"Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negarva Papua Merdeka." Â (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph 243, p.47).
Pada 2 Agustus 1969 merupakan hari terakhir pelaksanaan Pepera 1969 Â di Jayapura. Pada saat ini siangkuh dan sombong Brigjen Ali Murtopo dari mimbar menghina dan mencemooh rakyat dan bangsa West Papua dari mimbar kepada anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP).
"Jakarta tidak tertarik kepada orang Papua, melainkan wilayahnya. Jika orang Papua ingin mandiri, lebih baik beranya kepada Tuhan, apakah Dia bisa memberikan orang Papua sebuah pulau di Pasifik tempat untuk berimigrasi." (Sumber: Kesaksian Pdt. Hokujoku anggota DMP).
Prof. P.J. Drooglever sejarawan Belanda mengatakan:
"Pada 22 Agustus 1968, Dr. Ferdinant Ortiz Sanz melakukan kunjungan pertama ke Irian Jaya Barat. Ketika ia tiba, tugas-tugas kepolisian sebagian besar sudah diambil alih oleh tentara, dan selama seluruh kediamannya lebih lanjut kerja misi kami dengan penduduk Papua diawasi dengan ketat." (Sumber: Drooglever: Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib, 2010, hal. 693).
 3. Parampokan Hak Hidup
TNI benar-benar berperak aktif merampok hak hidup rakyat dan bangsa West Papua. TNI dengan secara brutal membantai rakyat Papua atas nama keamanan Nasional dan kepentingan kedaulatan NKRI. TNI Â memberikan stigma rakyat Papua OPM, Separatis, Makar dan mitos-mitos lainnya sesuai selera penguasa dan penindas.
Rakyat yang memperjuangkan hak hidup, keadilan, perdamaian, hak atas tanah dan hak masa depan yang lebih baik di atas tanah leluhur selalu dianggap musuh negara dan harus ditembak maka dengan mudah dihilangkan nyawanya.
Salah satu contoh penembakan 4 siswa pada 8 Desember 2014 di Paniai yang jelas  pelakunya TNI tapi dianggap biasa, bahkan Presiden RI  Joko Widodo berjanji untuk menyelesaikan kasus ini tapi sampai akhir jabatan periode pertama tidak dipenuhi janji itu.
Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno mengakui kekejian TNI dalam bukunya: "Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme" (2015). Â
"...Kita teringat pembunuhan keji terhadap Theys Eluay dalam mobil yang ditawarkan kepadanya untuk pulang dari sebuah resepsi Kopassus. Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia" (hal. 255).