"Tapi aku tidak ingin terkesan berpisah denganmu."
"Tapi aku terluka setiap hari kamu bersama perempuan dan berganti-ganti pula."
"Mereka orang yang menyanyi di karaoke kita."
"Tapi mengapa Kamu selalu menemani mereka?"
 "Kan nggak masalah ditemani pemiliknya? Mereka pun suka. Bahkan ada yang meminta lagu dariku. Kapan-kapan ada yang ingin mengajakku duet. Kali aja laku lagu-laguku. Lumayan kan?"
"Apa hubungannya dengan sakit hati yang Kaupendam akibat penolakan orangtuaku?" suaranya mengeras. Aku segera memeluknya agar tenang.
"Percayalah, aku cinta mati kepadamu."
Ia memberontak dari pelukanku, bahkan ia meninju lenganku. Tentu saja tidak sakit, bahkan aku semakin erat memeluknya.
"Beri aku kesempatan menunjukkan kepada kedua orangtuamu bahwa aku lelaki yang laku di mata wanita-wanita lainnya."
"Ah, keinginan nggak lucu,"isaknya sambil memunggungiku. Ia masih menangis. Aku yang sudah mengantuk membiarkannya karena mataku sudah seakan lekat.
   Sejak saat itu, pertengkaran demi pertengkaran mulai berhamburan dari kami berdua. Ia selalu cemburu dan melarangku akrab dengan wanita-wanita lain, sementara itu aku justru memerlukan ulah itu untuk menyakiti hati kedua mertuaku.