Mohon tunggu...
Irfan Tamwifi
Irfan Tamwifi Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Bagikan Yang Kau Tahu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

7 Alasan Menolak Keshahihan Nasab Ba'alawi

12 Juni 2024   08:00 Diperbarui: 13 November 2024   02:14 3317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Polemik nasab Ba'alawi bergulir bagai bola salju yang berkembang semakin liar. Alasan penolakan keshahihan nasab Ba'alawi sebagai keturunan (dzuriyyah) nabi, yang semula didasarkan atas tesis Kyai Imaduddin Usman mendapat banyak dukungan data-data, informasi dan narasi baru yang dengan sendirinya menambah besar alasan penyangkalan.

Ramainya dukung-mendukung menjadikan diskursus nasab yang diwarnai beragam framing, narasi, cacian dan sikap saling merendahkan mengaburkan tema semula, yaitu apakah benar para Habaib Ba'alawi keturunan nabi atau bukan. Untuk membantu memahami persoalan tersebut, artikel ini berupaya memberikan ulasan sederhana tentang alasan masyarakat menolak keshahihan nasab Ba'alawi. Sebagai pengimbang dibahas pula alasan masyarakat menerima keshahihan nasab Ba'alawi yang disajikan dalam artikel berbeda.

Sebenarnya ada banyak alasan penolakan keshahihan nasab Ba'alawi yang berkembang di masyarakat, tetapi berikut ini disajikan ulasan tentang beberapa alasan yang umum berkembang di masyarakat muslim di Indonesia.

1.    Tesis Kyai Imaduddin

Kyai Imaduddin Usman Banten adalah orang pertama di Indonesia yang berani terang-terangan menyatakan bahwa kaum Ba'alawi bukan keturunan nabi. Berdasarkan kajian terhadap kitab-kitab klasik dan manuskrip-manuskrip nasab, Kyai Imaduddin menemukan fakta bahwa nasab Ba'alawi baru ditulis oleh Ali Asy-Syakran sekitar abad 9 atau 10 Hijriyah. Dengan kata lain, rangkaian nasab habaib Ba'alawi selama sekitar 500-550 tahun sejak era Ahmad bin Isa al-Muhajir, yang mereka klaim sebagai datuknya, sampai dengan masa penulisan nasab oleh Asy-Syakran, mengandung banyak manipulasi. Ali Asy-Syakran bahkan disebut sebagai sang penipu (al-kadzdzab) karena telah memalsukan nasab klan Ba'alawi yang diyakini hanya berdasarkan hasil rekaannya sendiri. Hal ini terlihat dari banyaknya nama dalam rangkaian nasab tersebut yang tidak terverifikasi oleh catatan dalam kitab nasab ataupun manuskrip sejaman yang dapat dipercaya.

Kyai Imaduddin juga menunjukkan fakta bahwa al-Muhajir tercatat tidak mempunya anak bernama Ubaidillah atau Abdullah. Al-Muhajir yang dalam catatan nasab kaum Ba'alawi diklaim sebagai ayah Ubaidillah bahkan tidak pernah hijrah ke Hadromaut Yaman melainkan di Iraq dan dimakamkan di sana.  Karena itu, Ubaidillah yang diklaim sebagai datuk kaum Ba'alawi diyakini hanyalah tokoh fiktif, sebab selain bukan anak al-Muhajir juga tidak ditemukan catatan mengenai bukti keberadaannya dalam kitab-kitab nasab dan manuskrip-manuskrip sejaman yang mu’tabarah (terverifikasi). Selain Ubaidillah, Kyai Imaduddin juga menemukan 14 nama dalam rangkaian nasab Ba'alawi yang diidentifikasi fiktif karena tidak didukung bukti berupa catatan dalam kitab atau manuskrip nasab sejaman yang terpercaya. 

Kyai Imaduddin menantang kaum Ba'alawi menunjukkan kitab atau manuskrip sejaman yang mampu memvalidasi nama-nama yang mereka klaim sebagai leluhurnya.  Tidak satupun tokoh Ba'alawi yang merespon tantangan itu dengan menunjukkan data-data dari kitab dan manuskrip pendukung yang mampu menyanggah hasil kajian Kyai Imaduddin. Sanggahan berdasarkan validasi data-data nasab oleh kaum Ba'alawi lebih banyak dilakukan oleh para pembelanya, yang dengan segala upaya berupaya mementahkan tesis kyai Imaduddin dengan data-data yang mereka miliki. Hanya saja, minimnya data yang terverifikasi membuat berbagai bukti yang ditunjukkan oleh para pembela Ba'alawi dengan mudah dimentahkan oleh Kyai Imaduddin melalui verifikasi data yang sulit dibantah. 

Seperti dinyatakan Said Aqil Siraj, sampai saat ini belum ada satupun habaib Ba'alawi maupun pembelanya yang mampu menjawab tesis penelitian ini melalui kajian serupa yang didukung bukti ilmiah berupa data-data terpercaya. Kaum Ba'alawi dan para pembelanya hanya menjawab tesis kyai Imaduddin melalui narasi dan framing di luar konteks kajian nasab. 

Bukannya meladeni adu data dari kitab dan manuskrip, kaum Ba'alawi dan para pendukungnya lebih banyak mengandalkan framing dan narasi-narasi berkenaan dengan keharusan memulyakan dzuriyah nabi dengan disertai berbagai "intimidasi spiritual" bagi masyarakat yang mengingkari keshahihan nasab mereka. Di antara bentuk intimidasi spiritual yang sering digaungkan adalah menyebut para pembatal nasab sebagai iblis, terancam mati dalam keadaan kafir, hingga terancam tidak mendapat syafaat nabi di hari kiamat karena menyakiti keturunannya. 

Mereka berupaya mendegradasi kyai Imaduddin dan hasil kajiannya dengan membangun narasi bahwa tesis tersebut sebagai karya yang tidak memenuhi kalayakan untuk dipercaya serta melabelinya dengan predikat negatif, semisalnya menyebutnya sebagai perilaku sesat, bid'ah, produk wahabi, syi'ah, khawarij dan sebagainya, yang bertolak belakang dengan sikap ulama terdahulu. Itu sebabnya, argumen yang paling mereka andalkan adalah apresiasi dan penghormatan beberapa ulama atas klan mereka. Meski apresiasi tokoh dan ulama panutan kalangan muslim tradisionalis, seperti Ibnu Hajar, Imam Nawawi dan Hasyim Asy’ari bukan dalam kapasitas mengitsbat nasab, tetapi apresiasi dan penghormatan mereka terhadap kaum habaib mereka pandang sudah cukup sebagai bukti bahwa nasab mereka diakui. 

Gagal menunjukkan data pembanding yang mampu mementahkan kajian nasab kyai Imaduddin, mereka mengandalkan unjuk pengaruh dan dukungan. Kalah dalam pertarungan kekuatan logika, kaum Ba'alawi memilih mengandalkan logika kekuatan, dengan menunjukkan besarnya dukungan masyarakat dan tokoh-tokoh agama terhadap klaim mereka sebagai keturunan nabi. Mereka juga banyak menggalang dukungan tokoh-tokoh penting dari kalangan ulama dan pakar nasab di dalam dan luar negeri untuk meyakinkan bahwa nasab mereka diakui, tanpa perlu menjawab tesis yang membatalkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun