Mohon tunggu...
Suhairi Umar
Suhairi Umar Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Treveler

hobi jalan-jalan, suka bertemu orang, senang sejarah, belajar menulis pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menakar Candaan Gus Miftah dan UAS Kepada Penjual Es Teh. Refleksi Bagi guru

6 Desember 2024   10:57 Diperbarui: 6 Desember 2024   12:50 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 (Sumber: detikcom))

Gus Miftah, UAS, dan penjual es teh sekarang sedang trending. Media sosial tidak berhenti memberitakan. Mari kita coba menakar dua fenomena yang punya kemiripan antara candaan Gus Miftah dan UAS (Ustaz Abdul Somad)

Video pertama. UAS bertanya kepada ribuan jamaah dari atas panggung ketika melihat pedagang es teh berkeliling menawarkan dagangannya, "Boleh kah berdagang saat tablig akbar?" Jamaah menjawab serentak, "Boleh..."

UAS melanjutkan, "Boleh, kalau tak boleh mana boleh kakak itu jual es, ya kak? Boleh, mainkan kak terus, tambah lagi! Berapa harga es-nya satu kak? Jamaah menjawab serentak, "Lima ribu"

Lima ribu? Satu, dua, tiga, ah kakak pilih siapa yang kakak mau kasih kubayar dari sini. Ambil duit di sini kak, duit khusus 75 ribu.

Ini dalam rangka kemerdekaan Indonesia. Gambar pak Presiden Bung Karno Hatta, laku ini kak laku. Ini bukan duit mainan. Jazakumullah. Apalah mimpi kakak malam tadi?" UAS menutup candaannya. (video dari Dapur Ngeh)

++++

Video kedua. Gus Miftah diminta memborong dagangan penjual es teh oleh jamaah. "Oh.. kon borong? Es tehmu jek okeh ra? masih? Ya kono didol gobl*k! (sebagian hadirin tertawa) Dolen disik ko lak rung payu wis, takdir (jamaah tertawa lagi)

Dadi, ono cerito tasawuf niku ono bakul es karo bakul bakso niku jejer. Sing bakul es niku dungo, "Ya Allah, mugo-mugo hawane panas soale lak panas ngombe es rasane seger." 

 

Seng bakul bakso dungo, "Ya Allah gusti mugo-mugo udan, adem. Soale adem-adem biasane mangan bakso rasane enak." 

 

Kiro-kiro umpomo dino niku adem berarti dungone bakul es niku kiro-kiro diijabah nopo mboten? Jamaah menjawab, "Mboten"

Tetep wae diijabah dalam bentuk yang lain. Ese ra payu tapi awae sehat mulih dilalah bojone meteng. Niku lah yo nikmat. Ngono lho. Kok ditinggal bakul es kok meteng? Kan banyak terjadi di mana-mana." Kembali jemaah tertawa.

+++

Dilihat dari candaan UAS memang berkelas. Ini terlihat dari pilihan kata yang diawali dengan pertanyaan dan dilanjutkan dengan komunikasi yang sopan dan senyuman. Akibatnya, tidak ada yang tertekan secara mental.

Jamaah tertawa dan penjual es teh pun bahagia. Ini menunjukkan ilmu sangat berperan dalam memilih kalimat yang keluar.   

Sedangkan Gus Miftah menurut saya sebenarnya ingin merevisi candaannya. Buktinya, beliau tutupi dengan cerita tasawuf setelahnya. Dengan harapan bisa menetralisir keadaan dan melupakan kejadian tadi yang tidak mengenakkan.

Namun, nasi telah jadi bubur. Kalimat yang sudah terucap tidak bisa dikembalikan. Jika beliau meminta maaf saat itu juga mungkin akan lain ceritanya.

Itulah yang dilakukan Gus Iqdam ketika memarahi penjual es teh yang menurut beliau berlebihan. Dan saat itu juga beliau meminta maaf dan mempersilahkan untuk terus berjualan.  

Refleksi Bagi Guru

Dai atau pendakwah sama dengan guru. Sama-sama menyampaikan ilmu. Umumnya, dai menyampaikan ilmu kepada jamaah sedangkan guru menyampaikan ilmu kepada murid di sekolah.

Menjadi dai modalnya adalah ilmu demikian juga guru harus bermodalkan ilmu. Kedalaman ilmu seorang dai atau guru bisa diukur dari dua hal, perkataan dan tindakan. Semakin dalam ilmu seseorang, maka ia akan semakin hati-hati dalam menyampaikan.

Bahkan bercanda sekalipun akan memilih kalimat yang tidak merendahkan orang lain. Siapa pun lawan bicaranya, tua muda, miskin atau pun kaya.

Jika ada dai atau guru yang omongannya kasar, membully orang, berarti ilmunya masih dangkal. Dan tidak pantas dijadikan panutan.

Setelah ilmu, (bahkan sebelum ilmu) dai atau guru harus belajar rendah hati (tawadu). Ini penting sekali karena setinggi apa pun ilmu seseorang jika dia merasa lebih tinggi dari orang lain maka akan semakin tampak kebodohannya.

Kesombongan juga bisa dilihat dari perkataan dan tindakan. Artinya, ilmu dan sifat tawadu harus menyatu agar tetap terhormat dan selamat. "Siapa yang rendah hati karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya" (H.R. Muslim)

Imam Syafi'i berkata, "Siapa bertambah ilmunya, maka bertambah pula kebodohannya."

Artinya, orang semakin berilmu semakin ia tidak tahu. Ketika ia sudah menguasai satu ilmu, masih banyak ilmu lain yang belum ia kuasai.

Wallahu A'lam.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun