Mohon tunggu...
Nara Ahirullah
Nara Ahirullah Mohon Tunggu... Konsultan - @ Surabaya - Jawa Timur

Jurnalis | Pengelola Sampah | Ketua Yayasan Kelola Sampah Indonesia (YAKSINDO) | Tenaga Ahli Sekolah Sampah Nusantara (SSN) | Konsultan, Edukator dan Pendamping Program Pengelolaan Sampah Kawasan. Email: nurrahmadahirullah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Analisa Untung Rugi Revisi Undang Undang Pengelolaan Sampah

2 November 2024   17:38 Diperbarui: 2 November 2024   18:42 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini beredar informasi bahwa Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) akan direvisi. Rencana revisi itu sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada Komisi IV, DPR RI. Rencana revisi atau bahkan pencabutan UUPS ini patut menjadi perhatian bagi para pegiat pengelolaan sampah. Terutama mereka yang berpegang teguh pada UUPS ini.

UUPS yang ada saat ini sesungguhnya sudah sangat baik. Semangat UUPS yang ada saat ini adalah desentralisasi pengelolaan sampah. Namun, semangat ini belum dilaksanakan secara holistik. Bahkan aturan-aturan di bawah UUPS berupa Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri (Permen) hingga Peraturan Gubernur dan Peraturan Daerah (Perda) yang justru sebaliknya. 

Peraturan di bawah UUPS itu yang justru saat ini masih memberi peluang untuk pengelolaan sampah dengan pola lama dan sentralistik. Pengelolaan sampah yang menyebabkan masalah sampah hanya bertumpu pada Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) 'yang lebih fungsional sebagai tempat pembuangan akhir.

Terlepas dari peraturan-peraturan di bawah UUPS, saat ini yang akan direvisi adalah UUPS itu sendiri. Sebagai induk regulasi pengelolaan sampah, jelas ada untung dan ruginya jika UUPS akan direvisi. Semoga para pemangku kebijakan dan wakil rakyat bisa memahami untung dan ruginya melakukan revisi UUPS tersebut.

Kaitan untung dan ruginya revisi UUPS itu bertumpu pada kepentingan pengelolaan sampah pada masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha. Baik dunia usaha yang memproduksi barang dan kemasan yang menyisakan sampah maupun dunia usaha yang bergerak di bidang daur ulang sampah.

Revisi UUPS yang Akan Merugikan

Setidaknya ada 3 pasal di dalam UUPS yang jika itu dicabut dalam revisi maka kekisruhan sampah tak akan ada ujungnya. Yaitu pasal 37 tentang hak gugat organisasi persampahan, pasal 44 tentang penutupan TPA dengan sistem pembuangan terbuka (open dumping), dan pasal 45 tentang kewajiban pengelola kawasan membangun dan memfasilitasi pemilahan sampah.

Pasal 37 hingga kini memang masih belum banyak dipakai. Sebab umumnya organisasi persampahan masih berkutat untuk membesarkan organisasinya sendiri. Di samping itu organisasi persampahan banyak terjebak dan terpaku pada kegiatan-kegiatan seremonial penyadaran masyarakat yang tidak ada praktiknya. Banyak pula organisasi persampahan yang asyik berbisnis sampah sehingga lupa mengadvokasi masyarakat untuk mendapatkan haknya dalam pengelolaan sampah.

Padahal, peran organisasi persampahan sangat vital dalam upaya memperbaiki sistem pengelolaan sampah. Yaitu, mengawasi dan mengkritik kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sampah. Terutama dalam mengajak pemangku kebijakan patuh, taat, dan melaksanakan amanat regulasi pengelolaan sampah. 

Pemerintah yang saat ini menjadi regulator sekaligus operator dalam persampahan membutuhkan rekan untuk perbaikan pengelolaan sampah. Agar masalah sampah tidak berlarut-larut. Penyadaran masyarakat dalam persampahan memang penting, tapi yang utama adalah menyadarkan pemerintah juga agar melaksanakan regulasi. Bisnis persampahan juga penting, tapi percayalah bisnis di dunia persampahan itu akan moncer jika sistem pengelolaan sampahnya sesuai regulasi.

Pasal 44 adalah pasal dalam UUPS yang paling banyak dilanggar hingga kini. Amanat UUPS adalah 'pemerintah merencanakan penutupan TPA sistem pembuangan terbuka (open dumping) 1 tahun setelah UUPS terbit pada tahun 2008. Kemudian, UUPS mengamanatkan supaya semua TPA Open Dumping ditutup selambat-lambatnya 5 tahun setelah UUPS terbit. Seharusnya seluruh TPA Open Dumping di Indonesia ditutup pada 2013 silam.

Kenyataannya, hingga 11 tahun kemudian rata-rata TPA di daerah masih open dumping. Bahkan, sejumlah daerah yang telah beralih ke sistem TPA Sanitary Landfill akhirnya kembali ke sistem open dumping. Itu karena sistem hulu tidak dibangun, mereka hanya membangun TPA dengan sistem sanitary landfill tanpa membangun sistem hulu ke hilir sampah. Akibatnya, meski TPA-nya sanitary landfill, sampah yang masuk tetap seperti sampah saat sistem TPA masih open dumping.

Kalau pasal 44 ini direvisi, dilemahkan atau bahkan dicabut, maka perluasan TPA open dumping pasti akan ugal-ugalan. Sementara masyarakat sudah banyak protes dan menolak adanya TPA baru. Jika demikian, maka TPA open dumping akan dibangun di lokasi-lokasi yang jauh dari masyarakat. Akibatnya, akan ada alih fungsi lahan menjadi TPA baru, akan ada pencemaran baru, dan akan ada operasional yang besar untuk membuang sampah ke tempat yang jauh.

Pasal 45 juga merupakan pasal yang paling banyak tidak dilaksanakan oleh pemerintah sebagai regulator. Dengan fungsi ganda sebagai operator pengelola sampah juga, pemerintah membiarkan dan justru memfasilitasi pengelola kawasan untuk tidak melaksanakan pasal ini. Dengan sejumlah nilai uang retribusi persampahan, pengelola kawasan terbebas dari tanggung jawab membangun dan memfasilitasi pengelolaan sampah.

Sampah yang bersumber dari kawasan-kawasan diangkut ke TPA karena telah membayar retribusi pada pemerintah. Pengelola kawasan pun akhirnya terus terbiasa demikian dan akhirnya enggan memfasilitasi dan membangun instalasi pengelolaan sampah sebagaimana diamanatkan UUPS. Kondisi ini jugalah yang membuat TPA cepat penuh hingga over capacity. Sehingga kebanyakan pemerintah daerah kemudian menginisiatif untuk terus menerus memperluas TPA open dumping.

Ketiga pasal tersebut jika terkena revisi atau bahkan dicabut, maka masalah sampah Indonesia pasti berlanjut tanpa ujung. Yang mestinya dilakukan justru memperkuat 3 pasal itu dengan sistem. Misalnya terkait peran organisasi persampahan. Supaya peran organisasi persampahan kian diperhitungkan. Karena bisa jadi selama ini organisasi persampahan tidak begitu digubris, maka mereka akhirnya hanya asyik sendiri dengan kegiatannya.

Begitu juga dengan pasal penutupan TPA open dumping. Revisi seharusnya memperkuat pasal ini supaya TPA open dumping yang jelas-jelas merusak lingkungan ditutup semua. Bukan malah melemahkannya dengan alasan rendahnya kesadaran masyarakat mengelola sampah atau masih banyaknya lahan yang bisa dipakai untuk TPA open dumping.

Pasal kewajiban pengelola kawasan membangun dan memfasilitasi pemilahan sampah juga harus lebih diperkuat. Supaya mereka tidak bergantung pada pemerintah untuk membuang sampahnya. Dan pemerintah juga tidak "memaksa" mereka membayar retribusi sampah dan berhenti mengangkut sampah mereka ke TPA. 

Dengan begitu, desentralisasi pengelolaan sampah akan berjalan sebagaimana amanat UUPS. Masalah sampah tidak bertumpu pada TPA saja. Dan angka daur ulang bisa dipastikan meningkat dengan metode dan sistem yang komprehensif, menyeluruh dan berkelanjutan.

Revisi UUPS yang Akan Menguntungkan

Mulai dari pasal 4 yaitu tentang tujuan pengelolaan sampah untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan. Saat ini di tingkat pemerintah daerah, pengelolaan sampah masih belum termasuk urusan wajib meski sudah ada pasal 4 itu. Akibatnya, alokasi dana untuk pengelolaan sampah sangat minim dibanding untuk bidang pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan dan lainnya.

Pengelolaan sampah tidak masuk dalam 3 besar bahkan 5 besar urusan wajib pemerintah. Padahal, kini sampah kian memprihatinkan. Dan tidak ada daerah yang bebas dari masalah sampah. Hanya saja, ada yang viral di media dan ada yang tidak. Tapi secara umum, semua daerah bermasalah dengan sampah.

Revisi UUPS akan sangat menguntungkan jika pasal 4 ini diperkuat. Sehingga pengelolaan sampah bisa masuk urusan wajib di seluruh pemerintah daerah. Karena sampah pasti timbul dari masyarakat perorangan, kelompok (keluarga), dan bentuk lain kelompok seperti badan usaha. Di seluruh sumber timbulan sampah ada manusianya, dan pengelolaan sampah harus menjadi wajib untuk meningkatkan kualitas kesehatan setiap manusia itu.

Revisi UUPS akan sangat menguntungkan jika pasal 11 tentang hak masyarakat dalam pelayanan sampah diperkuat juga. Terutama pada ayat (1) poin a. Pada poin tersebut perlu ditambahkan supaya rakyat berhak mendapatkan fasilitas pengelolaan sampah hingga tapak rumah tangga. Sehingga masyarakat bisa melaksanakan kewajibannya (pasal 12) dalam mengelola sampah. 

Masyarakat mengelola sampah dalam hal ini berarti memilah sampah sesuai jenisnya sesuai fasilitas yang diberikan oleh pemerintah. Masyarakat Indonesia sebenarnya sangat patuh regulasi. Namun, kepatuhan itu sesuai dengan fasilitas yang ada dan perlu difasilitasi oleh penyelenggara pemerintahan.

Jika pemerintah memfasilitasi pemilahan sampah hingga rumah tangga, sangat bisa dipastikan masyarakat pada akhirnya akan mau, ikut, dan terbiasa memilah sampah. Apalagi jika ada insentifnya. Pasti mereka mau. Karena jika tidak mau, disinsentif atau punishment dan sanksi akan mereka terima.

Pemberlakuan disinsentif, punishment, atau sanksi tidak bisa dijalankan pemerintah tanpa lebih dulu memberikan fasilitasnya. Lihatlah saat ini, pada umumnya pemerintah hanya memfasilitasi satu tempat sampah. Maka, jangan kecewa, marah, dan mengatakan masyarakat tidak sadar mengelola sampah jika mereka tidak memilah sampah. Justru mereka sudah benar karena tempat sampahnya satu, ya sudah dicampurlah sampah-sampah yang seharusnya dipilah itu.

Pemerintah tidak bisa memaksa masyarakat memilah sampah. Pertama, karena tidak ada fasilitas yang disediakan oleh pemerintah. Kedua, meskipun sudah memilah sampah, mereka tetap dikenai retribusi buang sampah. Tidak ada logika bisa bertemu di sini. Masyarakat diminta memilah sampah sambil tetap membayar retribusi, sementara hasil pilahan mereka nanti akan dijual oleh operator pengelola sampah itu. 

Kalau cara itu tetap dipaksakan, masyarakat rugi tiga kali. Rugi menyediakan fasilitas pemilahan sampah sendiri, rugi tenaga memilah sampah, dan rugi tidak ada bagi hasil dari penjualan sampah yang sudah mereka pilah. Masyarakat semakin pintar, mereka tidak akan mau terus menerus dirugikan seperti itu.

Pasal 13 tentang kewajiban pengelola kawasan menyediakan fasilitas pemilahan sampah. Supaya revisi UUPS menguntungkan, pasal ini harus diperkuat juga dengan menambahkan frasa membangun fasilitas pengolahan sampah. Supaya sampah yang sudah dipilah di kawasan juga bisa diolah di kawasan itu juga.

Dengan pemilahan dan pengolahan sampah di kawasan itu, maka hasil pengolahan sampah sudah dapat berupa bahan baku daur ulang teknis, biologis atau energi. Bisa langsung dijual ke industri daur ulang. Tidak perlu dioper-oper lagi ke tempat lain untuk diolah.

Pasal 13 dan 14 sangat saling berkaitan. Fasilitas pemilahan dan pengolahan sampah mesti dibangun dan disediakan oleh pengelola kawasan. Pada sektor swasta atau kawasan komersil, pengelola kawasannya berarti direktur, manajer, developer dari kawasan itu. Sementara pada kawasan pemukiman atau di bawah pengelolaan pemerintah, pengelola kawasannya minimal Ketua Rukun Tetangga (RT).

Jika Ketua RT tidak mampu memfasilitasi, maka Ketua Rukun Warga (RW) harus turun tangan. Kalau Ketua RW tidak mampu, Lurah atau Kepala Desa yang harus bertindak. Lurah atau Kepala Desa tidak mampu juga, maka minta pada Camat. Camat tidak bisa, minta pada Bupati. Bupati tidak bisa, minta pada Gubernur. Gubernur tidak bisa, minta pada Menteri. Menteri tidak bisa, minta pada Presiden sebagai pengelola kawasan Indonesia. 

Presiden tidak bisa, minta pada Persatuan Bangsa Bangsa (PBB). PBB juga tidak bisa, maka selesailah upaya di dunia. Tinggal menunggu pertolongan Tuhan.

Pasal 14 tentang pelabelan dan tanda pada barang atau kemasan untuk keperluan guna ulang dan daur ulang juga pasal krusial yang harus diperkuat dalam revisi UUPS. Sebab, faktanya banyak dunia usaha yang memproduksi barang dan kemasan tanpa label dan tanda. Hal ini sangat menyulitkan bagi upaya pengurangan dan penanganan sampah.

Kondisi ini terjadi karena tidak ada ketegasan hukum dari regulator (pemerintah). Ketegasan itu tidak ada karena tidak adanya sistem pengelolaan sampah. Satu-satunya sistem adalah angkut dan buang ke TPA. Sehingga, dunia usaha yang memproduksi barang atau kemasan tanpa label dan tanda tidak perlu bertanggung jawab pada tujuan pengurangan dan penanganan sampah. Toh dibuang ke TPA.

Jika pasal ini diperkuat, maka tidak akan lagi barang atau kemasan yang beredar tanpa label dan tanda. Keberadaan label dan tanda berfungsi minimal dua. Pertama, untuk meningkatkan kuantitas daur ulang berdasarkan label dan tanda. 

Kedua, menjadi dasar disinsentif bagi barang dan kemasan yang tanpa label dan tanda. Sebab, barang dan kemasan tanpa label dan tanda pasti tidak bisa didaur ulang dan berakhir di TPA. Oleh karena itu, produsennya harus membayar mahal atas dampak lingkungan yang disebabkan barang atau kemasannya.

Pasal 15 tentang tanggung jawab produsen pada barang atau kemasannya yang tidak bisa terurai secara alami adalah pasal yang paling riskan. Pasal ini mungkin adalah inti dari UUPS. Kaitannya dengan Extended Producer Responsibility (EPR). Tanggung jawab produsen barang dan kemasan setelah dipakai konsumen. Hingga saat ini EPR di Indonesia sangat amat rancu perjalanannya. Amanat untuk membuat Peraturan Pemerintah (PP) untuk secara detil membahas tentang pasal 15 ini tak kunjung dibuat.

Koordinator bidang lingkungan yang mengurus sampah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hingga kini belum ada geliat merancang PP untuk pasal 15 itu. KLHK baru membuat PermenLHK No.P.75/2019 tentang peta jalan pengurangan sampah oleh produsen. Isinya, produsen diminta menyusun, mengumpulkan, dan melaksanakan peta jalan untuk mencapai target pengurangan sampah oleh Produsen sebesar 30% pada tahun 2029.

KLHK mengklaim PermenLHK No.P.75/2019 sebagai regulasi EPR, pelaksanaan dari amanat pasal 15 UUPS. Padahal, jelas-jelas pasal 15 UUPS mengamanatkan PP bukan Permen yang tidak lintas sektor dan kementerian itu. Yayasan Kelola Sampah Indonesia (YAKSINDO) bersama Institut Teknologi Yogyakarta (ITY) pernah mengusulkan rancangan PP tentang EPR pada tahun 2020 pada KLHK, Kementerian Maritim dan Investasi, Sekretariat Negara, Komisi IV DPR RI hingga Badan Legislasi DPR RI, namun tidak mendapat respon.

Bisa dibilang, pasal 15 ini momok bagi dunia usaha khususnya produsen barang dan kemasan nakal. Tapi bagi produsen barang dan kemasan yang punya visi ke depan, pasal 15 justru menguntungkan mereka. Karena secara rinci EPR sebenarnya bisa memajukan bisnis mereka dengan sistem sirkuler ekonomi.

Merevisi pasal 15 ini akan sangat menguntungkan jika diperkuat secara regulasi. Terutama dengan penguatan PP yang secara rinci mengatur tanggung jawab produsen pada barang dan kemasannya yang tidak dapat diurai secara alami. PP akan mengatur sistemnya secara rinci dan detil. Bukan hanya sistem, tapi juga kinerja sistem dengan lembaga yang akan melaksanakan EPR juga diatur dengan PP EPR tersebut.

Sebenarnya, banyak produsen yang menginginkan regulasi tentang EPR itu bisa dilaksanakan. Mereka punya kemampuan untuk patuh pada sistem EPR. Namun, ketiadaan sistem dan kelembagaan yang bisa bertanggung jawab mengelola EPR 'membuat mereka seolah enggan melaksanakan EPR. Dampaknya, produsen barang dan kemasan yang merupakan produsen sampah yang sebenarnya teralienasi dari barang dan kemasan yang mereka buat setelah jadi sampah.

Terlebih ada komunitas atau kelompok yang bisa memanfaatkan sampah barang atau kemasan mereka. Maka mereka semakin lepas tanggung jawab dari sisa produknya karena sudah tercipta pasar di kalangan pedaur ulang. Padahal seharusnya produsenlah yang mengkoordinir daur ulang itu, bukan masyarakat. Tapi, karena tidak ada regulasi yang mengikat kuat untuk tanggung jawab produsen, maka terjadilah mekanisme pasar itu.

Untuk sampah barang atau kemasan yang bernilai di dalam pasar yang tercipta memang aman untuk sementara. Masalah akan timbul nanti suatu saat jika pasar sudah jenuh. Dan masalah besar lainnya adalah sampah barang dan kemasan lain yang tidak laku di pasar. Sampah-sampah itu harus berakhir di TPA, tempat sampah ilegal, dan badan-badan air seperti sungai, danau, laut, dan pantai.

Keuntungan terbesar jika UUPS direvisi adalah dengan memperkuat pasal 21. Yaitu tentang insentif bagi setiap orang/badan hukum yang melakukan pengurangan sampah, dan disinsentif pada orang/badan hukum yang tidak melakukan pengurangan sampah.

Dari semua regulasi di Indonesia hanya UUPS yang memiliki pasal insentif meski sistemnya belum paten atau bahkan belum ada. Jadi tidak salah jika UUPS merupakan salah satu UU terbaik di Indonesia. Memperkuat pasal 21 ini akan menjadi solusi bagi masalah sampah di Indonesia.

Jika setiap orang diberi insentif atas usahanya mengurangi sampah, pasti setiap orang mau melakukan pengurangan sampah di rumahnya. Demikian juga dengan dunia usaha produsen barang dan kemasan. Mereka pasti mau repot jika mengurangi sampah dengan cara mendaur ulang sampahnya itu bisa menyebabkan mendapat insentif.

Insentif bagi perorangan dapat berupa uang tunai atau voucher lain yang berguna secara perorangan. Insentif bagi dunia usaha dapat berupa pengurangan pajak atau kemudahan-kemudahan lainnya yang bermanfaat pada bisnisnya.

Begitu juga dengan disinsentif. Masyarakat yang sudah memperoleh fasilitas pengelolaan/pemilahan sampah baru bisa disanksi dengan dikenai disinsentif yang tinggi jika tidak tertib. Tidak seperti saat ini di mana disinsentif menjadi berupa retribusi. Dan masyarakat melihat retribusi itu sebagai uang jasa membuang sampah. Kekacauan yang menahun ini harus segera dihentikan dengan melaksanakan pasal 21 secara tersistem.

Sebagaimana masyarakat, dunia usaha pasti tidak akan berani berbuat tidak tertib jika pasal 21 ini diperkuat. Mereka pasti akan memilih mendapat insentif daripada disinsentif. Karena sifat dasar insentif sebagai punishment harus melampaui kemampuan objek yang akan disanksi atau dihukum.

Revisi UUPS Menentukan Masa Depan Lingkungan Indonesia

Hasil untung atau rugi dari revisi UUPS ada di tangan eksekutif (pemerintah) dan legislatif (DPR RI). Kita hanya bisa berharap ada perbaikan ke depan berdasarkan regulasi dan pelaksanaan regulasi itu sendiri oleh pemerintah. 

Jika revisi UUPS menguntungkan, maka masalah sampah akan selesai berganti era memanfaatkan sampah. Kalau revisi UUPS merugikan, maka masalah sampah akan semakin kacau dan akan menjadi warisan bagi generasi yang akan datang. 

Masalah sampah adalah tanggung jawab pemerintah sebagai penyelenggara negara. Jangan terbuai dengan jargon "Sampah adalah tanggung jawab kita bersama" atau "Sampahmu tanggung jawabmu" dan jargon-jargon lainnya yang menghipnotis kita untuk menafikan tanggung jawab pemerintah.

Yang benar adalah sampah tanggung jawab pemerintah. Pemerintah menggerakkan dunia usaha dan masyarakat untuk bekerja sama mengelola sampah. (nra) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun