Beberapa hukum kesehatan yang berkaitan dengan kebidanan diatur secara tegas dalam berbagai undang-undang di Indonesia, seperti Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, Undang-Undang No. 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan, dan Undang-Undang No. 4 tahun 2019 tentang kebidanan yang menjadi landasan hukum dalam mengatur praktik kebidanan di Indonesia. Selain itu, standar profesi bidan juga diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/320/2020.Â
Sebagai tenaga kesehatan, seorang bidan memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Hal ini tercermin dalam Pasal 5 (2) Undang-Undang No. 36 tahun 2009 yang menegaskan hak setiap orang untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Maka dari itu, bidan perlu mematuhi standar kompetensi, standar operasional prosedur, dan kode etik pada bidang tersebut.Â
Standar Kompetensi Bidan yang diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/320/2020 terdiri dari tujuh bab dan penutup yang menunjukkan kompleksitas dan kedalaman pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang bidan termasuk di dalamnya adalah etik legal dan keselamatan klien, kemampuan dalam komunikasi efektif, pengembangan diri dan profesionalisme, landasan ilmiah praktik kebidanan, Keterampilan klinis dalam praktik kebidanan, Promosi kesehatan dan konseling serta manajemen dan kepemimpinan yang baik. Selain itu, terdapat kode etik kebidanan yang disusun tahun 1986 dan disahkan dalam Kongres Nasional Ikatan Bidan Indonesia (IBI) X tahun 1988 Â yang meliputi berbagai aspek mulai dari kewajiban terhadap klien dan masyarakat, tugas bidan, kewajiban bidan terhadap diri sendiri, hingga dengan pemerintah, bangsa, dan tanah air.Â
Pada kode etik kebidanan menggarisbawahi pentingnya perilaku profesional dalam menjalankan tugasnya, senantiasa mendahulukan kepentingan klien, keluarga, dan masyarakat dengan identitas yang sama sesuai dengan kebutuhan berdasarkan kemampuan yang dimiliki lalu keterampilan klinis yang dimana setiap bidan senantiasa memberi pelayanan paripurna terhadap klien, keluarga, dan masyarakat sesuai dengan kemampuan profesi yang dimiliki berdasarkan kebutuhan klien, keluarga, dan masyarakat, dan penghormatan terhadap hak dan privasi pasien.Â
Dalam kasus ini dapat disimpulkan bahwa bidan tersebut masuk kedalam malpraktik yuridik. Jika seorang bidan melakukan malpraktik yuridik artinya melakukan malpraktik etik. Soedjatmiko membedakan malpraktik yuridik ini menjadi tiga bentuk, yaitu malpraktik perdata (civil malpractice), malpraktik pidana (criminal malpractice), dan malpraktik administratif (administrative malpractice). Maka, pada kasus malpraktik yuridik tersebut masuk kedalam kategori malpraktik pidana. Â Malpraktik Pidana (criminal Malpractice) terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat dokter atau tenaga kesehatan dan kurang hati-hati atau kurang cermat dalam melakukan upaya penyembuhan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut.Â
Malpraktik pidana dibagi menjadi tiga yaitu :Â
Malpraktik pidana karena kesengajaan (intensional),Â
misalnya pada kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis
Malpraktik pidana karena kecerobohan (recklessness),
   misalnya melakukan tindakan yang tidak legeartis atau tidak sesuai dengan  Â
   standar profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakanÂ