"Kalau digoda juga sulit mengelak. Nggak seperti kami, kaum wanita,"tambah Santi.
     "Karena itulah, aku belum berani bercerita kepada isteriku padahal seharusnya kesanggupanku untuk setia ini layak diapresiasi. Suami kan juga ingin dikagumi perjuangannya termasuk perjuangan untuk bisa setia."
     "Kalau pun misalnya isterimu nggak percaya, apa yang Kaucemaskan?"tanyaku.
      "Cemas nggak dipercaya, lalu nggak diberi me time? Kasihan deh Lu,"sahut Santi.
      "Bukan begitu. Isteriku sih bukan tipe penguasa. Ia tetap akan memberiku me time. Ia akan tetap menghargai privacyku. Ia  tak akan memaksa berteman denganku di media sosial jika aku tidak memintanya lebih dulu. Apapun yang berkaitan dengan privasiku, ia selalu meminta izinku."
      "Lalu apa yang Kaucemaskan?" Aditya penasaran juga akhirnya.
      "Aku cemas  ia nggak percaya pada ceritaku itu karena prasangka buruknya terhadap tradisi patriarki yang telah mengendap di dasar hatinya selama bertahun-tahun. Jika ia malah tidak percaya, konsentrasinya akan terganggu. Pasti terganggu. Itulah yang kucemaskan. Selama ini ia kan tampak bahagia dengan merasa dicintai dan mencintai...
      "Merasa dicintai dan mencintai memang kebahagiaan wanita yang utama,"sahut Mira.
      "Memang kenapa kalau konsentrasinya terganggu?" tanya Aditya lagi.
      "Wah...ia kan wanita. Segalanya serba melibatkan perasaan terlebih saat bermesraan. Jika konsentrasinya terganggu, ia bisa menjadi beku,"lanjut Jono menghela napas,"Jika ia beku, aku bisa coba-coba untuk tidak setia nih. Malah bahaya kan?"
       Kami pun terdiam. Angin kembali berhembus menggoyang dedaunan kering yang segera berjatuhan. Waktu sudah menunjukkan pukul 18.25. Kami pun beranjak menuju kelas sambil masih terbawa perasaan setelah mendengar cerita Jono tersebut.