju Four Season Hotel Ubud.

Akhirnya setelah sempat bertanya tiga kali dan berbalik satu kali karena terlewat, aku sampai juga di Vilanya Tante Wiwiek. Seorang penjaga pintu menghampiri taksiku, aku tanya apakah Fira ada. Dia masih tidur. Aku katakan bahwa aku adalah temannya dari Jakarta dan aku meminta dia merahasiakan kedatanganku karena aku mau memberikan kejutan kepadanya. Walaupun wajahnya tampak bingung, tapi akhirnya penjaga Vila setuju untuk merahasiakan kedatanganku

 Aku dipersilakan masuk. Aku berjalan di halaman rumput yang luas. Dari luar Vila itu seperti bangunan rumah biasa, terdiri dari dua bangunan induk, halaman rumput yang luas itu memisahkan rumah yang satu dengan yang lainnya. Aku dipersilahkan untuk memasuki bangunan rumah induk melalui pintu yang lebih mirip pintu belakang. Setelah aku masuk baru aku terkesima menyaksikan apa yang ada di balik pintu, pemandangan lepas dari dalam ruang keluarga melihat ke lembah yang dikejauhan terdapat terasering sawah yang bersusun, indahnya. 

Tidak heran Fira begitu betah di sini. Udaranya pun sejuk seperti kawasan Puncak, sudah pasti bisa membuat orang jadi malas untuk bangun tidur pagi-pagi. Karena letaknya dilereng, maka ruang dimana aku berdiri merupakan lantai dua sementara lantai satunya justru ada dibawah. Dari balkon aku bisa memandang ke bawah dimana kolam renang yang besar terletak. Di kejauhan aku melihat sosok bangunan bundar yang sangat berbeda dengan lingkungan sekitarnya, tidak salah lagi, Four Season. Aku mendengar suara riak sungai yang cukup jelas meskipun letak sungainya sendiri tidak kelihatan karena didasar lembah jauh di bawah sana.

Selagi aku asyik memandangi pemandangan yang indah tiba-tiba aku dikagetkan oleh sapaan suara Fira yang menurutku lebih terdengar kaget daripada senang,

"Randy...lho kamu kapan datang?" sesaat aku merasa heran ini bukan reaksi yang aku bayangkan tentunya, kenapa Fira bersikap seperti panik, terlebih waktu aku mulai berjalan menghampirinya.

"Hi sayang...baru saja, aku mau kasih..." belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, tiba-tiba ada bayangan seseorang yang keluar dari kamar yang ada di belakangku, secara naluriah aku langsung menoleh, aku kaget melihat siapa yang berdiri di belakangku, orang itupun tak kalah kaget denganku.

"Eh Ran, gue pikir temen gue. Kapan datang loe?" Aku cuma terlongong, tidak percayai mataku sendiri, Robby berdiri di depan pintu dengan bercelana pendek dan kaos oblong, kelihatan dia masih mengantuk.

"Ran, aku tidur di kamar Tante Wiwiek, di sana sementara Robby di kamar yang itu." Fira menjelaskan kepadaku dengan terbata-bata seraya menunjuk kamar dari mana Robby keluar.

Sejenak kurasakan duniaku berputar tidak karuan, ya Tuhan berikan aku kekuatan menghadapi ini, kenapa mesti begini. Aku hanya terdiam, sesaat kemudian aku memutuskan meninggalkan Fira. Melihat gelagatku, Fira langsung memegang tanganku, melarangku untuk pergi, dia mencoba menjelaskan segalanya kepadaku, tapi rasanya telingaku telah menjadi tuli karena rasa marah yang luar biasa. Aku tidak pernah menyangka Fira bisa berbuat seperti itu.

"Randy, jangan pergi. Dengar dulu penjelasanku. Aku nggak ada apa-apa sama Robby, sumpah Ran." Aku cuma melemparkan pandangan tidak percaya kepada Fira, aku sudah mulai mual." Fira menengok kearah Robby,

"Rob, lihat...ini semua gara-gara kamu. Ngapain juga kamu numpang nginep di sini segala, harusnya kan kamu cari penginapan sendiri dong. Kamu tiba-tiba muncul tengah malam di sini minta numpang nginap. Kamu lihat begini nih jadinya." Aku melihat kemarahan di mata Fira dan suaranya bergetar, tangisnya hampir pecah. Aku lihat sikap Robby jadi rikuh sendiri, kelihatannya diapun tidak siap dengan situasi seperti ini.

"Sudahlah Fir, kalau memang Robby sudah di sini lebih dulu, aku bisa pergi dari sini. Aku bisa menyingkir ke tempat lain, aku juga tidak ingin mengganggu acara kalian berdua." Dengan sinis kuucapkan semua itu.

"Ran, aku bilang aku nggak ngapa-ngapain sama Robby, dia itu tiba-tiba muncul di sini jam 11 malam dan minta numpang nginap hanya semalam ini saja karena dia mau lanjut lagi ke Lombok siang ini dengan teman-temannya yang sekarang menginap di Vila Amethyst yang bisa jalan kaki dari sini dan dia nggak kebagian kamar di sana. Sebenarnya aku nggak setuju dia menginap di sini tadi malam, tapi aku juga kasihan lihat dia nggak punya tempat untuk menginap sementara Vila ini punya banyak kamar kosong. Cuma itu Ran, bahkan aku nggak sempat ngobrol sama Robby. Tanya sama mbok Iyem kalau nggak percaya. Please...Ran."

Sejenak kami bertiga hanya duduk diam, aku benar-benar kehilangan kata-kata, terlalu shock melihat situasi seperti ini, surprise yang ingin kuberikan untuk Fira berakhir menjadi surprise bagiku sendiri, seperti mimpi buruk. Bagaimana mungkin aku sebodoh itu, kenapa aku tidak bisa membaca gelagat Fira dan Robby, kenapa aku bisa tidak menangkap kalau ada sesuatu di antara mereka selama ini.

"Kenapa kamu nggak kasih tau aku kalau Robby datang?" aku mulai menginterogasi, aku mesti tau seberapa parah semuanya sebelum aku mengambil keputusan.

"Dia datang setelah jam 11 malam dan dia cuma mau numpang tidur aja dan seharusnya jam 9 ini dia sudah keluar dari sini. Aku juga nggak kepikir mau menemani dia mengobrol karena aku sudah cukup sebal melihat dia datang ke sini. Terus terang aku bingung antara mau kasih tau kamu atau tidak, lantas aku putuskan tidak. Aku salah Ran, tidak memberi tahu kamu, tapi aku takut kamu salah sangka dan marah. Sementara kita kan berjauhan, aku nggak mau kamu jadi marah sama aku. Aku juga nggak pengen Robby di sini, bener kan Rob, kamu bilang tuh sama Randy kalau aku udah sempat menolak kamu nginep di sini tadi malam."

"Sorry boss...emang benar yang dibilang Fira. Gue emang nodong dia numpang nginep di sini tadi malam, masalahnya gue emang kepepet, gue mau nginep yang deket dengan temen-temen gue, soalnya mereka takut gue gak bisa dibangunin kalau jauh-jauh. Paling sebentar lagi mereka muncul kesini jemput gue."

Aku masih diam, pikiranku tak karuan. Aku cuma minta Fira pergi dari ruangan itu, aku perlu bicara berdua dengan Robby, aku perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Ran, gue serius. Gue nggak ngapa-ngapain sama Fira, sumpah boss, yang ada dia malah ngunci pintu sana sejak gue datang. Semua keperluan gue diurus sama Mbok Iyem, boro-boro gue diajak ngomong sama Fira, yang ada gue dijudesin habis sama dia. Sori boss, gue nggak tau elo bakal datang pagi ini, Fira juga nggak bilang tadi malam. Kalo gue tau elo dan Fira udah janjian ketemuan di sini ya gue tau dirilah Ran, gue mungkin nyari tempat nginep lainnya."

"Rob, loe jangan mikir yang nggak-nggak ya. Fira juga nggak tau gue bakal datang ke sini pagi ini. Gue mau kasih surprise ke dia dan gue udah punya reservasi di Hotel dekat sini." Aku berkata tegas kepada Robby.

"Sorry Ran, bukan itu maksud gue. Robby menyatakan penyesalannya.

"Ran, sekarang gue perlu ketegasan loe nih, sebenarnya elo dan Fira itu pacaran atau nggak?"

"Iya, dia pacar gue. Maksud loe apa?" Aku bertanya balik ke Robby, nadaku tegas.

"Ya udah kalau emang elo berdua pacaran kan jelas posisi gue, gak perlu lagi ngejar dia. Tapi gue minta maaf ya Ran, ini semua bukan salah Fira, dia benar-benar marah lihat gue muncul di sini tadi malam. Cuma rasa kasihannya aja yang bikin gue gak diusir dari sini. Gue minta Ran, elo jangan nyalahin Fira lagi, apalagi sampai mikir dia macam-macam sama gue, nggak lah Ran. Pacar loe itu wanita baik-baik, tolong jangan elo tuduh dia macam-macam. Gue yakin semua orang termasuk elo tau perasaan gue sama Fira selama ini, makanya gue minta tolong elo jangan ngomong yang nyakitin dia untuk kejadian pagi ini, dia nggak salah apa-apa, gue yang salah."

Aku merasa sedikit lega mendengar pengakuan Robby walaupun masih terselip sisa kekesalan dan was-was dalam hatiku. Sejauh ini, aku tidak menangkap nada bohong dari suara Robby, mudah-mudahan memang begitu adanya. Akupun sebenarnya tidak sanggup menerima kalau kenyataannya sebaliknya. Semua terasa begitu sempurna sebelum kejadian ini, tiba-tiba aku seperti dibangunkan dari mimpi indahku yang baru sekejap kunikmati. Tiba-tiba, pak Made, penjaga yang tadi membukakan pintu untukku masuk ke ruangan dan memberitahukan Robby bahwa ada orang yang mencarinya. 

Tidak lama kemudian ada sembilan orang, empat laki-laki dan lima perempuan yang datang menjemput Robby. Semuanya diperkenalkan oleh Robby kepadaku, semua teman-teman gereja Robby. Mereka berencana untuk diving di Lombok. Fira tidak juga muncul meskipun dia tahu ada banyak tamu yang mendatangi Vilanya, dia memilih berdiam di kamar yang dikatakannya kamar Tante Wiwiek. 

Akhirnya aku yang menemani mereka mengobrol, kelihatannya mereka sangat akrab satu sama lain. Robby dan teman-temannya pergi meninggalkan Vila tanpa bertemu Fira sekitar 15 menit setelah menunggu Robby mandi dan berkemas. Tidak terasa perasaanku setelah mengobrol dengan mereka menjadi sedikit membaik. Beban yang tadi menggayuti perasaan dan pikiranku sepertinya menguap entah kemana. Mendadak aku rasakan lagi rindu kepada Fira yang tadi sempat lenyap.

Aku beranjak keluar dari ruang keluarga menuju kamar dimana Fira berada. Aku ketuk pintunya setelah aku menyusuri pinggir kamar yang membawaku ke teras kamar yang lebih mirip pavilion. Tidak terdengar jawaban, sekali lagi kucoba mengetuk pintu kamar Fira,

"Fira...aku mau bicara." Aku beranikan diri memanggil.

Tak lama kemudian kudengar langkah kaki dan pintu dibuka dari dalam, aku lihat Fira berdiri di depanku dengan mata yang sembab, aku tahu dia habis menangis. Aku raih tangannya, kubimbing ke arah sofa yang ada di teras pavilion, aku rengkuh Fira ke dalam pelukanku, aku bisikkan kata-kata maafku,

"Sayang...maafin aku ya. Aku sudah berburuk sangka sama kamu."

Fira tidak menjawab, hanya mengangguk lemah. Aku peluk dia erat, kini aku yang merasa bersalah. Tidak sepantasnya aku meragukan Fira. Semestinya aku yakin kekasihku bukan perempuan sembarangan. Aku belai rambutnya, aku tahu dia belum sempat mandi tapi dia tetap mempesonaku. Dia meringkuk dalam pelukanku, aku jelajahi wajahnya dengan bibirku, dahinya, matanya, hidungnya sampai akhirnya berhenti di bibirnya. Kutumpahkan rasa rinduku padanya. Kami berpelukan lama sesudah aku ciumi semua yang ada di wajahnya.

"Ran, kok kamu tiba-tiba datang ke sini terus nggak bilang-bilang sih, kemarin juga seharian kamu nggak telepon aku?" Fira akhirnya berbicara kepadaku.

"Sebenarnya aku pengen sekali telepon kamu, tapi karena aku sudah punya rencana ke sini jadi aku sengaja nggak telepon kamu seharian, biar makin kangen. Aku mau kasih kejutan ke kamu. Kamu nggak senang lihat aku datang?" aku goda dia.

"Bukan gitu. Aku sih senang banget ketemu kamu, cuma aku nggak nyangka aja kamu senekat ini. Tapi aku suka cara kamu yang penuh kejutan ini Ran, rasanya romantis banget."

"O ya? Semenjak minggu lalu, aku memang pengen deket kamu terus. Fir, aku nggak pengen pisah lama-lama dari kamu."

"Kan besok aku pulang Ran. Kita bisa ketemu lagi, rencananya kamu juga yang akan jemput aku."

"Iya, tapi aku nggak sabar. Kamu tahu aku pengen kita segera bersatu." Aku amati raut wajahnya waktu aku ucapkan itu.

"Maksud kamu?" Fira bertanya terdengar nada hati-hati.

"Maksudku, aku mau segera menikahi kamu. Mau kan menikah denganku?" aku Tanya Fira dengan harap-harap cemas.

"Tapi Ran, orangtua kamu dan orangtuaku belum tahu kan tentang kita. Lagi pula apa nggak terlalu cepat?"

"Orangtuaku sudah, tinggal kamu bilang sama Papa dan Mamamu. Besok kita pulang ke Jakarta, aku akan bicara sama orangtua kamu. Gimana, kamu setuju nggak?"

"Memang aku sudah bilang mau menikah denganmu?" tiba-tiba Fira menanyakan pertanyaan yang menyadarkanku, benar, dia belum menjawab pertanyaanku.

"Memang kamu nggak mau?" balasku agak kaget.

"Kalau aku bilang pikir-pikir dulu gimana?" Ternyata dia menggodaku.

"Ya udah kalau gitu aku terpaksa melaksanakan mitigation plan yang sudah aku siapkan. Kamu tahu aku sudah menyiapkan dua opsi untuk menghadapi situasi seperti ini." Fira menatap wajahku, bertanya.

"Opsi apa? Pakai opsi segala, dasar lawyer. Memangnya kamu yakin dengan opsi-opsi kamu itu bisa bikin aku menerima?" Fira berkata sambil tersenyum menggoda.

"Mau tau opsi yang pertama?" Fira menggangguk, begitu dia menggangguk serta merta aku rengkuh kepalanya dan kutatap matanya dan aku mulai menciumi seluruh wajahnya, bibirnya, belakang telinganya sampai ke lehernya awalnya lembut lama-lama semakin memanas. Mula-mula ada sedikit keraguan dari Fira tapi aku tidak menggubris sampai kurasakan dia mulai menikmatinya. Di saat kudengar Fira mulai mengeluarkan desahan, tiba-tiba kuhentikan ciumanku pada saat dia terpana aku bilang,

"Nah yang ini opsi kedua." Lantas aku berdiri meninggalkannya. Tidak lama kemudian aku dengar dia memanggilku,

"Ran...mau kemana?" Fira kebingungan dengan tindakanku.

"Mau check in ke Hotel yang sudah aku reserve."

"Lho...kok...kamu main pergi gitu aja sih." Aku tahu Fira merasa penasaran.

"Kamu nggak pengen aku pergi?" akhirnya aku kembali menghampiri dia di sofa. Tak lama kemudian Fira mulai mengerti maksudku, dia tertawa sambil berkata,

"Kamu tuh...nakal ya, kamu sengaja kan ninggalin aku di saat kamu ciumin aku seperti tadi...ih jahat deh." Fira memukuliku, dia benar-benar paham maksudku, dan dia terus mengatakan aku curang.

"Jadi...keputusannya gimana, kamu mau nggak menikah denganku? Itu baru sampelnya lho, nanti tayangan penuhnya aku kasih waktu malam pertama kita, hehe...." Aku senang sekali bisa menggoda Fira.

"Tapi caramu tadi curang tahu."

"Biar aja, mau nggak? Atau aku ambil opsi yang kedua?"

"Kamu jahat, godain aku terus."

"Oke, sekarang aku serius, aku mohon sekali agar kamu mau menikah denganku Fira."

Aku tatap matanya, memohon kesediaannya, akhirnya Fira memelukku erat sambil berkata,

"Aku mau." Dan dilanjutkan dengan bisikan ditelingaku "sebenarnya aku penasaran sama kelanjutan yang tadi." Kami sama-sama tertawa, aku tahu setelah ini aku harus bisa mengendalikan diri, suasana di sekitar kami bisa menghanyutkan kami berdua.

"Kita jalan-jalan yu' Ran, lihat-lihat lukisan di galeri sepanjang Ubud ini."

"Oke, kita cari lukisan buat di rumah kita nanti ya..." Ucapanku keluar begitu saja, keputusanku sudah bulat, aku akan segera menikahi dia dan mengajak dia tinggal di rumah yang sudah kubeli sejak tahun lalu. Fira tersenyum sambil mengangguk, "Aku mandi dulu ya. Awas lho kalau kamu jalanin opsi yang kedua." Aku tertawa mendengar dia mengancamku.

"Tenang aja Fir, opsi kedua aku jalani dengan catatan kalau kamu ikut sama aku, haha..., gimana check in di hotel kita?" lagi-lagi aku goda dia, Fira cuma mendelikkan matanya dari dalam kamar. Aku menunggu Fira di teras, hatiku bahagia sekali, pikiranku menjadi tenang, kudengarkan suara riak air sungai di bawah sana semua begitu indah memperdengarkan nyanyian yang merdu di telingaku. Teringat olehku penggalan syair lagu yang dinyanyikan oleh Daniel Bedingfield lagu yang sangat romantis, tepat menggambarkan perasaanku saat ini.

 

If you're not the one

Then why does my soul feel glad today?

If you're not the one

Then why does my hand fit yours this way?

If you're not mine

Then why does your heart return my call?

If you were not mine

Would I have the strength to stand at all

I never know what the future brings 

But I now you are here with me now

We'll make it through 

And I hope you are the one I share my life with...

TAMAT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun