"Eh gimana?" tanyaku setelah jejak mereka hilang dari hadapan kami.
"Ihh... Kelihatan banget gitu kok kalo Tasya ada rasa sama kamu. Mukanya masam semasam jeruk nipis." Lalu kita tertawa ngakak.
"Iya Cuy bisa bilang gitu tapi sayang dia gak ngasih aku kepastian." Ucapku.
Satu minggu kemudian, waktu aku dan Kurnia bertemu, Tasya langsung menghampiri kami. "Mulai hari ini kalian saya restui."
Aku dan Emma berpandangan. Walau tanpa sepatah katapun kami saling tahu bahwa kami sama-sama tak mengerti maksud ucapan Tasya.
Tasya berdiri di tengah-tengah kami yang lagi duduk.
"| pronounce you to be a husband and wife." Lanjut Tasya.Aku dan Emma semakin tak mengerti.
"What did you say?! You don't have right to say like that!. You are neither her relative nor the chief!" Emma menimpali dengan ketusnya.
Perlahan-lahan Tasya menghilang dari pandangan kami. Aku dan Emma saling pandang dan tersenyum kecut. Kali ini senyumanku tak serasa jeruk nipis saja, namun senyuman dengan resep asem jeruk nipis cuka di campur jadi satu. Sepertinya Emma tahu betapa perihnya batinku.
Emma mengajakku pergi dari tempat itu.
Aku sudah membulatkan tekad untuk bertanya pada Tasya,bagaimana perasaan dia terhadapku. Dan bodohnya, aku bertanya lewat telepon. Jadi aku gak tahu dan gak pernah lihat ekspresi wajah Tasya. Dia menjawab pertanyaanku dengan nada yang tegas. "Hubungan kita hanya sebagai siswa dan siswa baru."Kita teman!" Pingin rasanya aku nangis seketika. Tasya melanjutkan.