Aku selalu duduk di kafe itu  sepulang kerja. Kebiasaan yang kulakukan sejak sepekan lalu, dan masih saja kulakukan entah sampai kapan. Bukan semata pemandangannya yang indah,  melainkan memang ada kenangan yang membuat terluka, marah, kecewa, sekaligus membuatku harus berintrospeksi.
Kafe tersebut didesain ala pendapa tempo dulu, beratap rumbia, meja kursi bambu berbalut vernis  mengkilap sehingga tampak berkilau, ,juga temaram lampu minyak dan  lilin di sudut- sudut tertentu, membuatku betah. Â
Home industri milikku kututup pukul lima sore, membuatku tiba di tempat tersebut pukul 17.30. Aku beranjak dari situ pukul 18.30,saat badanku sudah menuntut harus mandi dan beristirahat--
Sebagai anak sulung dengan lima orang adik, hanya ayah yang bekerja sebagai karyawan sebuah pabrik, sudah bisa ditebak bagaimana kondisi perekonomian kami.Â
Rumah permanen yang belum kami miliki, membuat kami harus berpindah kontrakan ke sana-sini, dan sudah hampir dipastikan, setiap lima tahun kami harus berpindah tempat tinggal. Kondisi yang memacu anganku untuk mengubah nasib.Â
Sejak kecil, saat aku harus berjalan kaki ke sekolah karena sepeda dipakai adikku, sekitar satu setengah kilo meter sepulang sekolah, aku sudah memprogram angan saat kelas satu SMP. Aku ingin menjadi guru.
Harga buku- buku yang mahal dan demi menghemat uang saku, membuatku menjadi pengunjung setia perpustakaan. Kubaca buku- buku pelajaran ilmu- ilmu sosial seperti sedang membaca novel, kemudian kurangkum tanpa menunggu perintah guru. Dengan demikian, tatkala guru bertanya materi mana yang belum kupahami, aku bisa secepatnya angkat telunjuk untuk bertanya, karena memang ada yang ingin kutanyakan setelah membaca materi pembelajaran yang akan dibahas.
Kupelajari ilmu- ilmu IPA dengan berlatih mengerjakan soal- soal setiap hari, sampai aku hapal rumus tersebut di luar kepala. Dengan demikian, ketika ulangan, bebanku hanya satu, menghitung angka-angka jangan sampai keliru. Walaupun rumus sudah kuhapal di luar kepala, kesalahan jawaban akibat salah hitung pun tidak jarang terjadi.
Hal yang tidak jauh berbeda dengan pelajaran bahasa. Jika ilmu eksakta aku serasa berperang dengan angka-angka yang selalu berubah walaupun rumusnya tetap, demikian pula dengan soal-soal bahasa, karena teks yang disajikan juga berubah-ubah walaupun pertanyaannya sama dan itu-itu saja, misalnya menemukan ide pokok, menyimpulkan isi teks. Akan tetapi, Â perubahan bentuk teks dan pilihan jawaban yang seolah hampir sama padahal ada perbedaan makna dari masing-masing kata, membuatku sering pusing juga.Â
Untuk itu aku memang harus berlatih banyak membaca yang kulakukan dengan cara membaca pelajaran ilmu-ilmu sosial. Seperti kata peribahasa, sambil menyelam minum air.
Kupelajari bahasa Inggris dengan membaca teks lagu-lagu, cerpen, novel berbahasa Inggris, juga bentuk teks lainnya, Â berlanjut mencatat kata- kata sulit yang belum kuketahui artinya lalu langsung kulihat di kamus.Â
Dengan cara belajar demikian, nilaiku bagus dan seringkali  masuk sepuluh besar di kelas. Itu karena sekolahku memang sekolah favorit tempat anak- anak orang kaya yang memiliki uang berlebih untuk les dan berbagai fasilitas lain yang mempercepat belajar mereka.  Upayaku belajar tiap hari tanpa les tambahan, masih kalah hasilnya dengan mereka. Akhirnya, dengan perasaan cemas luar biasa, aku berhasil berkuliah di keguruan seperti yang kuimpikan.
Kebiasaan berhemat uang saku yang merupakan keharusan, bukan semata aku ingin sering berganti- ganti baju agar modis, tapi  memang harus memaksa diri belajar menjahit dan mendesain bajuku. Mengapa? Postur tubuhku yang mungil tapi memiliki dada big size, sungguh merepotkan ketika memilih baju. Kalau kupilih ukuran L, berisiko harus membongkar lengan untuk memotong panjang bahu kemudian masih harus mengecilkan bagian pinggang agar tidak tampak kedodoran.Â
Kalau kupilih baju ukuran M, memang pas untuk tubuhku, tapi tampak penuh sesak di bagian dada. Akhirnya  aku tidak pernah membeli pakaian jadi, lebih baik kujahit sendiri daripada  selalu diributkan oleh ukuran M dan L. Kalaupun harus membeli pakaian jadi yang sudah memiliki pola standar secara umum, aku selalu membongkarnya di sana-sini demi menyesuaikan dengan bentuk tubuhku.
Suatu ketika, ada baju pesta berbahan chiffon putih berenda sebagai rompi. Baju ukuran M, saat kucoba tanpa rompi, pas betul karena di sisi kiri kanan gaun bertali satu itu ada benang karet. Pada saat harus menutupi gaun dengan rompi, masalah pun muncul karena rompi ukuran M itu jadi tidak bisa tertutup rapi.Â
Seorang teman yang saat itu memang sedang berjalan- jalan bersamaku di mall, diam- diam menukar rompi berukuran M tersebut dengan ukuran L. Rompi tersebut segera diberikan padaku yang sedang kebingungan di ruang ganti, kemudian dengan cepat kubawa ke kasir tanpa ketahuan. Kenangan terindah kesetiakawanan seorang teman walau itu kesalahan, membuat baju itu kusimpan sampai kini.
Berawal dari sekadar berhemat uang saku karena dipusingkan ukuran baju, akhirnya menjadi kebiasaan. Kebiasaan berhemat berbelanja baju dengan cara menjahit sendiri, membuatku tidak kesulitan membayar uang muka dan cicilan sebuah real estate bahkan mobil sebagai sarana transportasi dalam bekerja.Â
Selain itu, aku memang mengajar di beberapa tempat. Setelah mengajar di SMP yang merupakan tempat SK awal sebagai PNS turun, aku masih mengajar di beberapa sekolah swasta. Dengan demikian, berangkat petang karena masih sangat pagi berlanjut dengan tiba di rumah juga petang saat senja menjelang, bukan sesuatu yang mengherankan.
Akhirnya mobil kujual untuk membuka home industri garmen, karena aku merasa kelelahan juga  harus mengajar di beberapa tempat. Home industri yang merangkap menerima jasa penjahitan busana ternyata berjalan pesat, sehingga harus menambah beberapa karyawan, bahkan pekerjaan awalku pun kutinggalkan.
Mobil yang terjual bisa segera kubeli lagi setelah cicilan rumah semakin berkurang. Dalam kesendirian, bergaya hidup mewah keluar masuk mall bermobil ditambah dengan kesibukan sebagai pengusaha garmen, membuatku nyaris lupa waktu. waktu sedemikian cepat melesat  tanpa terasa telah membawaku ke angka usia 45 tahun. Hal yang tidak terlalu kupikirkan, bahkan saat bertemu teman yang bergurau,
 "Andaikan tidak Kaulepaskan pekerjaanmu, tentu uangmu semakin banyak. Gaji guru yang bersertifikasi kini sepuluh jutaan lho."
"Aku kesulitan membagi waktu. Biarlah posisiku digantikan mereka yang lebih potensial,"jawabku sambil teringat kesendirianku jika bertemu dengan teman-temanku yang satu per satu sudah memamerkan anak-anaknya.
Setelah adik- adikku menikah, tinggal si bungsu, aku baru mencoba mencari pasangan, setelah persiapan masa depan anakku kelak sudah tidak lagi membuatku cemas.Â
Penderitaan yang kualami sebagai anak sulung yang serba harus mengalah tentang keuangan dengan adik-adik, misalnya rela tidak mengikuti les, membuatku cemas kelak anak-anakku mengalami hal serupa. Aku mulai mencari- cari kenalan di dunia maya. Seseorang yang begitu terbuka dengan datanya, sopan pula, telah memikat hatiku, membuat kami sepakat untuk bertemu di kafe ini. Namun apa yang terjadi? Dia sangat kecewa dengan data yang tidak lengkap.
"Bukan karena Kamu tampak tua. Tapi aku kecewa mengapa kamu tidak jujur dari awal? Sejak awal bukankah kita telah sepakat berkenalan untuk mencari pasangan hidup, bukan mencari pasangan hura-hura? Jika untuk hura-hura, mengapa aku menuntut sedetail itu, mengapa pula kuberikan data yang juga detail? Bukankah cukup dengan merasa saling tertarik secara fisik, kita pun bisa jalan? Sudah kukirim pesan dalam perjalanan ke sini, ada data yang belum diisi.Â
Umur. Mengapa tidak segera diisi? Â Jangan katakan itu bagian dari ujian cinta. Menurut psikolog, cinta sejati justru akan tumbuh wajar dari simbiosis mutualisme. Bukan dengan cara curang begini. Itu namanya enak di Kamu nggak enaknya di aku."
Aku tidak menjawab sepatah kata pun,  mencoba memaklumi pula. Betapa kecewa dirinya karena data yang masih belum lengkap saat ia meluangkan waktu sempitnya untuk bertemu denganku, padahal ia terbuka tentang semua datanya. Ia memang  layak memprotes dan kecewa dengan ketidakjujuranku itu.
Masalahnya, bukan aku tak mau jujur, tapi aku begitu gembira saat ia menelepon akan datang kira- kira empat jam lagi dan minta kujemput di bandara, sehingga aku lupa bertanya basa- basi, misalnya tidak kecewakah  kalau ia tahu umurku? Bagaimanapun, sejujurnya aku gentar juga jika ia mengetahui umurku lalu kecewa, kan? Oleh karena itu, aku tidak segera mengisi data tentangnya, ternyata ia begitu tiba-tiba ingin datang untuk bertemu selagi ada waktu.
 "Okelah. Tidak percaya diri. Lalu, kalau tak percaya diri, bisa  dengan seenaknya tidak jujur? Rumah tangga bagaimanakah yang akan dibentuk berlandaskan ketidakjujuran?"Â
Setelah itu, tiba- tiba ia pamit pergi, kembali ke bandara meninggalkan aku yang termangu sendirian di kafe ini senja itu.
Bukan kehilangan dia yang membuatku sedih. tapi perasaan terluka merasa dianggap tidak jujur, padahal tak ada niatku sedikitpun memalsu data sekadar untuk meraih hatinya yang tengah dipromosikan sebagai manager bank itu. Aku hanya lupa. Itu saja, karena aku juga sependapat bahwa cinta akan tumbuh jika simbiosis mutualisme berjalan seimbang..Aku lupa! Maafkan aku,hanya itu yang selalu kuteriakkan dalam hati,tatkala senja mulai turun.
Bukan kehilangan dia yang membuatku terluka, namun sejujurnya tidak mudah bertemu dengan seseorang dari dunia maya yang sedemikian jujur tentang data dirinya, jujur mengutarakan upayanya mencari pasangan hidup, bukan sekadar mencari teman hura-hura. Akan tetapi, kesempatan itu hilang begitu saja karena keteledoranku tidak segera menuliskan umurku, yang akhirnya dimaknainya sebagai ketidakjujuran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H