ada pelataran pagi semilir sang bayu membelai-belai rambutnya yang kemerahan. Matahari mengintip lewat celah jendela kamarnya memeluk seorang perempuan yang tengah diseka duka. Daun-daun berguguran di halaman rumahnya, bunga-bunga menunda kemekarannya, burung-burung tak terdengar nyaringnya, bahkan kupu-kupu berlarian menuju taman yang lain.
PPemilik pilu itu adalah Hummaira Azahra, dia masih membeku di tempatnya menatap nanar sebuah pesan teks yang masuk ke ponselnya. Ia membiarkan air matanya memburai begitu saja melukai garis wajahnya.
Tulisan itu tampak seperti sayatan untuknya. Bodohnya ia masih terus memandanginya seakan menanti bahwa ucapan selamat pagi dan potongan puisi rindu akan kembali diterimanya pagi ini.
Satu menit ... dua menit ... hingga berjam-jam lamanya ia menunggu, kenapa bingkisan puisi itu belum juga ia terima? Apakah terjadi sesuatu di jalan? Apa ia lupa jalan menuju rumahnya?
Dia memeluk kedua lututnya yang bergetar dan menjambak rambutnya frustrasi dengan hati membiru.
"Apa puisimu tak lagi aku?"
"Benarkah?"
"Apa kita sungguh berakhir?"
Brang!
Benda pipih panjang itu ia banting dan menggelinting ke bawah kolong ranjang. Ia menjatuhkan dirinya ke atas kasur lalu menutup wajahnya dengan bantal lalu menangis. Isak tangisnya mulai kencang saat kenangan usang itu kembali berputar-putar di kepalanya yang berisik.
Empat tahun yang lalu ....
Seorang lelaki jangkung bermata elang, pemilik tubuh profosional namun dengan gayanya yang sederhana menghampiri Zahra yang saat itu tengah terduduk sendirian di kursinya.