"Kalau sambal terasi ada nggak  yah?"
"Penasaran kan? Maka dari itu ayah suruh kamu mondok biar kamu gak perlu ngomong sama google, Ok google adakah sambal terasi di pesantren? hahaaa" Ayah tertawa begitu lepas sedangkan aku hanya bisa memasang wajah datar sambil menelan satu per satu sarapanku yang kata ayah nanti akan kurindukan saat di pesantren. Selesai menghabiskan sarapan aku duduk dikursi ruang tamu yang dindingnya penuh dengan puisi hasil dari jemariku yang sudah menganggur 3 bulan karena lIbur panjang sekolah. Entah mengapa rasanya saat ini aku tak sabar untuk cepat cepat sampai ke tujuanku. Mataku menatap jauh ke arah luar, aku sedang mengira-ngira mungkin saat di pondok nanti aku tidak akan lagi melihat perkumpulan Ibu-Ibu komplek yang setia menunggu Pak Amin, pedagang sayur setiap pagi. Merekakah yang akan aku rindukan di pondok?
Suara kemernyit sandal jepit dari kaki Ibu terdengar memecah lamunanku. Aku menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 9 pagi . Ini berarti kurang 1 jam lagi kami berangkat menuju pesantren. Ayah dan Ibu masih sIbuk berbicara membahas keberangkatanku. Aku yang masih saja termangu, tak tahu apa yang aku khawatirkan. Aku tahu bahwa tak ada yang perlu ditakutkan. Tak ada yang perlu dikhawatirkan, karena aku yakin setiap orang mempunyai alasan mengapa dia memilih sesuatu. Begitu pula Ayah, beliau pasti punya alasan sendiri mengapa aku diarahkan agar menjadi santri. Kulihat wajah ayah yang sesekali menoleh ke arahku sembari berbicara dengan Ibu.
"Dam. Ambil kopermu masukkan dalam mobil, jangan lupa bantal dibawa juga Ibu masih mau ganti baju" Ibu tiba-tiba mengagetkanku.
"Tidak boleh bawa guling bu? Kasur Adam gimana?mau dibawa pakai apa mobil kan gak muat"
"Kasur dikamarmu mau kau bawa? Boleh saja, asal pakai gerobak sayur pak Amin" Ibu memasuki kamar sambil tertawa kecil, seakan akan mengejekku yang belum tahu banyak seperti apa kehidupan seorang santri.
"Sudah selesai semua kan? ayo yah kita berangkat"
"Ayo, Adam juga sudah siap. Tuh keliatan dari tampangnya mirip tentara mau perang" Ayah menjawab perkataan Ibu dengan tawa renyah.
"Adam Surya Pamungkas. Asal kamu tau, Nak. Tidak ada orang tua yang merasa senang apabila jauh dari anaknya" Ibu merangkulku erat seraya mengelus kepalaku. Kalimat Ibu saat itu begitu menusuk membuat bulir air mataku menetes hangat di kedua pipiku. Ibu langsung menghapus air mataku, aku pun hanya diam, rasanya memang berat meninggalkan sebuah keluarga kecilku ini. Selepas pelukan hangat itu, aku langsung berjalan menuju mobil mengangkat barang-barangku sendiri. Dengan semangat belajar yang tiba-tiba saja merasuk ke dalam jiwaku, aku bertekad tidak akan mengecewakan keluarga yang selama ini telah menyayangiku semenjak kecil. Harapan ayah dan Ibu tak boleh pupus oleh kegagalanku. Aku harus berani dan berhasil.
"Ayah, Ibu, ayo!" aku menatap wajah mereka masing masing yang hanya memperhatikanku dari dalam rumah. Ayah dan Ibu saling memandang seakan mengerti apa yang aku rasakan, aku memang sudah berusaha sebisa mungkin agar membuat kedua orang tuaku senang ketika anaknya sudah menemukan jalan yang lebih baik. Kulihat senyum penuh harapan memancar dari kedua wajah orang tuaku.
***