[caption id="attachment_213701" align="alignleft" width="150" caption="Sumber: Foto sendiri"][/caption] Beberapa bulan ini suasana batinku begitu berbeda. Sejak kembali bisa menjalin kontak dengan Nia, mantan kekasihku, perasaanku terasa berbunga-bunga. Setiap saat kami menghabiskan waktu untuk saling telpon berlama-lama atau bertukar SMS yang sambung-menyambung seakan tak bisa berkhir, meluapkan segudang kerinduan yang selama ini terpendam sangat dalam.
Aku begitu girang melihat sikap Nia yang kembali manis padaku seperti saat kami masih menjalani hari-hari bersama dulu. Padahal sejak dia menikah, sikapnya terkesan angkuh, seakan enggan kontak denganku. Hampir dua belas tahun terakhir, hanya sesekali aku telepon dia sekedar bertanya kabar penuh basa-basi, yang itupun terlalu singkat untuk kembali merasa dekat. SMS ucapan selamat hari raya yang selalu berbalas menjadi satu-satunya pengingat masa indah yang pernah kami jalani bersama.
Sekarang setiap hari aku selalu menantikan telepon atau SMS darinya. Apalagi akhir-akhir ini dia yang selalu memulai SMS atau telepon lebih dulu, sekedar bertanya kabarku, keluargaku, masalah teman kuliah kami, yang berlanjut dengan saling berbagi cerita, canda dan tawa yang seakan tak ingin kami akhiri.
Diapun mulai hafal kapan aku bisa terima telepon dan SMS tanpa terganggu. Rupanya dia khawatir suaminya tahu, seperti halnya kekhawatiranku. Aku sendiri merasa tak enak telepon atau SMS duluan, kuatir suaminya sedang ada di dekatnya. Akupun tak nyaman telepon dan saling SMS dengannya saat di dekat istriku.
Bagaimanapun kami sudah sama-sama berkeluarga. Kami harus menjaga mahligai yang telah terbina, meski kusadari diriku kian hanyut, larut menikmati indahnya memori yang terukir kembali. Aku tak peduli adrenalinku selalu berpacu setiap kali bertemu istriku, karena harus buru-buru menghapus tumpukan SMS dari memory handphone-ku.
Benda yang itu serasa kian keramat bagiku, karena harus kugenggam erat-erat dan kujauhkan dari jangkauan istriku. Aku tak berani membayangkan apa reaksi istriku bila tahu isihandphone-ku. Meski tak pernah terucap, akupun berharap Nia juga menghapusnya, sehingga kebersamaan maya ini tetap terjaga.
Memang tak ada kata terucapkan untuk kembali menautkan hati, tapi jelas kurasa diapun menikmati kebersamaan ini. Aku selalu tergoda untuk merayunya, membangkitkan rasa yang pernah kami punya. Reaksinya memang tak lagi menyergah atau tersipu seperti dulu, tapi jelas kurasakan dia masih menyukaiku.
'Sebenarnya aku kangen banget sama kamu" bisikku via telepon siang itu.
"Alah... Apaan sih? O, iya katanya Adikmu mau menikah sama orang sini, ya?" sergah mantan kekasihku itu mengalihkan pembicaraan.
"Adik istriku, tapi masih bulan depan, kok. Besok baru lamaran. Kalau boleh aku ingin silaturahmi lagi  ke rumah kamu" Sahutku sopan, tapi dia tak merespon.
"Boleh nggak?" tanyaku lagi.
"Boleh saja" jawabnya dengan nada ragu.
"Tapi telepon dulu ya?"
"Kenapa?" tanyaku menggoda.
"Jaga-jaga aja" jawabnya sembari tertawa lirih.
"Sama istrimu juga?" tanyanya ragu.
"Enggaklah..."
Aku begitu girang mendengar suaranya. Aku merasakan betapa kami menikmati kisah ini, meski tak ada kata cinta, tak ada janji. Aku sudah sangat bahagia masih bisa memiliki sebagian tempat dalam hatinya.
==***==
Seminggu ini Nia sama sekali tak mengontakku. Beberapa SMS yang kukirim tak satupun dibalas. Berkali-kali aku jenguk akun facebooknya, tapi tak satupun kabar dia update. Aku jadi sering gelisah. Meski berusaha tak memikirkannya, kuakui aku merasa cemas, jangan-jangan dia ketahuan suaminya.
Minggu-minggu berlalu, aku memendam rasa kuatir, jangan-jangan sesuatu terjadi padanya. Aku telepon Dewi, Wawa dan Umi, teman-teman dekatnya waktu kuliah, tapi tak satupun tahu kabarnya. Mereka yang semula begitu sering kontak-kontakan dengan Nia bahkan merasa kehilangan jejak.
Aku tak mungkin mendatanginya untuk mencari tahu. Aku bahkan kuatir suaminya datang melabrakku yang sudah pasti akan mengusik kedamaian keluarga kecilku. Aku hanya bisa berusaha menenangkan hatiku, menyibukkan diri dengan pekerjaan dan keluargaku.
"Bied, kamu jangan telepon Nia lagi" ucap Umi sore itu di telepon.
"Memang kenapa?" Tanyaku memastikan.
"Kayaknya dia lagi ada masalah dengan suaminya gara-gara kamu"
"Kok aku?"
"Sudahlah, nggak usah pura-pura. Nia bilang telepon dia disadap sama suaminya" jelas Umi di akhir telepon.
Aku berusaha bercanda seakan tak tahu masalahnya, meski tubuhku terasa lemas mendengarnya. Beberapa saat perasaanku begitu tertekan. Aku merasa tak bisa berfikir apa-apa.
Saat perasaanku mulai tenang, perlahan aku mulai berfikir. "Masak, sih disadap? Kaya KPK saja" gumanku dalam hati. Aku mulai sedikit ragu suami Nia mampu menyadap telepon, hingga akhirnya kutelepon Amin, sahabatku yang pintar komputer.
"Kemajuan teknologi bisa sangat menipu mereka yang tidak tahu dan tidak mencintainya. He, he, he..." Amin mengolok-olok ketidaktahuanku. Aku memang gagap teknologi. Aku baru tahu kalau sekarang sudah ada teknologi untuk menyadap telepon dan SMS.
Beberapa minggu terakhir aku mulai merasa tenang. Â Suami Nia rupanya tidak melakukan apa-apa padaku, tapi aku terkejut bukan kepalang saat melongok sebuah pesan dari suami Nia di halaman facebook-ku. "Bos. Aku menyadap kamu suka merayu istriku via telepon. Kalau masih suka, aku tak keberatan kalau sesekali kita tukeran istri biar masing-masing saling tahu rasanya" Tulisnya.
Aku tak tahu harus menjawab apa. Aku merasa terteror oleh pesan suami Nia, tapi aku biarkan tanpa menjawabnya. Â Aku merasa seperti maling yang ketangkap basah yang tak tahu akan lari ke mana.
Sejak saat itu aku mulai enggan meng-update statusku. Aku berusaha menjawab teror suami Nia dengan meng-up load foto-foto keluargaku. Aku berharap Nia dan suaminya tahu betapa aku punya keluarga yang bahagia. Aku tak butuh Nia dan perempuan manapun selain dia.
Setelah beberapa bulan berlalu, aku mulai melupakan peristiwa itu. Aku kian asyik dengan pekerjaan dan keluargaku. Aku bahkan sempat ikut lomba wirausaha mewakili tempatku bekerja.
"Pa kabar, Bos? Kok lama ga ngrayu istriku? Ga kangen, ta?" Â Sebuah SMS bernada sinis mengejutkanku beberapa hari yang lalu. Meski dari nomor yang aku tak kenal, tapi dari nadanya aku tahu itu dari suami Nia.
"Aku tak segila kamu" balasku beberapa lama setelah memberanikan diri.
"SMS balasanku masuk gak?" Sambungku tak sabar menunggu tanggapannya.
"Katanya masih suka?" jawabnya mengejutkanku.
"Aku tak pernah merayu siapapun" tegasku.
"Gimana kalau rekamannya aku kirim ke istrimu?" tanggapnya tidak mengenakkan.
"Istriku sudah tahu"
"Tapi rekaman lengkapnya belum, kan?" jawabnya membuatku deg-degan.
"Terserah. Yang jelas aku tak pernah merayu perempuan manapun" jawabku.
Beberapa saat aku menunggu balasannya, tetapi hingga hari berlalu dia tak lagi mengirim SMS lagi. Aku mulai tenang bisa melawan dia, meski dalam hati ada sedikit perasaan ciut. Hingga detik ini hari-hariku dihantui kegalauan.
Aku kuatir dia benar-benar melakukannya, tapi perlahan aku berusaha siapkan mental bila saja dia sungguh-sungguh mengirim rekaman itu ke istriku. Aku yakin bisa berkilah karena yang kulakukan cuma sebatas telepon dan SMS.
Dalam hati kusadari, menjalin kisah masa lalu terasa begitu menghiburku. Aku juga mulai merasakan betapa hiburan hati itu benar-benar sepadan dengan resikonya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H