Sambil menyapu rumah sesekali menengok magic com barangkali nasi sudah masak untuk bekal ke kantor, radio menyampaikaan informasi yang membuat naluri saya sebagai wanita sekaligus guru, menjadi terusik. Untuk sesaat saya tertegun dengan perasaan kaca balau tentu.
Siapa yang tidak terkejut mendengar informasi, bahwa seorang ibu tega membunuh anaknya karena sulit diajak belajar online. Oleh karena penasaran masih belum hilang, setiba di kantor saya mencari informasi lanjutan dari media  lainnya, dari situ saya beroleh informasi tambahan tentang sang ibu yang mengaku kepada penyidik bahwa ia menganiaya korban hingga tewas. Persitiwa tersebut terjadi di pada 26 Agustus 2020 di rumah kontrakannya di wilayah Tangerang.
Apa yang terlintas setelah untuk sesaat tertegun? Teringat apalagi? Teringat bahwa secara genetik, kecerdasan anak diturunkan oleh ibu? Sehingga seharusnya si ibu bersabar menghadapi kesulitan anaknya dalam belajar? Karena bisa jadi, kesulitan belajar tersebut menurun dari dirinya sendiri? Penelitian terbaru di Psychology Spot dalam aladokter.com mengatakan ketika menyangkut kecerdasan, dipastikan gen tersebut berasal dari seorang ibu.
Gen kecerdasan terletak di kromosom X dan perempuan membawa dua kromosom tersebut. Sementara laki-laki hanya membawa satu kromosom X. Oleh karena perempuan membawa dua kromosom X, maka bisa dipastikan anak-anak mereka memiliki kemungkinan dua kali lebih besar mendapatkan warisan kecerdasan darinya.
Dalam hal kecerdasan, seorang ibu berperan penting menurunkan kecerdasannya pada anak, memang telah dibuktikan fakta pendukung lainnya, misalnya The Medical Research Council Social and Public Health di Amerika Serikat yang telah melakukan penelitian pada ibu-ibu pada tahun 1994. Uji tes dilakukan dengan mewawancarai 12.686 anak muda usia 14- 22 tahun. Pertanyaan berokus pada IQ, ras, pendidikan, serta sosial ekonomi anak. Dari situ diperoleh informasi bahwa ibulah yang menurunkan kecerdasan intelektual kepada anaknya.
Yang terlintas berikutnya adalah, ingatan akan emak-emak yang suka menceritakan prestasi anak-anaknya ketika berbelanja? Sehingga begitu ada pendapat pakar pendidikan bahwa untuk sekolah umum, nilai siwa  tidak harus diranking, terlebih  penghapusan sistem ranking sudah diberlakukan sekitar 2010-an awal ataupun 2000-an akhir, saya pun menyembunyikan peringkat atau ranking siswa. Peringkat tersebut khusus untuk konsumsi saya pribadi selaku wali kelas.
Peringkat yang hanya saya berikan ketika dibutuhkan misalnya di kantor orangtua ada hadiah bagi anak mereka yang menduduki tiga besar, dan lain-lain kebutuhan sesuai permintaan orangtua. Itu pun ketika membagikan raport saya seringkali berpesan kepada orangtuanya agar anak-anak janganlah dimarahi andaikan ada perubahan nilai. Tetaplah diawasi saat belajar, diarahkan dan ditemani, jika belajar setiap hari tentu ada kemajuan.
Mengapa si ibu tersebut tega menghajar anaknya  sampai tewas? Mungkin memang tidak berniat menewaskan. Yang pasti, si anak telah telanjur tewas. Bagaimanakah kondisi psikologis ibunya saat marah-marah kepada anaknya itu? Merasa menderita karena keuangan yang seret?Â
Bukankah masalah tersebut pun dialami semua manusia di dunia ini, karena pendemi covid-19? Â Merasa menderita karena masih tinggal di rumah kontrakan? Mengapa masih mengontrak ketika memutuskan menikah? Mengapa tidak menabung atau mencicil perumahan sebelum memutuskan menikah karena kelak yang akan banyak berada di rumah memang ibu?
Ah, pertanyaan yang melintas menjadi terlalu luas, mengarah ke privacy. Toh, membeli rumah atau tidak itu hak manusia. Seumur hidup mengontrak rumah pun bukan masalah, asalkan bisa tabah, sabar, ikhlas.
Akhirnya, ingatan yang kembali melintas-lintas adalah, mengapa si ibu tega memarahi anaknya yang kesulitan belajar dengan cara menghajarnya? Bukankah informasi bahwa dalam era covid-19 pembelajaran tidak harus tuntas? Andaikan anaknya benar-benar mengalami kesulitan belajar, ibunya kan bisa menelepon atau menemui gurunya di sekolah, lalu menceritakan masalahnya?
Sampai di sini, saya baru tersadar betapa tidak mudah menjadi guru. Sampai di sini pula, airmata tidak dapat terbendung teringat almarhum bapak. Dulu, bapak memaksa anak-anak perempuannya menjadi guru. Sejak kecil, dengan ekstreem, kami diarahkan untuk bersekolah ke Sekolah Pendidikan Guru, dengan asumsi bahwa perempuan sebaiknya bersekolah SPG, karena di SPG (sekarang SPG sudah tidak ada) diajari berbagai ilmu tentang pendidikan.
Ilmu didaktik metodik, psikologi,berbagai seni dari musik sampai seni suara, dan seluruh ilmu-ilmu dasar di dunia pendidikan yang akan memberikan banyak bekal sebagai calon isteri, ibu, sekaligus warga masyarakat. Gaji sedikit bukan masalah karena wanita bukan penanggung jawab pencarian nafkah. Beliau hanya tidak tega menitipkan anak perempuannya kepada lelaki tanpa bekal apa pun. Jika misalnya kelak ada perpisahan karena suami diambil Tuhan atau wanita lain, anak-anak perempuannya  masih memiliki bekal hidup, tidak terlinta-lunta dan tersia-sia.
Akan tetapi, saya tidak patuh, saya memberontak bukan karena tidak suka menjadi guru, tapi saya menolak karena merasa dipaksa bersekolah ke SPG. Mengapa sekolah harus dipaksa? Jika saya ingin ke SMA bagaimana? Karena teman-teman saya memilih ke SMA, saya pun ingin. Kemudian kuliah, menjadi mahasiswa, saya pun ingin.
Bapak terdiam. Sampai sekarang jika teringat saya membantah dan berdebat tentang pilihan sekolah harus ke SPG atau ke SMA. Meskipun bapak menuruti, selalu timbul rasa iba di hati. Bahwa sebagai lelaki entah terlalu cinta kepada isteri sehingga cemas diambil orang atau gengsi atau justru cemas anak-anaknya terlantar tanpa kehadiran ibu yang mengawasi kami setiap detik, setiap saat, dan setiap waktu, bapak melarang ibu bekerja, padahal ibu tipikal pekerja keras sehubungan dengan latar belakanganya sebagai anak petani.
Bapak akhirnya tampil sebagai pekerja tunggal yang menyadari bahwa gaji guru zaman itu tidak mencukupi untuk memanjakan keinginan isteri dan anak-anak. Oleh karena itu bapak mencoba peruntungan di bidang bisnis yang akhirnya gagal total. Kegagalan yang  menggoreskan keterpurukan karena baru terbebas dari utang ketika saya memasuki SMA.
Alasan itulah, selain alasan di atas, yang membuat bapak meminta kami bersekolah SPG. Dengan asumsi jika tidak bisa membiayai kuliah, kami sudah bisa bekerja, selain SPG-lah tempat yang membekali wanita dengan ilmu-ilmu dasar sebagai ibu. Oleh karena itu, tatkala mendengar SPG dihapus, kemudian diganti PGSD, walaupun tidak disampaikan ke media, karena saat itu internet belum semudah sekarang, bapak memprotes secara lisan. "Ilmu apa yang diperoleh guru jika keguruan hanya setahun, dua tahun? Bahkan sampai mahasiswa pun saya tidak yakin hasilnya setara dengan ilmu-ilmu yang diberikan SPG. Buktikan jika Ilmu Kependidikan di Perguruan Tinggi yang Kamu peroleh tidak kalah dengan SPG." Hehehe. Â Kalimat yang membuat saya termotivasi untuk berliterasi. Dulu, tulisan-tulisan hanya saya simpan di laptop sebelum mengenal kompasiana.
Manakala saya dan adik-adik berlatih menyanyi kemudian ada nada yang sumbang, bapak mengatakan andai dulu kami masuk SPG, tentu mendapat ilmu tarik suara tanpa harus mengikuti ekstrakurikuler. Begitu juga tatkala kami kesulitan membaca partitur lagu not balok, bapak pun mengatakan bahwa andaikan dulu kami masuk SPG tentu tidak kesulitan.
Tatkala kami salah menggunakan bahasa Jawa ngoko, krama, dan krama inggil, bapak selalu mengingatkan andaikan dulu kami masuk SPG tentu tidak kesulitan. Kenangan belajar berbahasa Jawa di rumah yang membuat saya terdorong untuk menulis novel berbahasa Jawa. Keinginan yang sudah muncul sejak lama, namun baru kumulai tahun lalu dan terselesaikan tahun ini karena ada motivator yang membuat saya bersemangat untuk menulis. Hehehe.
Kembali kepada ibu yang tega menganiaya anak. Mengapa? Ingatan pun melayang kepada postingan yang muncul beberapa kali di instagram, tentang  dosen yang bertanya kepada seorang mahasiswa, siapakah yang paling dipilih di antara tiga pilihan? Orangtua, anak, atau isteri? Jawabannya sama dengan jawaban bapak saat memotivasi kami, anak-anak perempuannya untuk selalu belajar bersikap menjadi isteri yang baik bagi suami.
Jawaban mahasiswa tersebut bukan memilih orangtua, karena orangtua adalah pemberian Tuhan, bukan pilihan sendiri. Demikian pula dengan anak. Anak pun titipan Tuhan, bukan pilihan sendiri, dan kelak si anak pun akan meninggalkan orangtua tatkala sudah memiliki teman, tetapi isteri adalah pilihan sendiri. Jadi isterilah yang dipilih jika hanya diberi satu pilihan. Mengharukan, bukan?
Dalam novel "Ronggeng Dukuh Paruk" karya Ahmad Tohari, yang ribut ingin memiliki anak adalah Srintil. Mengapa? Karena wanita ingin menyalurkan naluri keibuannya. Oleh karena itu, wanita jika ingin memiliki anak, ia tak peduli itu anak pungut atau anak sendiri, ia akan menyayangi. Demi naluri keibuankah? Demikianlah yang saya rasakan tatkala menghadapi anak-anak bahkan murid-murid. Â Mereka adalah media penyaluran naluri keibuan saya walaupun tidak lahir dari rahim saya.
Sedangkan lelaki, biasanya mengikuti saja apa kemauan isteri. Jika isteri sayang anak, ia pun ikut sayang. Jika tidak, ia pun tidak meminta, seperti si bapak yang ikut menguburkan anaknya yang terbunuh isterinya karena kesulitan belajar online tersebut di atas? Â Karena lelaki adalah bayi gede? Berapapun isteri mengingini anak, ia setuju saja, asalkan keinginannya sebagai "bayi gede" yang selalu dinomorsatukan, terpenuhi. Begitulah pendapat yang saya peroleh dari berbagai sumber tentang lelaki.
Lelaki harus nomor satu di hati isteri, tanpa pesaing walaupun anak sendiri, apalagi orang lain atau lelaki lain. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak lelaki yang bangga menikahi wanita populer, begitu menjadi isterinya malah dilarang eksis.
Bahkan, banyak pula informasi, ayah tiri maupun ayah kandung, biasanya sedang mabuk, yang membanting anaknya karena rewel semalaman. Bahwa lelaki minta dinomorsatukan tidak mau dipinggirkan walaupun oleh anak sendiri sepertinya memang bukan sekadar asumsi.
Sesungguhnya untuk memiliki anak memang harus dipertimbangkan  secara bersungguh-sungguh. Jika merasa secara genetik adalah bibit unggul, yang membuat dunia kehilangan jika mereka tidak meneruskan keturunan, silakan memiliki anak yang akan meneruskan aspek kemanfaatan bagi sesama.
Jika anak hanyalah dibutuhkan untuk pengikat pernikahan, betapa banyak pernikahan yang ambyar padahal sudah hadir anak-anak sebagai pengikat. Jika anak dilahirkan sebagai sarana untuk dinikahi, apalagi ini, ada satu dua contoh si bapak tega pergi meninggalkan isteri yang sedang hamil gegara merasa tertipu.
Si isteri menurut informasi sudah PNS ternyata belum. Walaupun hal ini seolah hanyalah pembelaan harga diri karena merasa ditipu/ diakali, tapi ketegaran untuk "tidak peduli" bahkan setelah menghamili, ternyata bukan hal yang mengherankan.
Bukankah naluri lelaki dan wanita berbeda? Bahwa naluri wanita cenderung memiliki anak-anak, begitulah adanya, karena saya pun wanita. Sedangkan naluri lelaki cenderung melindungi?
Naluri lelaki untuk melindungi terlihat saat berkemah misalnya. Betapa anak-anak lelaki membantu anak-anak wanita di perkemahan, dari memasangkan tenda, menghalau gangguan binatang, membantu mencari dan menyalakan kayu bakar, bahkan membantu memasak pun mereka tidak keberatan.
Mereka memang makhluk yang terkesan tidak tegaan, mungkin karena naluri untuk melindungi, melindungi apa saja termasuk melindungi harga diri sendiri maupun teman-temannya. Oleh karena itu, jika dalam bergurau, kemudian lelaki marah karena gurauan tersebut, kami para wanita biasanya menjadi ngeri. Mereka tidak setersinggungan kaum wanita. Jika mereka marah, berarti gurauan kita sudah berlebihan, mungkin menyinggung harga diri sesama.
Terlepas dari semua itu, anak-anak adalah titipan Tuhan. Mereka adalah pemilik masa depan dan calon pewaris negeri bahkan planet dan seluruh tatasurya serta jagat raya atau alam semesta ini.Â
Manusia memang diminta berkembang biak melahirkan keturunan demi melestarikan amanat ini. Akan tetapi, disisipi  warning, janganlah meninggalkan keturunan dalam keadaan lemah.
Jika merasa bakal lemah nantinya, entah karena faktor ekonomi, kesehatan lahir batin, pendidikan, maupun segala hal yang kelak bakal membuat si anak bakal lemah, janganlah dipaksa untuk dilahirkan.
Jika dilahirkan hanya semata menuntut pertanggungjawaban lelaki, harap diingat bahwa naluri lelaki bukan untuk memiliki anak-anak. Naluri lelaki adalah ingin dinomorsatukan dan ingin melindungi, bahkan si bapak dalam fakta di atas demi melindungi isteri, rela membantu melepaskan jejak kesalahan isteri yang telah "membunuh" anaknya, bukan?
Bahan Bacaan:
Benarkah Kecerdasan Anak Menurun dari Ibu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H