"Jika mencintai anaknya, Kamu seharusnya bisa memaafkan...
"Aku memaafkan, tapi aku ingin membuktikan kalau bukan hanya Kamu, anaknya, yang mengejarku. Banyak wanita yang suka kepadaku. Jadi janganlah mudah sebegitunya meremehkan aku."
"Sudahlah, lupakan,"bisik isteriku mencoba meredakan amarahku.
   Sesungguhnya, aku tak pernah tega menyakiti hatinya. Ia sejak mula pertama bertemu denganku sudah suka kepadaku. Ia tak pernah mengecewakanku sejak awal menikah sampai sekarang. Aku pun membalasnya dengan membelai rambutnya.
   Akan tetapi, keinginanku menyakiti hati mertuaku tidak pernah hilang. Jika dulu masih berupa angan-angan, kini setelah banyak kenalan wanita dalam fakta, dendam itu sudah berbaur dengan keinginan serta hasrat mencari kepuasan yang lebih dari yang semula kuniatkan. Ada sensasi tersendiri tatkala bisa mendapatkan lebih dari yang telah kupunyai.
   Kesadaran sekilas yang membuatku sadar lalu minta maaf kepada isteri. Namun, lagi-lagi kesadaran itu seringkali hilang timbul sehingga acapkali aku lupa lalu tergoda. Gelembung banggaku seakan terisi penuh manakala aku dikelilingi wanita lalu masuk ke media sosial. Sungguh, aku merasa telah sanggup menunjukkan kepada mertuaku bahwa aku tidak seremeh yang mereka kira.
"Foto siapa ini yang memelukmu?"tanyaku berang kepada isteriku yang seolah membuka gawainya untuk kulihat isinya.
"Ia teman lama kakakku. Teman belajar kelompoknya yang dulu naksir aku."
"Lalu, apa urusannya ia mengajak foto Kamu, memeluk bahumu pula. Teman sekolah juga bukan,"gerutuku. Amarahku sudah menjalari ubun-ubun.
"Jika Kamu bisa pamer kedekatan dengan perempuan, aku juga bisa kan?" tantangnya,""Bukankah kini Kamu tengah lengket dengan Renata? Teganya Kamu, ia kan temanku saat Sekolah Dasar....
"Justru karena Renata kenal kedua orangtuamu, aku pun mendekatinya. Lagipula ia seksi kan?"