Talia tidak segera berkomentar. Diamatinya tampilan neneknya. Sangat jauh berubah. Rambutnya dibiarkan memutih, itu pun hanya diikat dengan karet gelang. Daster gombrong berwarna nuansa duka selalu dikenakannya, bahkan wajahnya pun tanpa riasan make up sama sekali. Ketika ke sawah menengok pekerja pun tidak lagi mengenakan skincare. Yang tersisa hanya tubuhnya belum melar, masih sama dengan foto-fotonya semasa muda, sampai-sampai ia beranggapan tubuh neneknya tidak ada perkembangan maupun penurunan timbangan sejak remaja sampai kini umur 60 tahun.
"Kamu bisa saja. Jawaban nenek ada tiga macam. Yang pertama, itu takdir, karena tak  ada selembar daun pun yang jatuh tanpa seizing Tuhan. Jawaban kedua, nenek mempertimbangkan antara kalori yang masuk dengan energi yang keluar. Maka, setua ini nenek tidak menderita penyakit degeneratif kan?. Jawaban ketiga tentu saja dengan berdoa. Jadi, antara takdir, doa dan upaya merupakan rangkaian tak terpisahkan. Atau dengan kata lain, setelah berupaya, berdoa, hasilnya terserah takdir. Jika Tuhan menghendaki doa kita terkabul, pasti terjadi. Jika tidak, ada kehendak lain yang lebih baik, yang seharusnya wajib disyukuri barangkali keinginan kita dalam doa dan upaya, tidak cocok untuk kita dan kelak akan membuat kita semakin jauh dari-Nya."
"Iya sih. Tapi mengapa Nenek tidak menikah lagi?"
"Memang Kamu ingin punya kakek baru?"goda neneknya. Talia tertawa memeluk neneknya,
"Enggak sejauh itu sih, Nek. Aku hanya ingin tahu pendapat nenek tentang cinta."
Neneknya pun tersenyum sambil membelai rambut cucunya. Satu-satunya sosok tercinta yang masih tersisa. Anaknya pun anak tunggal yang memiliki seorang anak pula. Ketiganya sudah diambil pemilik-Nya. Maka, ketika cucunya membatalkan ikut pergi ke luar negeri karena lebih memilih mengikuti lomba menyanyi, ia pun beranggapan bahwa Tuhan mengetahui, ia tidak sanggup bertahan hidup jika harus kehilangan semuanya. Maka, Tuhan pun menyisakan satu. Cucunya.
"Cinta dan perhatian lelaki? Mengapa nenek enggan mencari cinta lagi? Nenek sudah tua. Nenek merasa sangat tidak mudah menemukan soulmate. Setelah bercerai dua kali dan anak-anak nenek ikut ayahnya, pada pernikahan ketiga nenek baru merasakan cinta yang sesungguhnya. Cinta yang sefrekuensi sesuai dengan hukum alam semesta."
"Bagaimana dengan cinta sebelumnya? Eh...maksudku, suami-suami sebelumnya?"
"Nenek dinikahkan karena sudah lulus SMA. Lelakinya secara tradisi patriarki sudah mapan. PNS."
"Mengapa bercerai?"
"Karena tidak saling cinta. Menikah demi enggan dianggap  nggak laku-laku, agar nggak digelari perawan tua, agar nggak cemas akan hari esok seolah sudah tahu kelak bakal berumur panjang. Ketika visi misi tidak nyambung...