"Ih, Nenek. Masa sih, disuruh menikah?" ia pun mencubit lengan neneknya.
"Nenek mengapa tidak ke salon lagi? Tidak melakukan tanam benang lagi. Tidak pula rajin ke fitness seperti dulu, padahal dulu nenek tampak cantik dan seksi lho, ibu kalah deh, bahkan dikira umurnya sebaya. Heheehe."
"Untuk apa berdandan lagi, bukankah kakekmu sudah meninggal?" jawab neneknya dengan ekspresi sedih. Suami, anak dan menantunya, ketiganya meninggal dalam kecelakaan pesawat, yang membuatnya menjadi janda dan Talia yatim piatu, tanpa kedua orangtuanya.
"Tapi, Nek. Wanita memang kodratnya ingin cantik. Tuhan Maha Indah dan suka keindahan dan hal itu menurun kepada wanita,"kilahnya.
"Iya, tapi jangan memancing kebencian orang."
"Hm...untuk membenci sesama manusia memerlukan energi negatif yang sangat besar, Nek. Hati nurani akan memprotesnya, akan menanyai ke relung-relung hati, mengapa kita membenci? Hal itu melelahkan, Nek. Lagipula ulah orang lain itu di luar kontrol kita. Jadi, logikanya, sia-sia kita membenci orang lain, kan?"
"Hm...anak didikan media sosial. Tapi boleh juga argumentasi Kamu. Kakekmu dulu untuk menyampaikan hal ini kepadaku dan ibumu, perlu membaca beberapa buku."
"Bagaimana hasilnya? Anak-anak hasil didikan media sosial lebih dewasa kan?"
"Bergantung yang ditekuni. Kalau yang dibaca quotes, bisa jadi ia akan bijaksana. Kalau yang lainnya?"
"Setidaknya, lebih banyak yang bijaksana daripada generasi Nenek, kan? Makanya, Nenek begitu menjadi janda, cemas tampak cantik. Cemas diusili ya?"godanya masih tetap duduk di sebelah neneknya.
"Hus. Bukan begitu. Emak-emak paling-paling hanya satu dua yang berkomentar. Biasanya mengaitkan dengan surga neraka agar tidak dianggap iri. Lagipula yang dikatakan itu pun memang benar,"neneknya pun berhenti sesaat,"Tapi, ada yang lebih mengerikan kalau nenek tetap berdandan ala sosialita seperti ketika kakekmu masih hidup."