Peristiwa tragis di klinik Alifa, Tasikmalaya, telah menciptakan gelombang kehebohan di kalangan masyarakat setempat dan menyulut kekhawatiran akan standar pelayanan kesehatan yang dipertanyakan. Bayi dengan berat 1,5 kilogram menjadi korban ketidakpedulian dan pelayanan yang buruk dari klinik tersebut.
Harapan dan kebahagiaan yang seharusnya dirasakan orang tua karena  kelahiran seorang anak berubah menjadi duka yang mendalam. Seorang ibu hamil, setelah sering melakukan pemeriksaan kehamilan di klinik Alifa, mengalami kontraksi dan dibawa ke klinik tersebut dalam kondisi genting. Namun, apa yang terjadi di klinik itu justru mengejutkan, bidan yang seharusnya menjadi penolong dalam proses kelahiran malah tidak memedulikan pasien dengan dalih pasien baru saja mengalami pembukaan kedua. Hingga pasien mengalami pendarahan dan pecah ketuban bidan tersebut tetap berkata sedemikian rupa. Bidan yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberikan perawatan, malah lebih memilih untuk tergopoh-gopoh dengan urusan pribadi seperti bermain handphone dan meninggalkan pasien dalam kesakitan dan kecemasan yang tak terbayangkan.
Proses kelahiran yang seharusnya menjadi momen bersejarah bagi keluarga, ternoda oleh ketidakprofesionalan bidan. Pasien dijadikan sebagai bahan praktek kepada mahasiswa yang sedang praktek di klinik tersebut saat pasien mengalami kontraksi yang parah. Bahkan setelah proses melahirkan, pelayanan yang diberikan tetap jauh dari harapan, keluarga pasien hanya diberi tahu tentang berat badan bayi 1,7 kg tanpa menyebutkan tinggi bayi, jenis kelamin bayi, dan jumlah jahitan pada pasien.
Pasca kelahiran, pasien yang seharusnya mendapatkan pelayanan pasca melahirkan malah disuruh untuk membersihkan diri sendiri tanpa bantuan bidan yang bertugas dan bidan hanya menutupi darah dengan kain samping. Bayi yang seharusnya di inkubator karena lahir dengan berat badan rendah malah dibiarkan pulang setelah keesokannya dimandikan cukup lama oleh tenaga kesehatan dari pukul 07.00-08.30. Pihak keluarga tidak mengetahui dimana bayi tersebut saat dimandikan, ternyata setelah diketahui bayi tersebut difoto new born oleh pihak klinik.
Setelah ibu dan bayi dipulangkan, bayi menolak ASI dan bahkan susu formula yang direkomendasikan. Keadaan semakin mengkhawatirkan ketika bayi mengalami buang air besar dan kemudian pada pukul 21.00, sang ibu menyadari bahwa bayi telah berhenti bergerak. Dalam kepanikan, keluarga berusaha menghubungi klinik Alifa namun tidak mendapat jawaban. Sang ayah segera membawa bayi ke klinik, tetapi klinik tersebut sudah tutup. Setelah digedor-gedor beberapa lama, muncul lah seorang bidan dan laki-laki yang membuka gerbang dan berkata bahwa anak tersebut telah meninggal.Â
Dengan cepat, sang suami membawa bayi ke RS Jasa Kartini Tasikmalaya, dan hasilnya bayi tersebut telah meninggal. Terungkap pula bahwa berat bayi yang diberikan oleh klinik Alifa, yakni 1,7 kg, ternyata tidak sesuai dengan kenyataan; bayi tersebut sebenarnya hanya memiliki berat 1,5 kg. Pihak RS bahkan menyatakan bahwa seharusnya bayi tersebut diinkubasi dan diberi ASI secara cukup.
Setiap tenaga kesehatan sebelum terjun ke dunia kerja harus melaksanakan sumpah profesi terlebih dahulu dan mempelajari kode etik sebagai pedoman dalam menjalankan profesinya. Dengan harapan mereka mampu bekerja secara profesional, bertindak sesuai integritas, jujur dan bertanggung jawab serta meminimalisir kejadian malpraktik saat memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Kasus meninggalnya bayi usai dirawat oleh bidan di sebuah klinik merupakan salah satu masalah serius yang perlu dikoreksi, terutama pada kualitas penanganan dan pelayanan medis yang diberikan. Dari uraian kronologi di atas, kasus ini dikategorikan sebagai pelanggaran kode etik dimana bidan bersikap acuh, lebih mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan pasien dan parahnya lagi telah menjadikan pasien sebagai bahan praktek untuk mahasiswa PKL (Praktek Kerja Lapangan) di klinik tersebut. Jelas hal tersebut sangat bertentangan dengan etika profesi kebidanan karena tindakan tersebut dapat membahayakan keselamatan nyawa pasien dan janinnya.Â
Kualitas penanganan yang diberikan bidan tersebut jauh dari kata sempurna karena tidak sesuai dengan prosedur persalinan yang tepat. Pasca melahirkan, pasien tidak dibantu untuk membersihkan diri namun dituntut untuk melakukan pembersihan secara mandiri, identitas bayi juga disembunyikan bahkan dipalsukan, bayi tidak diletakkan pada inkubator, dan mengambil bayi tanpa seizin pihak keluarga untuk dimandikan dan difoto new born. Beberapa tindakan tersebut tergolong dalam pelanggaran kode etik yang memberikan kesan negatif dalam pelayanan kesehatan karena telah mengesampingkan kenyamanan serta melanggar hak dan  privasi dari pasien.Â
Usai mendapatkan penanganan persalinan, bayi tersebut dipulangkan namun selang beberapa waktu bayi yang baru saja dilahirkan tersebut menghembuskan nafas terakhirnya. Pihak keluarga mencoba untuk meminta klarifikasi kepada pihak klinik namun tidak ada respon yang menunjukkan tanggung jawab atas segala tindakan malpraktik yang dilakukan oleh bidan tersebut. Dari kasus ini, ketidakprofesionalan seorang tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan medis dapat membahayakan keselamatan jiwa  karena bisa merenggut nyawa pasien atau klien.
Beberapa hukum kesehatan yang berkaitan dengan kebidanan diatur secara tegas dalam berbagai undang-undang di Indonesia, seperti Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, Undang-Undang No. 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan, dan Undang-Undang No. 4 tahun 2019 tentang kebidanan yang menjadi landasan hukum dalam mengatur praktik kebidanan di Indonesia. Selain itu, standar profesi bidan juga diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/320/2020.Â
Sebagai tenaga kesehatan, seorang bidan memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Hal ini tercermin dalam Pasal 5 (2) Undang-Undang No. 36 tahun 2009 yang menegaskan hak setiap orang untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Maka dari itu, bidan perlu mematuhi standar kompetensi, standar operasional prosedur, dan kode etik pada bidang tersebut.Â
Standar Kompetensi Bidan yang diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/320/2020 terdiri dari tujuh bab dan penutup yang menunjukkan kompleksitas dan kedalaman pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang bidan termasuk di dalamnya adalah etik legal dan keselamatan klien, kemampuan dalam komunikasi efektif, pengembangan diri dan profesionalisme, landasan ilmiah praktik kebidanan, Keterampilan klinis dalam praktik kebidanan, Promosi kesehatan dan konseling serta manajemen dan kepemimpinan yang baik. Selain itu, terdapat kode etik kebidanan yang disusun tahun 1986 dan disahkan dalam Kongres Nasional Ikatan Bidan Indonesia (IBI) X tahun 1988 Â yang meliputi berbagai aspek mulai dari kewajiban terhadap klien dan masyarakat, tugas bidan, kewajiban bidan terhadap diri sendiri, hingga dengan pemerintah, bangsa, dan tanah air.Â
Pada kode etik kebidanan menggarisbawahi pentingnya perilaku profesional dalam menjalankan tugasnya, senantiasa mendahulukan kepentingan klien, keluarga, dan masyarakat dengan identitas yang sama sesuai dengan kebutuhan berdasarkan kemampuan yang dimiliki lalu keterampilan klinis yang dimana setiap bidan senantiasa memberi pelayanan paripurna terhadap klien, keluarga, dan masyarakat sesuai dengan kemampuan profesi yang dimiliki berdasarkan kebutuhan klien, keluarga, dan masyarakat, dan penghormatan terhadap hak dan privasi pasien.Â
Dalam kasus ini dapat disimpulkan bahwa bidan tersebut masuk kedalam malpraktik yuridik. Jika seorang bidan melakukan malpraktik yuridik artinya melakukan malpraktik etik. Soedjatmiko membedakan malpraktik yuridik ini menjadi tiga bentuk, yaitu malpraktik perdata (civil malpractice), malpraktik pidana (criminal malpractice), dan malpraktik administratif (administrative malpractice). Maka, pada kasus malpraktik yuridik tersebut masuk kedalam kategori malpraktik pidana. Â Malpraktik Pidana (criminal Malpractice) terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat dokter atau tenaga kesehatan dan kurang hati-hati atau kurang cermat dalam melakukan upaya penyembuhan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut.Â
Malpraktik pidana dibagi menjadi tiga yaitu :Â
Malpraktik pidana karena kesengajaan (intensional),Â
misalnya pada kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis
Malpraktik pidana karena kecerobohan (recklessness),
   misalnya melakukan tindakan yang tidak legeartis atau tidak sesuai dengan  Â
   standar profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakanÂ
   medis
Malpraktik pidana karena kealpaan/kelalaian (negligence),Â
misalnya, terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan bidanÂ
   yang kurang hati-hati.Â
Karena berkaitan dengan malpraktik yuridik, ketentuan pidana akibat kelalaian/kealpaan ditetapkan pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang malpraktik sebagai berikut :Â
Pasal 359 KUHP menyatakan:
"Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun".
Pasal 361 KUHP menyatakanÂ
"Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan sesuatu jabatan atau pekerjaan, maka pidana itu boleh ditambah sepertiganya, dan dapat dijatuhkan pencabutan hak melakukan pekerjaan, yang dipergunakan untuk menjalankan kejahatan itu, dan hakim dapat memerintahkan pengumuman putusannya".
 Pihak (bidan) yang dikenakan pasal 359 KUHP dan pasal 361 KUHP dianggap harus lebih berhati-hati dalam melaksanakan pekerjaannya. Pelaku dapat dimintai pertanggungjawaban melalui penyelesaian tindak pidana malpraktik ialah dengan cara di proses jalur hukum ke pengadilan. Dijelaskan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Tepatnya pada Pasal 58 (1), menyatakan bahwa "Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya". Saat persidangan, keputusan dipegang oleh hakim dengan pertimbangan untuk dapat menjatuhkan hukuman berupa pencabutan hak melakukan pekerjaan yang dipergunakan untuk menjalankan kejahatan serta memerintahkan pengumuman keputusannya itu.
Tenaga kesehatan bertugas untuk memberikan pelayanan medis secara maksimal dan aman kepada masyarakat. Itulah prinsip yang harus dipegang oleh seluruh tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya demi tercipta suatu kenyamanan dan keselamatan bagi pasien atau klien. Oleh karena itu sumpah profesi bagi tenaga kesehatan harus dilaksanakan dan perlunya pemahaman yang maksimal terkait kode etik profesi sebelum terjun ke dunia kerja.Â
Namun seringkali ditemukan kasus pelanggaran kode etik oleh tenaga kesehatan. Salah satunya yaitu kasus meninggalnya bayi di sebuah klinik usai ditangani oleh seorang bidan akibat kelalaian dan malpraktik yang dilakukan. Untuk meminimalisir kejadian-kejadian merugikan seperti itu, terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang landasan praktik kebidanan, standar kompetensi bidan, dan kode etik kebidanan. Sedangkan untuk sanksi pelanggaran yang diberikan dapat berupa pidana penjara paling lama 5 tahun/pidana kurungan paling lama 1 tahun dan pencabutan jabatan profesi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H