Reza tersenyum, menunduk, matanya berkaca-kaca. "Gue juga takut kehilangan lo, Bagas. Tapi gue gak mau lo nyerah sama mimpi lo. Lo harus kejar mimpi lo, Bagas. Gue akan selalu mendukung lo."
Bagas terdiam, hatinya tersentuh. Dia merasa beruntung memiliki sahabat seperti Reza yang selalu mendukungnya.
Sejak kecil, Bagas dan Reza memang tak terpisahkan. Mereka tumbuh bersama, berbagi suka duka, dan saling mendukung. Bagas, si anak pendiam dengan bakat menggambarnya, selalu menemukan semangat di samping Reza, si anak ceria yang penuh mimpi. Mereka selalu bersama, dari bermain petak umpet di taman hingga berdiskusi tentang cita-cita di bawah pohon mangga di halaman rumah.
Mereka sama-sama bercita-cita tinggi. Bagas, dengan bakat menggambarnya, ingin menjadi arsitek dan membangun gedung-gedung megah. Sementara Reza, dengan semangatnya yang membara, ingin menjadi pilot dan menjelajahi langit luas.
Â
Namun, seiring berjalannya waktu, mereka dihadapkan pada pilihan yang sulit. Mereka berdua diterima di sekolah menengah atas yang berbeda. Bagas diterima di sekolah favorit dengan program unggulan di bidang seni, sementara Reza diterima di sekolah yang memiliki program penerbangan.
"Bagas, gue sedih lo pergi," ucap Reza, matanya berkaca-kaca.
Bagas memeluk Reza erat. "Gue juga sedih, Reza. Tapi ini kesempatan yang baik untukku. Gue janji akan selalu menghubungimu, dan gue akan segera kembali."
Reza mengangguk, berusaha menahan air matanya. "Janji, ya?"
Bagas tersenyum, "Janji."
Perpisahan itu menyayat hati mereka. Bagas terbang ke kota lain, mengejar mimpinya. Reza melanjutkan sekolah di kota yang sama, namun hatinya selalu dipenuhi kerinduan.