Mohon tunggu...
Nela Dusan
Nela Dusan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Praktisi KFLS dan Founder/Owner Katering Keto

mantan lawyer, pengarang, penerjemah tersumpah; penyuka fotografi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

"If You're Not The One" (2)

21 Januari 2019   09:05 Diperbarui: 21 Januari 2019   09:36 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Selasa sore, seperti biasa kami bermain tennis bersama di Lapangan Pati Unus. Lapangan dibooking sejak pukul 6 sore sampai dengan 10 malam. Tentu saja aku tidak melewatkan kesempatan berolah raga yang sudah aku tekuni sejak aku SMP. 

Sudah bertahun-tahun aku meraih gelar juara di kantorku yang diadakan setiap tahun. Dibandingkan dengan teman-teman yang rata-rata baru mulai mengenal tennis setelah bekerja, terang saja permainan tennisku jauh diatas mereka. Menurut teman-temanku, gaya bermainku bagus, serviceku amat keras, sehingga tidak jarang aku mendapatkan Ace. Yah lagi-lagi, itu karena kemampuan mereka yang dibawah rata-rata. 

Aku sendiri tetap bermain tennis secara rutin dengan kelompok teman-teman tim tennis dari Universitas Indonesia dulu, setiap hari Kamis malam di Klub Rasuna. Sebelum berangkat ke lapangan Pati Unus, aku menyempatkan menelepon Fira, sahabatku yang sudah menjadi Partner di kantor.

"Halo Fir, masih sibuk?"
"Masih, sudah mau pergi tennis ya?" suaranya kedengaran tidak bersemangat.

"Yup, mau bareng gak? Kalau sudah mau selesai aku tungguin aja." Aku menawarkan diri.

"Nggak usah Ran, kasihan kamu nanti terlambat, apalagi aku masih harus nunggu conference call dengan London sebentar lagi. Kamu duluan aja deh, nanti kalau sudah selesai aku nyusul."

"Bener, nyusul?" aku merasa sedikit kecewa.

"Iya, aku janji, kalau sudah selesai aku nyusul. Tapi kalau ternyata lama, mungkin minggu depan aja ya."

"Oke, kalau gitu aku pergi dulu ya. Bye."

"Bye, hati-hati ya." Aku merasa senang setiap kali mendengar nada suaranya sewaktu bilang 'hati-hati'. Terdengar lembut sekali dan seperti bersungguh-sungguh berharap supaya aku berhati-hati. Aneh perasaan kecewa semakin kuat menyergap perasaanku, kok akhir-akhir ini aku sering merasa kecewa setiap kali ada rencana kami yang gagal. Seharusnya aku maklum dengan pekerjaannya dan posisinya sebagai Partner, hal-hal semacam itu seringkali terjadi. Seperti malam itu, lagi-lagi Fira tidak muncul di lapangan, telepon genggamnya pun tidak diangkat pertanda dia masih conference call.

Farah Safira berusia tiga tahun lebih tua dariku, perempuan yang cerdas, tidak heran dalam waktu kurang dari sepuluh tahun dia sudah diangkat menjadi Partner. Kami berteman sejak dia baru bergabung di kantor konsultan hukum ini, pada awalnya karena dia seniorku di UI. Sebenarnya sewaktu dikampus kami tidak pernah saling kenal, dia lulus sangat cepat, hanya empat tahun sementara aku perlu waktu 7 tahun dan sejak tahun ketiga sudah jarang muncul di kampus. 

Singkat kata, kami merasa dekat karena satu almamater. Begitulah awalnya. Aku tahu pada waktu itu Fira masih berpacaran dengan advokat dari suatu kantor pengacara yang setahuku reputasinya kurang baik, laki-laki mata keranjang. 

Seperti yang sudah diduga banyak orang, akhirnya sampai juga kejadian yang membuat Fira tidak sanggup bertahan. Setelah berpacaran 5 tahun, hubungan mereka bubar sudah karena pacarnya itu harus menikahi perempuan lain yang terlanjut dihamilinya. Saat itu aku jadi tempat curahan perasaan dan sakit hatinya Fira.

Jam 22.10, kami membubarkan diri dari lapangan dan pulang ke rumah masing-masing. Dalam perjalanan, telepon genggamku berdering ternyata dari kantor, pasti Fira, "Halo"

"Halo Ran..., tadi telepon?. Sorry tadi aku nggak bawa hp ke ruang meeting. Udah bubar ya." Terdengar kelelahan dalam suaranya.

"Iya sudah pada pulang semua. Gimana conference callnya, sudah selesai?" mendadak aku merasa bersemangat mendengar suaranya lagi.

"Sudah, tapi besok mau dilanjutin dengan meeting siang, jam 1."

"O gitu. Sekarang kamu dimana? Pertanyaan bodoh, tentu saja dia di kantor, untung dia tidak menyadari,

"Masih di kantor, nyiapin bahan-bahan buat besok."

"Memang mau sampai jam berapa? Masih banyak orang di kantor?"

"Ah aku gak tau deh, kayaknya sekitar jam 11-12an. Masih ada Anto, Daru dan Robby. Mita sudah mau pulang, kasihan anaknya lagi sakit. Kamu sudah sampai mana?"

"Aku baru sampai Sudirman, sebentar lagi lewatin kamu nih. Kamu udah makan belum?"

"Belum sih, tapi tadi ada yang beli McDonald, jadi aku sempet makan kentangnya sedikit."

"Udah cuma makan itu aja? Nanti kamu sakit lho, aku beliin makanan ya, kamu mau apa?"

"Ah gak usah Ran, ngapain kamu repot-repot, aku gak lapar kok, sebentar lagi juga pulang. Udah kamu langsung pulang aja, biar cepet sampe rumah jadi langsung istirahat."

"Kok jadi kamu yang ngurusin aku sih, aku kan gampang, tadi sempet makan di Pati Unus. Justru aku mikirin kamu, nanti kamu sakit lho. Aku beliin makanan ya, nanti aku anter ke kantor. O iya, kamu pulangnya gimana? STNK mobil sudah selesai?"

"Katanya sudah, tapi belum dikirim ke aku. Tadi aku diantar ke kantor, nanti pulang naik taksi aja, kasihan kalau nyuruh Pak Yani jemput malam begini. Lebih bagus kan, jadi aku gak usah nyupir ngantuk-ngantuk."

"Fir, daripada kamu pulang sendiri naik taksi jam segini, aku antar aja deh."

"Hah? Antar kemana? Aku tuh tinggal di ujung selatan Ran, kamu kan di Kayu Putih. Aku nggak tega nyuruh kamu antar aku ke Cilandak terus balik lagi ke Kayu Putih, semalam ini lagi. Gak usah ah. Terima kasih ya udah mikirin aku." Dia menolak tegas.

"Tapi aku khawatir kamu kenapa-kenapa."

"Ya nggak lah, aku bisa pulang bareng Robby, kan dia ke arah Pamulang, jadi kita bisa satu taksi." Rasanya mukaku memanas, itu salah satu hal yang paling tidak kusuka. Aku tahu Robby sering mencari-cari kesempatan mendekati Fira. Mereka satu angkatan di UI. Bukan rahasia lagi kalau Robby sudah lama mengincar Fira.

"O gitu. Apa kamu nggak bisa pulang bareng Anto atau Daru?" aku mencoba menutupi perasaanku.

"Randy..., masak aku mesti minta antar Anto yang rumahnya di Cibubur atau Daru yang pulangnya ke daerah Kelapa Gading? Kalau mau minta antar Daru, kenapa gak minta antar kamu aja sekalian. Yang satu arah kan cuma Robby."

"Ya udah kalau gitu aku yang anter kamu pulang." Aku berkeras.

"Ya ampun Ran, kamu kenapa sih. Memangnya kenapa kalau aku pulang bareng Robby. Kamu aneh deh." Fira masih menolak.

"Aku pengen aja antar kamu pulang, lagipula aku nggak ngerasa capek dan belum ngantuk nih. Sekarang aku muter ya di bunderan HI terus nunggu kamu di mobil. Nanti kalau kamu sudah selesai kamu telepon aja."

"Randy...apa-apaan sih kamu, gak usah ah."

"Kamu juga kenapa gak mau aku anter."

"Lho aku tuh gak mau ngerepotin kamu. Gak ada maksud apa-apa." Suara Fira kembali melunak.

"Kalau gitu aku tunggu kamu di bawah."

Jadilah malam itu aku menunggu Fira di mobil. Tempat parkir sudah kosong, karena sudah sangat larut. Aku diijinkan satpam untuk parkir di depan lobi. Aku bersyukur mobilku sudah kulengkapi audio video set yang lengkap, jadi sambil menunggu aku bisa nonton dvd. Tidak terasa hampir selesai satu film action yang sedang kutonton, aku dengar dering teleponku. "Halo Ran...masih di bawah?" Fira terdengar lelah sekali.

Aku melirik jam di mobilku, jam 12.15, wah sudah pagi rupanya.

"Masih, sudah selesai?"

"Sudah, aku turun sekarang ya."

Tidak lama kemudian aku melihat sosok Fira keluar dari lobi menuju mobilku. Dia tersenyum lemah kepadaku. Masih sempat protes pula

"Kamu tuh dibilangin keras kepala banget sih, kan kasihan kamu nungguin aku jam segini. Mestinya kamu udah tidur di rumah."

"Sudahlah Fir, gak usah diomongin lagi soal itu. Kan emang aku yang pengen antar kamu pulang, bukan kamu yang minta."

"Iya, tapi aku kasihan sama kamu." Fira memandangiku dari samping, aku balas melihat wajahnya, pandangannya membuat dadaku serasa mau pecah, kok aku jadi semakin tidak karuan setiap kali berada di dekatnya.

Sebelum aku menjalankan mobil, aku melihat Robby menaiki taksinya dan melambaikan tangannya ke arah kami. Kami sendiri langsung meluncur menuju selatan Jakarta, tepatnya ke Jalan Gaharu, Cilandak. Dengan lengangnya jalan, waktu tempuh dari kantor ke rumahnya sangat singkat. 

Di dalam mobil Fira sempat bercerita mengenai transaksi yang sedang dilakukannya yang telah membuat waktunya tersita sejak tiga minggu lalu. Aku ikut merasa bangga melihat prestasinya sekaligus sebal karena semakin sedikit waktu yang bisa kami lalui bersama. 

Tidak terasa kami sampai di depan rumahnya. Rumah yang besar dan berada dipojok jalan Gaharu. Aku menghentikan mobilku tepat di depan gerbang rumahnya, Pak Samad, jaga malam yang biasa bertugas di rumah Fira membukakan pintu gerbang, aku membelokkan mobilku ke dalam pekarangan rumah Fira yang luas.

"Okay, sudah sampai." Aku berkata sambil memandang kearah Fira.

"Thanks banget ya Ran, aku benar-benar merasa bersalah sama kamu, udah ngerjain kamu malam-malam begini."

"Pagi maksudmu.."

"Eh iya udah pagi ya. Aduh jadi makin bersalah nih."

"Nggak apa-apa, aku sudah bilang aku yang mau, bukan kamu yang salah. Pokokknya aku sudah tenang lihat kamu sudah sampai rumah. Aku pulang ya."

"Hati-hati ya Ran, jangan ngantuk. Sampai besok ya."

Fira membuka pintu dan keluar dari mobilku. Aku memutar mobilku dan langsung menuju pulang. Dijalan aku sempat merenung, rasanya aneh, kenapa ada rasa sepi yang menyergap dadaku begitu Fira menutup pintu mobilku. Aku tidak suka perasaan aneh itu, ada yang tidak beres rasanya. 

Tidak sengaja aku membandingkan antara Fira dan Pipit. Aku dan Pipit sudah pacaran sejak kuliah, artinya sudah sepuluh tahun, dia adik kelasku, lima tahun di bawahku. Aku tahu mestinya aku sudah mulai berpikir untuk membawa hubungan kami ke jenjang yang lebih tinggi lagi, bahkan sudah waktunya untuk menikahinya, seperti yang Ibu sempat singgung kira-kira sebulan yang lalu, sewaktu kami mengobrol di rumah, "Jadi kamu dan Pipit maunya kapan?"

"Kapan apanya Bu?" aku pura-pura tidak mengerti.

"Kok tanya apanya. Kapan kalian akan menikah? Randy, Ibu nggak suka kamu pacaran lama-lama seperti ini, Ibu malu sama keluarganya Pipit. Kasihan anak gadis mereka kalau kamu tahan lama-lama."

"Aduh Bu, jangan desak aku terus donk, nanti juga kalau aku sudah siap pasti aku kasih tau Ibu kapan mesti ngelamar Pipit." Akhirnya aku mengeluarkan jurus pertahanan pamungkasku. Aku tahu hubunganku dengan Pipit menjadi pusat perhatian seluruh anggota keluargaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun