Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Talia Namanya

3 Maret 2024   07:55 Diperbarui: 3 Maret 2024   09:07 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Talia namanya. Ketika SMA kelas sebelas, ia berduka. Kedua orangtuanya meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat terbang. Sebagai anak malang, ia yang sebatang kara kemudian diajak pulang kampung oleh neneknya. Ia pun dikenal sebagai anak kota yang harus hidup dalam suasana dan nuansa desa.

Ia sesungguhnya bukan anak yang suka bertingkah macam-macam. Ia menikmati waktunya yang dua puluh empat jam dengan sepenuh penghayatan dalam catatan jadwal yang ditulis secara rapi. Ia tidur delapan jam sehari, sepuluh jam untuk bersekolah. Waktu yang tersisa digunakan untuk menekuni hobinya, bercengkerama dengan neneknya, berjalan-jalan dengan teman-temannya, mengakrabi media sosial juga, sama dengan remaja lainnya.

"Baju seragam Kamu yang dari kota, diganti dengan seragam yang sama dengan di sekolah, Nduk,"begitu saran neneknya, ketika melihat bajunya tetap sama seperti semula. Rok didesain sekitar lima centi di atas lutut.

"Ini sudah seragam, Nek. Bagde sudah saya ganti. Aku menyulamnya sendiri lho, Nek. Rapi nggak?" ia malah pamer badge yang menempel di lengan dan dadanya.

"Bagus. Pinter memang, cucu Nenek,"kata neneknya memujinya,

"Tapi, Nduk,"lanjutnya,

"Pesan kakek kepada anak-anaknya dulu, kini berlanjut kepadamu, janganlah berulah yang mengakibatkan orang membencimu."

"Hm...itu di luar kontrol kita, Nek,"sahutnya sambil memoleskan lip balm di bibirnya.

"Glossy ya, Nek. Tapi tidak berwarna kan?"ia pun menunjukkan bibirnya sambil duduk di sebelah neneknya dengan  berkaca di cermin kecil yang dipegangnya.

"Iya. Jangan memancing kemarahan guru. Belum saatnya mengenakan pemerah bibir. Tunggu sampai mahasiswa. Kalian bebas mengenakan make up, bahkan boleh menikah."

"Ih, Nenek. Masa sih, disuruh menikah?" ia pun mencubit lengan neneknya.

"Nenek mengapa tidak ke salon lagi? Tidak melakukan tanam benang lagi. Tidak pula rajin ke fitness seperti dulu, padahal dulu nenek tampak cantik dan seksi lho, ibu kalah deh, bahkan dikira umurnya sebaya. Heheehe."

"Untuk apa berdandan lagi, bukankah kakekmu sudah meninggal?" jawab neneknya dengan ekspresi sedih. Suami, anak dan menantunya, ketiganya meninggal dalam kecelakaan pesawat, yang membuatnya menjadi janda dan Talia yatim piatu, tanpa kedua orangtuanya.

"Tapi, Nek. Wanita memang kodratnya ingin cantik. Tuhan Maha Indah dan suka keindahan dan hal itu menurun kepada wanita,"kilahnya.

"Iya, tapi jangan memancing kebencian orang."

"Hm...untuk membenci sesama manusia memerlukan energi negatif yang sangat besar, Nek. Hati nurani akan memprotesnya, akan menanyai ke relung-relung hati, mengapa kita membenci? Hal itu melelahkan, Nek. Lagipula ulah orang lain itu di luar kontrol kita. Jadi, logikanya, sia-sia kita membenci orang lain, kan?"

"Hm...anak didikan media sosial. Tapi boleh juga argumentasi Kamu. Kakekmu dulu untuk menyampaikan hal ini kepadaku dan ibumu, perlu membaca beberapa buku."

"Bagaimana hasilnya? Anak-anak hasil didikan media sosial lebih dewasa kan?"

"Bergantung yang ditekuni. Kalau yang dibaca quotes, bisa jadi ia akan bijaksana. Kalau yang lainnya?"

"Setidaknya, lebih banyak yang bijaksana daripada generasi Nenek, kan? Makanya, Nenek begitu menjadi janda, cemas tampak cantik. Cemas diusili ya?"godanya masih tetap duduk di sebelah neneknya.

"Hus. Bukan begitu. Emak-emak paling-paling hanya satu dua yang berkomentar. Biasanya mengaitkan dengan surga neraka agar tidak dianggap iri. Lagipula yang dikatakan itu pun memang benar,"neneknya pun berhenti sesaat,"Tapi, ada yang lebih mengerikan kalau nenek tetap berdandan ala sosialita seperti ketika kakekmu masih hidup."

Talia tidak segera berkomentar. Diamatinya tampilan neneknya. Sangat jauh berubah. Rambutnya dibiarkan memutih, itu pun hanya diikat dengan karet gelang. Daster gombrong berwarna nuansa duka selalu dikenakannya, bahkan wajahnya pun tanpa riasan make up sama sekali. Ketika ke sawah menengok pekerja pun tidak lagi mengenakan skincare. Yang tersisa hanya tubuhnya belum melar, masih sama dengan foto-fotonya semasa muda, sampai-sampai ia beranggapan tubuh neneknya tidak ada perkembangan maupun penurunan timbangan sejak remaja sampai kini umur 60 tahun.

"Kamu bisa saja. Jawaban nenek ada tiga macam. Yang pertama, itu takdir, karena tak  ada selembar daun pun yang jatuh tanpa seizing Tuhan. Jawaban kedua, nenek mempertimbangkan antara kalori yang masuk dengan energi yang keluar. Maka, setua ini nenek tidak menderita penyakit degeneratif kan?. Jawaban ketiga tentu saja dengan berdoa. Jadi, antara takdir, doa dan upaya merupakan rangkaian tak terpisahkan. Atau dengan kata lain, setelah berupaya, berdoa, hasilnya terserah takdir. Jika Tuhan menghendaki doa kita terkabul, pasti terjadi. Jika tidak, ada kehendak lain yang lebih baik, yang seharusnya wajib disyukuri barangkali keinginan kita dalam doa dan upaya, tidak cocok untuk kita dan kelak akan membuat kita semakin jauh dari-Nya."

"Iya sih. Tapi mengapa Nenek tidak menikah lagi?"

"Memang Kamu ingin punya kakek baru?"goda neneknya. Talia tertawa memeluk neneknya,

"Enggak sejauh itu sih, Nek. Aku hanya ingin tahu pendapat nenek tentang cinta."

Neneknya pun tersenyum sambil membelai rambut cucunya. Satu-satunya sosok tercinta yang masih tersisa. Anaknya pun anak tunggal yang memiliki seorang anak pula. Ketiganya sudah diambil pemilik-Nya. Maka, ketika cucunya membatalkan ikut pergi ke luar negeri karena lebih memilih mengikuti lomba menyanyi, ia pun beranggapan bahwa Tuhan mengetahui, ia tidak sanggup bertahan hidup jika harus kehilangan semuanya. Maka, Tuhan pun menyisakan satu. Cucunya.

"Cinta dan perhatian lelaki? Mengapa nenek enggan mencari cinta lagi? Nenek sudah tua. Nenek merasa sangat tidak mudah menemukan soulmate. Setelah bercerai dua kali dan anak-anak nenek ikut ayahnya, pada pernikahan ketiga nenek baru merasakan cinta yang sesungguhnya. Cinta yang sefrekuensi sesuai dengan hukum alam semesta."

"Bagaimana dengan cinta sebelumnya? Eh...maksudku, suami-suami sebelumnya?"

"Nenek dinikahkan karena sudah lulus SMA. Lelakinya secara tradisi patriarki sudah mapan. PNS."

"Mengapa bercerai?"

"Karena tidak saling cinta. Menikah demi enggan dianggap  nggak laku-laku, agar nggak digelari perawan tua, agar nggak cemas akan hari esok seolah sudah tahu kelak bakal berumur panjang. Ketika visi misi tidak nyambung...

"Tidak nyambung bagaimana?"

"Misalnya ia ingin selalu ganti mobil baru tiap tahun dengan cara mengakali warisan untuk adik-adiknya? Memang mau?"

"Wah, betulkah?  Jangan-jangan nenek yang malah ingin konsumtif,"goda Talia. Neneknya hanya tersenyum.

"Yang pasti, secara fisik aku sudah tidak suka. Lalu, aku menemukan sejuta alasan untuk berpisah."

"Lalu menikah lagi?"

"Iya. Ternyata ia player sejati di balik kesanggupannya mengais rezeki."

"Nenek pun menikah lagi dengan kakek?"

"Iya, pertemuan tanpa sengaja. Akhirnya malah merasa  cocok lalu menikah."

"Mengapa tidak pacaran saja dulu, tidak menikah dululah, biarpun punya anak juga tidak apa-apa. Setelah merasa cocok dan mantap, baru menikah, seperti gaya hidup artis asing. Tidak semua sih, tapi ada."

"Setiap negara memiliki aturan berbeda. Hidup bersama tanpa nikah di sini disebut kumpul kebo. Tidak umum dan akan mengundang masalah jika tidak siap."

"Tapi kemarin itu ada orang yang nanya-nanya kepadaku, apakah nenek nggak ingin menikah lagi. Langsung kujawab, tidak. Nenek sudah menopause. Hehehe."

"Iya. Jawab saja begitu,"sahut neneknya,

"Tapi yang sopan menjawabnya. Begini lho, - Secara manusiawi, sebetulnya orang senang dan bersyukur kalau ada yang naksir kan? Itu bukti kita memiliki daya tarik kan? Tapi, sikap mereka membuat kita menanggapi orang yang naksir menjadi tigal hal. Pertama, senang dan bahagia jika saling suka. Kedua, jika kita tidak suka, setidaknya ia mau mengerti bahwa rasa cinta tidak dapat dipaksa dan tetap berteman adalah hal terbaik tanpa dendam dan marah. Ketiga, ada manusia tipe psikopat. Ada yang mengatakan sebagai manusia mereka produk gagal karena ketidakmampuan otaknya dalam mengelola emosi. Ada yang mengatakan ia lahir dari masa lalu kita untuk menuntaskan dendamnya pada masa lalu kepada kita."

"Yang pasti, mereka tidak bisa menerima penolakan. Ia akan terus berjuang dengan segala cara untuk menyakiti kita akibat penolakan tersebut. Caranya pun bermacam-macam, dari memfitnah, mengadu domba, menghasut, sampai membuat kita tidak bisa menikah selamanya. Mereka bisa saja akan selalu mengganggu aktivitas kita yang berkaitan dengan pencarian jodoh, dari memblokir email sampai media sosial, bahkan memasang CCTV tersembunyi di rumah kita demi mengawasi gerak-gerik kita. Kalaupun membiarkan kita ketemu jodoh, mereka akan berjuang mencuci otak pasangan kita agar ia kelak menghancurkan hidup kita. "lanjut neneknya.

"Hi...kejam banget ya."

"Itulah, makanya kakek dulu melarang kami tampil seksi di luar rumah."

"Tapi, Nek. Adakalanya kesan seksi tersebut kan tidak sama bagi tiap orang. Berbusana gombrong dengan kerudung rapat pun adakalanya tampak seksi juga. Namanya juga wanita," kilah Talia termenung.

"Ada masalah?" tanya neneknya.

"Aku lagi menghadapi hal serupa, Nek."

"Apa?"

"Sebagai siswa baru yang tinggal di desa, apalagi nenek termasuk keluarga berada padahal aku pewaris tunggal...

"Paham,"sahut neneknya.

"Kalaupun ada yang suka dan tidak suka kepadamu, tentu bukan semata Kamu dianggap seksi, tapi kamu pewaris tunggal kedua orangtuamu dan aku kan?"

"Iya,"jawabnya.

"Masalahnya?"

"Aku ngeri saja."

"Jangan disikapi dengan kasar meskipun caranya tidak mengena di hati. Biarkan saja, toh Kalian sebagai lawan jenis tidak wajib bertegur sapa."

"Hm...yang kurasakan, andai aku bukan pewaris tunggal, akankah penggodaku sebanyak ini? Aku jadi ngeri dan sedih sampai nangis. Karena kedua orangtuaku mendidikku sangat keras. Aku merasa bukan anak tunggal yang bakal banyak warisan. Didikan keras yang melekat sampai sekarang kan?"Talia mengusap airmatanya.

"Memang nenek pernah kumintai uang selain uang saku dan uang sekolah? Enggak kan? Untuk membeli lain-lainnya, aku bekerja dari ikutan jualan di media sosial, jualan pulsa, ikut menjadi mandor di sawah nenek, bahkan kini mencoba menulis novel barangkali laku. Sesusah itu yang kulakukan dalam keterbatasan tenagaku sebagai wanita, yang akhirnya terasa membahagiakan karena ada sensasi tersendiri dari perjuangan melelahkan itu. Lalu, jika ada orang yang terlihat blak-blakan ingin ikutan menikmati kesengsaraanku, mengapa aku merasa akan diperbudak?"

"Kengerian yang wajar. Hal yang sama dengan yang nenek rasakan, bukan? Karena itu, nenek lebih baik tidak berdandan. Lebih baik kelihatan jelek, karena nenek memang sudah tidak ingin menikah lagi. Tapi, Kamu jangan ikutan,"neneknya mencubit pipi cucunya.

"Enggak. Dari sekian penggemar, ada juga yang kusuka, Nek.  Perjuangannya menunjukkan ia tak ingin menjadi benalu. Kelihatan banget cara-caranya, bikin aku gemes. Andaikan boneka, tentu kubawa pulang."

"Banyak yang tak ingin jadi benalu sebetulnya, Tapi, Kamu suka kepadanya. Itu masalahnya dan itu wajar, menunjukkan Kamu tidak plin plan. Tidak aji mumpung banyak penggemar lalu ganti-ganti pasangan. Tapi  kan masih SMA...

"Memang kalau sudah kuliah, boleh menikah, Nek?"

"Boleh, asalkan Kalian yakin memang saling cinta. Dengan tanda saling ingin membahagiakan. Tidak dilarang berduaan asal tidak bersentuhan."

"Hm, berat banget syaratnya. Okelah, Kami selama ini LDR dan tetap setia. Andaikan nggak ada warisan, boleh menikah begitu kuliah?"

"Hus. Tidak boleh. Itu tidak realistis. Mengapa emosional? Cinta tetap butuh uang. Kamu tidak kularang menikah cepat karena aku bisa memberi warisan, asalkan lelakinya tepat. Jika tidak, tentu tidak boleh,"tukas neneknya sambil menyisiri rambut cucunya yang lebat dan hitam, seperti rambutnya semasa ia masih suka berdandan demi suaminya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun