Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Untuk Apa Aku Dilahirkan, Ibu?

30 September 2020   20:30 Diperbarui: 30 September 2020   20:40 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedangkan lelaki, biasanya mengikuti saja apa kemauan isteri. Jika isteri sayang anak, ia pun ikut sayang. Jika tidak, ia pun tidak meminta, seperti si bapak yang ikut menguburkan anaknya yang terbunuh isterinya karena kesulitan belajar online tersebut di atas?  Karena lelaki adalah bayi gede? Berapapun isteri mengingini anak, ia setuju saja, asalkan keinginannya sebagai "bayi gede" yang selalu dinomorsatukan, terpenuhi. Begitulah pendapat yang saya peroleh dari berbagai sumber tentang lelaki.

Lelaki harus nomor satu di hati isteri, tanpa pesaing walaupun anak sendiri, apalagi orang lain atau lelaki lain. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak lelaki yang bangga menikahi wanita populer, begitu menjadi isterinya malah dilarang eksis.

Bahkan, banyak pula informasi, ayah tiri maupun ayah kandung, biasanya sedang mabuk, yang membanting anaknya karena rewel semalaman. Bahwa lelaki minta dinomorsatukan tidak mau dipinggirkan walaupun oleh anak sendiri sepertinya memang bukan sekadar asumsi.

Sesungguhnya untuk memiliki anak memang harus dipertimbangkan  secara bersungguh-sungguh. Jika merasa secara genetik adalah bibit unggul, yang membuat dunia kehilangan jika mereka tidak meneruskan keturunan, silakan memiliki anak yang akan meneruskan aspek kemanfaatan bagi sesama.

Jika anak hanyalah dibutuhkan untuk pengikat pernikahan, betapa banyak pernikahan yang ambyar padahal sudah hadir anak-anak sebagai pengikat. Jika anak dilahirkan sebagai sarana untuk dinikahi, apalagi ini, ada satu dua contoh si bapak tega pergi meninggalkan isteri yang sedang hamil gegara merasa tertipu.

Si isteri menurut informasi sudah PNS ternyata belum. Walaupun hal ini seolah hanyalah pembelaan harga diri karena merasa ditipu/ diakali, tapi ketegaran untuk "tidak peduli" bahkan setelah menghamili, ternyata bukan hal yang mengherankan.

Bukankah naluri lelaki dan wanita berbeda? Bahwa naluri wanita cenderung memiliki anak-anak, begitulah adanya, karena saya pun wanita. Sedangkan naluri lelaki cenderung melindungi?

Naluri lelaki untuk melindungi terlihat saat berkemah misalnya. Betapa anak-anak lelaki membantu anak-anak wanita di perkemahan, dari memasangkan tenda, menghalau gangguan binatang, membantu mencari dan menyalakan kayu bakar, bahkan membantu memasak pun mereka tidak keberatan.

Mereka memang makhluk yang terkesan tidak tegaan, mungkin karena naluri untuk melindungi, melindungi apa saja termasuk melindungi harga diri sendiri maupun teman-temannya. Oleh karena itu, jika dalam bergurau, kemudian lelaki marah karena gurauan tersebut, kami para wanita biasanya menjadi ngeri. Mereka tidak setersinggungan kaum wanita. Jika mereka marah, berarti gurauan kita sudah berlebihan, mungkin menyinggung harga diri sesama.

Terlepas dari semua itu, anak-anak adalah titipan Tuhan. Mereka adalah pemilik masa depan dan calon pewaris negeri bahkan planet dan seluruh tatasurya serta jagat raya atau alam semesta ini. 

Manusia memang diminta berkembang biak melahirkan keturunan demi melestarikan amanat ini. Akan tetapi, disisipi  warning, janganlah meninggalkan keturunan dalam keadaan lemah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun