"Aku memang salah. Aku sudah menyakiti kamu. Aku minta maaf" sambungnya.
"Sudahlah...." Sahutku menenangkan sembari perlahan terus mengelus punggungnya. Beberapa saat kami kembali terdiam, dan hanya air mata yang tak mampu kutahan dan terus mengucur perlahan di wajah kami berdua.
Perasaanku mulai sedikit kesal. Aku berniat meninggalkannya di tempat tidur, tetapi dia menahanku. “Sayang…, jangan pergi, dong” rengeknya. Dia tahu aku mulai kehilangan kesabaran.
Akupun mengurungkan beranjak dari sampingnya, meski beberapa saat kami hanya terdiam bersama. Setelah perasaan kami kembali tenang, dia kembali mulai bicara. "Aku akui, buatku Zain dan Faiz memang berbeda dari teman-temanku yang lain. Aku tahu itu salah dan tak seharusnya perasaan seperti itu ada"
"Sudahlah, sayang. Kamu tak perlu memaksakan diri bercerita" sahutku lirih.
"Enggak sayang. Kamu sudah begitu baik padaku. Aku tak bisa bayangkan bagaimana sikapmu bila saja kamu bukan orang yang sangat sabar”rengeknya lagi diiringi tangis.
“Setelah sekian lama bersitegang denganmu, aku rasa ini kesempatanku untuk jujur padamu" sambungnya, tetapi beberapa saat dia hanya terdiam seakan berfikir keras untuk merangkai kata.
"Sejujurnya aku tak tahu bagaimana mengatakannya. Mungkin kamu benar, perasaan khusus itu masih ada, meski selama ini tidak pernah terus terang menyatakan suka antara satu dan lain. Kuakui, aku ada perasaan berbeda bila kontak dua orang itu. Mungkin karena aku terlanjur dekat dan bisa saling terbuka" Akunya hati-hati.
"Dia memang sering bercanda-canda yang bernada menggoda, dan mengarah pada perasaan… Ya… aku… Aku senang mengetahui perasaan dia padaku. Aku… aku senang perasaan itu terbuka kembali” Akunya lagi.
“Tapi aku menyadari kami lebih sayang pada keluarga masing-masing dan tidak akan merusaknya. Aku tahu dalam batas mana aku bisa berhubungan dengan dia. Aku selalu ingat keluarga, dan tak akan berhubungan sampai taraf yang membahayakan hubunganku dengan kamu" Buru-buru dia menyambung.
"Membahayakan bagaimana?" Selaku.