Mohon tunggu...
Naura Yasmin
Naura Yasmin Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Adam

6 November 2018   13:20 Diperbarui: 8 November 2018   13:47 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto oleh Kurdi, Masjid Baitunnur Pesantren Nuris Jember

Beberapa jam perjalanan menuju pesantren membuatku mengantuk. Adikpun sudah tidur sejak awal perjalanan. Aku tak pernah mengira bahwa aku akan berpisah sejauh ini dengan orang tuaku. Satu persatu kulihat pohon-pohon yang seolah menyapaku. Ini sudah di luar kota tempat kami tinggal. Pastinya mereka menyapaku, si orang baru ini.

Ayah memutar setir mobil ke arah kanan, dan terlihat jelas tulisan Pondok Pesantren Ar-Rahman. Keadaan begitu ramai namun tak berisik, aku melihat banyak santri baru yang berdatangan dengan ekspresi wajah yang berbeda -- beda. Ayah memarkirkan mobil di dekat koperasi pesantren. Aku turun terlebih dahulu sambil menurunkan barang -- barang. Kuperhatikan suasana dengan langit mendung saat itu, rasanya begitu damai melihat para santri yang mungkin sudah cukup lama menikmati masa-masa sarungan mereka. Namun aku juga melihat banyak calon santri dengan mata sembab mereka, bahkan orang tu pun ada yang sampai menangis histeris karena pastinya melepas dan jauh dari anak bukanlah hal yang mudah.

***

Beberapa bulan berlalu, aku telah resmi menjadi penghuni pesantren yang telah berumur hampir seabad. Sore itu, selesai sholat ashar dan masih di masjid yang penuh ketenangan, kulihat ayah yang berada di shaf paling depan, beliau mengangkat kedua tangannya seraya menundukkan kepalanya. Entahlah, mungkin ayah menangis. Kuperhatikan punggung yang terlihat begitu kuat, disitu aku termenung sambil menerka mungkin dibalik kehumorisan dan ketegasan ayah selama ini beliau juga meneteskan air matanya ketika menyebut nama keluarga di dalam doanya. Memikirkan hal itu akupun bersujud memohon pada sang Kuasa agar hati, jiwa, dan tubuhku betah berada di sini agar aku tak mengecewakan dua malaikat tak bersayap yang selalu berjuang untukku. Selesai dari sujudku, akupun kembali ke kamar menghampiri ayah sembari kulontarkan pertanyaan yang mengganjal khusuknya sholatku tadi.

 "Yah, Ibu mana?"

"Ibu sudah ke mobil duluan" Ayah menjawab singkat  seperti terburu-buru untuk pulang. Aku tak berani meneruskan pertanyaan. Aku memilih untuk diam, sebelum ditanya oleh Ayah. Pertanyaan cukup satu kali, selebihnya adalah menunduk ta'dzim kepada Ayah. Itu yang aku tunjukkan kepada Ayah sebagai hasil belajarku di pesantren. Selain itu, Ayah juga tampaknya tak begitu bergairah. Apakah Ayah dan Ibu kembali bertengkar di rumah? Kecurigaanku segera kuhapus, kuganti dengan doa semoga ayah dan Ibu baik-baik saja. Kalaupun benar bertengkar, aku harap mereka segera baikan. Kunjunganku berakhir dengan mencium tangan Ayah dengan kedua tanganku. Kuhirup dalam-dalam, berharap keridhoan Ayah. Oh. Andai saja Ibu tak marah kepada Ayah. Tentu aku juga dapat dengan harunya mencium kedua tangannya.

***

Hari-hari terus berganti, aku kian menikmati kehidupanku di pesantren. Setiap hafalan yang berhasil kutancapkan dalam-dalam ke lubuk hati semakin meyakinkanku akan kebaikan yang akan kudapatkan kelak.Tak lupa kudoakan Ayah dan Ibu di rumah agar senantiasa diberkahi oleh Allah SWT.

Di sela-sela pembelajaran Amtsilati, sebuah metode pembelajaran Bahasa Arab, kudengar sebuah gosip dari teman yang berjaga di pos kunjung. Katanya ayah menitip pesan kepada ustad bahwa besok beliau dan adik akan kesini esok pagi. Aku semakin bersemangat mengingat ada banyak hal yang ingin kusampaikan kepada ayah dan Ibu tentang hal hal seru yang kudapat selama beberapa bulan ini.

Tepat pukul 9 pagi mobil hitam milik keluargaku terlihat jelas mamasuki gerbang pondok, ayah keluar dari mobil dan disusul adik. Tak menunggu lama aku mendapatkan izin dari guru kelas dan langsung menghampiri mobil keluargaku.

"Mas adam...!!" adikku berlari memelukku akupun membalas pelukannya dengan erat. Tubuhku memang  sedang memeluk Zaka adik tercintaku, namun mataku masih tertuju ke arah mobil yang kulihat sudah dikunci oleh ayah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun