Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bukan Tidak Jujur

12 November 2020   08:19 Diperbarui: 12 November 2020   12:35 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

             Aku selalu duduk di kafe itu  sepulang kerja. Kebiasaan yang kulakukan sejak sepekan lalu, dan masih saja kulakukan entah sampai kapan. Bukan semata pemandangannya yang indah,  melainkan memang ada kenangan yang membuat terluka, marah, kecewa, sekaligus membuatku harus berintrospeksi.

Kafe tersebut didesain ala pendapa tempo dulu, beratap rumbia, meja kursi bambu berbalut vernis  mengkilap sehingga tampak berkilau, ,juga temaram lampu minyak dan  lilin di sudut- sudut tertentu, membuatku betah.  

Home industri milikku kututup pukul lima sore, membuatku tiba di tempat tersebut pukul 17.30. Aku beranjak dari situ pukul 18.30,saat badanku sudah menuntut harus mandi dan beristirahat--

Sebagai anak sulung dengan lima orang adik, hanya ayah yang bekerja sebagai karyawan sebuah pabrik, sudah bisa ditebak bagaimana kondisi perekonomian kami. 

Rumah permanen yang belum kami miliki, membuat kami harus berpindah kontrakan ke sana-sini, dan sudah hampir dipastikan, setiap lima tahun kami harus berpindah tempat tinggal. Kondisi yang memacu anganku untuk mengubah nasib. 

Sejak kecil, saat aku harus berjalan kaki ke sekolah karena sepeda dipakai adikku, sekitar satu setengah kilo meter sepulang sekolah, aku sudah memprogram angan saat kelas satu SMP. Aku ingin menjadi guru.

Harga buku- buku yang mahal dan demi menghemat uang saku, membuatku menjadi pengunjung setia perpustakaan. Kubaca buku- buku pelajaran ilmu- ilmu sosial seperti sedang membaca novel, kemudian kurangkum tanpa menunggu perintah guru. Dengan demikian, tatkala guru bertanya materi mana yang belum kupahami, aku bisa secepatnya angkat telunjuk untuk bertanya, karena memang ada yang ingin kutanyakan setelah membaca materi pembelajaran yang akan dibahas.

Kupelajari ilmu- ilmu IPA dengan berlatih mengerjakan soal- soal setiap hari, sampai aku hapal rumus tersebut di luar kepala. Dengan demikian, ketika ulangan, bebanku hanya satu, menghitung angka-angka jangan sampai keliru. Walaupun rumus sudah kuhapal di luar kepala, kesalahan jawaban akibat salah hitung pun tidak jarang terjadi.

Hal yang tidak jauh berbeda dengan pelajaran bahasa. Jika ilmu eksakta aku serasa berperang dengan angka-angka yang selalu berubah walaupun rumusnya tetap, demikian pula dengan soal-soal bahasa, karena teks yang disajikan juga berubah-ubah walaupun pertanyaannya sama dan itu-itu saja, misalnya menemukan ide pokok, menyimpulkan isi teks. Akan tetapi,  perubahan bentuk teks dan pilihan jawaban yang seolah hampir sama padahal ada perbedaan makna dari masing-masing kata, membuatku sering pusing juga. 

Untuk itu aku memang harus berlatih banyak membaca yang kulakukan dengan cara membaca pelajaran ilmu-ilmu sosial. Seperti kata peribahasa, sambil menyelam minum air.

Kupelajari bahasa Inggris dengan membaca teks lagu-lagu, cerpen, novel berbahasa Inggris, juga bentuk teks lainnya,  berlanjut mencatat kata- kata sulit yang belum kuketahui artinya lalu langsung kulihat di kamus. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun