"Angga..!"
Satu teriakan.
"Angga..!"
Dua teriakan, dan masih belum ada jawaban.
"ANGGA!"
Tiga teriakan dan baru cukup untuk  membangunkan Angga, anak kuliah yang super pemalas tapi masih bisa dibilang pintar. Jelas pintar, Ia adalah mahasiswa dari kampus ternama di Bandung, keterima lewat SBM/PTN pula. Angga masih berbaring di tempat tidur, rasanya malas sekali untuk sekedar membuka matanya. Suara tadi adalah suara milik Ibunya dan sudah menjadi rutinistasnya untuk berteriak setiap pukul 8:00. Angga berharap pita suara ibunya tidak mengalami kerusakan alias selalu sehat walafiat. aamiin.
Angga mengiyakan ibunya namun ia masih tak bergerak sama sekali. Cowok ini mengangkat kelopak matanya keatas dan melihat jam sudah menunjukkan pukul 8:30. Matanya terbelalak, nyaris saja akan keluar. Kemeja kotak - kotak, jeans biru dan sepatu vans hitam terpasang di tubuhnya sepersekian detik kemudian. Angga menyempatkan menyisir rambutnya. Ia pun bergegas menaiki motor usangnya, melesat pergi ke kampus.
...
"Eh lo udah ngerjain tugas makalah belum?" tanya salah satu teman dekat Angga di sela - sela pelajaran.
"Belum, nanti aja deh. Bukannya masih lama deadlinenya ya, Mil?" jawab Angga santai sambil mencatat perkataan dosen di depan kelas.
"Iya sih. Masih tanggal 27.. um.. seminggu lagi," kata Emil, menghitung tanggal sampai tanggal 27 dengan ketujuh jarinya.
Dosen telah mengakhiri pembelajarannya hari ini dan mempersilakan para murid untuk meninggalkan ruang kelas. Angga melirik Emil sebentar dan berniatan mengajaknya nongkrong di kafe depan kampus.
"Mil, ngopi yuk sekalian ngerjain tugas," ajak Angga. Padahal, ia tak memiliki niatan untuk mengerjakan tugas sama sekali. Tapi ya, biar kelihatan keren aja gitu. Plus, Emil tidak akan ikut jika Angga tak mengucapkan embel embel 'tugas'.
"Yuk, gua pengen nyicil ngerjain makalah juga nih" kata Emil.
Mereka berdua melesat pergi ke kafe terdekat. Selama perjalanan, Angga berpapasan dengan sahabat karibnya yang lain. Emil mengenalnya tapi tak sedekat Angga. Jadi, sekarang mereka bertiga menuju ke kafe bersama.
Sesampainya, mereka memesan kopi dan sedikit cemilan. Pesanannya sedikit tapi menghabiskan waktu berjam - jam, kebiasaan para mahasiswa. Tak lupa, Angga menanyakan password wifi nya. Ia heran, kenapa kafe ini senang sekali gonta - ganti password. Toh, ujung ujungnya ia juga akan menanyakannya kepada pelayan.Â
Aneh, pikir Angga.
Emil mengeluarkan laptop putih miliknya dan mulai mengetik kalimat per kalimat. Jangan salah, Angga juga mengeluarkan laptopnya kok. Bedanya, Angga malah melenceng mengeklik game kesayangannya.
"Kebiasaan ye lu, bilang pengen nugas malah main," Emil tertawa sedikit melihat apa yang Angga lakukan.
"Kalau gua gak bilang sekalian nugas, lu mana mau gua ajak, Mil" sahut Angga sambil sibuk menatap layar laptopnya.
"By the way, Jan. Lu tumben banget ke daerah sini. Secara lu kan orang sibuk sekarang," Angga memulai percakapannya dengan Faozan. Faozan, teman baiknya ketika SMA. Dulu di SMA, Faozan terkenal karena  kelemotannya, tapi sekarang dia sudah menjadi orang sukses di umurnya yang masih muda. Ia diam diam membangun perusahaan kecil - kecilan di bidang komputer sehabis lulus SMA. Bukan otaknya saja yang glow up, wajah Faozan juga ikut glow up. Berbanding tebalik dengan Angga yang malah glow down keduanya.Â
"Hehe iya, Ngga. Lagi ada kerjaan deket sini," kata Faozan yang akrab dipanggil Ojan.Â
Ojan bercakap - cakap dengan Angga. Emil juga, ia menjadi tak fokus dengan makalah yang sedang ia kerjakan. Mereka bertiga saling bertukar cerita, lebih tepatnya Angga yang menceritakan cerita - cerita konyol sewaktu dia dan Ojan SMA. Seiring waktu, Ojan harus pulang terlebih dahulu dikarenakan urusan pekerjaan. Angga dan Emil pun juga memutuskan untuk pulang ke rumah masing masing.
...
Hari - hari berlalu, Angga menjalaninya seperti biasa, tanpa beban. Pergi ngampus, pulang, ngegame, makan lalu tidur. Sesekali Angga membaca buku. Mungkin ini satu - satunya aktivitas yang berguna, yang ia lakukan di rumah . Ia memang senang membaca buku sejak kecil. Ketika sedang asyik membaca buku, handphone milik Angga bergetar menunjukkan masuknya notifikasi. Ia mengecek, ternyata hanya peringatan kuota habis. Namun, mata Angga tertuju pada tanggal diatas. Tanggal 2, tertera di layar handphonenya.Â
Tiba - tiba, Angga merasa seperti disambar petir, ia bahkan merasakan ototnya melemas. Ia baru saja diserang oleh monster yang muncul entah darimana untuk mengingatkannya ketika deadline sudah mendekati. Ya, tugas makalah yang harus dikumpulkan satu hari lagi. Satu hari lagi, artinya besok?!Â
Tanpa banyak berpikir, Angga mengambil laptopnya secepat kilat. Ia memulai mengetik di layar putih polos itu, mengetik apa saja yang ada di benaknya. Angga sesekali melihat google sebagai referensi. Tenang saja, Angga tidak berniat untuk meniru. Ia hanya membutuhkan sedikit inspirasi.Â
Langit siang menjadi sore. Seiring waktu, sore pun juga terlewati. Hari semakin gelap. Matahari pun sudah berganti tugas dengan si bulan. Bunyi rintikan gerimis sisa hujan sore itu masih terdengar samar - samar. Namun, Angga tak menyadari hari sudah semakin gelap. Bahkan, Ia juga tak tau kalau tadi hujan. Jari lentiknya sibuk bergerak keliling keyboard laptopnya. Angga menghela napas.
Huh, keburu ga ya ini. pikir AnggaÂ
Di dalam otaknya saat ini, tak lagi memikirkan harus membuat makalah yang bagus. Asal selesai saja, alhamdulillah. Waktu terus bergulir, mata Angga sudah mulai mengantuk. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, masih tersisa 3.600 detik lagi sebelum deadline. Jari Angga semakin cepat mengetik. Angga sudah tak tahu apa yang telah ia tulis saat ini. Satu menit sebelum pukul 12.Â
Klik. Terkirim.
Senyum lebar muncul pada wajah Angga. Ia sedikit bangga dengan apa yang ia lakukan dalam 18 jam terakhir. Akhirnya, ia bisa beristirahat.
...
Esok hari datang, Angga bersiap untuk ke kampus. Seusai kelas, seorang dosen menghampiri Angga. Bu Lismi, dosen yang memberi tugas makalah. Namun, Angga tak sadar ada seorang dosen yang menghampirinya karena jarang sekali dosen yang ingin berbicara dengannya.
"Angga Diprantoro?"Â
"Iya, Bu" jawab Angga dengan sangat ragu - ragu.
"Makalah kamu bagus sekali ya," kata Bu Lismi, sarkas.Â
"Lebih bagus lagi kalau kamu tidak kumpulkan." lanjut dosen ini, lebih sarkas lagi.Â
Bu Lismi berjalan meninggalkan Angga. Sedangkan, Angga masih tak bergeming di tempat.  Jelas, ia tak berpikir bahwa Bu Lismi akan memuji makalahnya. Namun, ia agak sedikit malu dengan apa yang Bu Lismi katakan padanya. Tapi, mau bagaimana lagi? Angga memang harus diingatkan dengan kata - kata  yang pedas. Pada akhirnya, Angga menyesal telah menunda - nunda tugasnya.Â
...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H