Â
Kiro-kiro umpomo dino niku adem berarti dungone bakul es niku kiro-kiro diijabah nopo mboten? Jamaah menjawab, "Mboten"
Tetep wae diijabah dalam bentuk yang lain. Ese ra payu tapi awae sehat mulih dilalah bojone meteng. Niku lah yo nikmat. Ngono lho. Kok ditinggal bakul es kok meteng? Kan banyak terjadi di mana-mana." Kembali jemaah tertawa.
+++
Dilihat dari candaan UAS memang berkelas. Ini terlihat dari pilihan kata yang diawali dengan pertanyaan dan dilanjutkan dengan komunikasi yang sopan dan senyuman. Akibatnya, tidak ada yang tertekan secara mental.
Jamaah tertawa dan penjual es teh pun bahagia. Ini menunjukkan ilmu sangat berperan dalam memilih kalimat yang keluar. Â Â
Sedangkan Gus Miftah menurut saya sebenarnya ingin merevisi candaannya. Buktinya, beliau tutupi dengan cerita tasawuf setelahnya. Dengan harapan bisa menetralisir keadaan dan melupakan kejadian tadi yang tidak mengenakkan.
Namun, nasi telah jadi bubur. Kalimat yang sudah terucap tidak bisa dikembalikan. Jika beliau meminta maaf saat itu juga mungkin akan lain ceritanya.
Itulah yang dilakukan Gus Iqdam ketika memarahi penjual es teh yang menurut beliau berlebihan. Dan saat itu juga beliau meminta maaf dan mempersilahkan untuk terus berjualan. Â
Refleksi Bagi Guru
Dai atau pendakwah sama dengan guru. Sama-sama menyampaikan ilmu. Umumnya, dai menyampaikan ilmu kepada jamaah sedangkan guru menyampaikan ilmu kepada murid di sekolah.
Menjadi dai modalnya adalah ilmu demikian juga guru harus bermodalkan ilmu. Kedalaman ilmu seorang dai atau guru bisa diukur dari dua hal, perkataan dan tindakan. Semakin dalam ilmu seseorang, maka ia akan semakin hati-hati dalam menyampaikan.