Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Untuk Apa Aku Dilahirkan, Ibu?

30 September 2020   20:30 Diperbarui: 30 September 2020   20:40 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sampai di sini, saya baru tersadar betapa tidak mudah menjadi guru. Sampai di sini pula, airmata tidak dapat terbendung teringat almarhum bapak. Dulu, bapak memaksa anak-anak perempuannya menjadi guru. Sejak kecil, dengan ekstreem, kami diarahkan untuk bersekolah ke Sekolah Pendidikan Guru, dengan asumsi bahwa perempuan sebaiknya bersekolah SPG, karena di SPG (sekarang SPG sudah tidak ada) diajari berbagai ilmu tentang pendidikan.

Ilmu didaktik metodik, psikologi,berbagai seni dari musik sampai seni suara, dan seluruh ilmu-ilmu dasar di dunia pendidikan yang akan memberikan banyak bekal sebagai calon isteri, ibu, sekaligus warga masyarakat. Gaji sedikit bukan masalah karena wanita bukan penanggung jawab pencarian nafkah. Beliau hanya tidak tega menitipkan anak perempuannya kepada lelaki tanpa bekal apa pun. Jika misalnya kelak ada perpisahan karena suami diambil Tuhan atau wanita lain, anak-anak perempuannya  masih memiliki bekal hidup, tidak terlinta-lunta dan tersia-sia.

Akan tetapi, saya tidak patuh, saya memberontak bukan karena tidak suka menjadi guru, tapi saya menolak karena merasa dipaksa bersekolah ke SPG. Mengapa sekolah harus dipaksa? Jika saya ingin ke SMA bagaimana? Karena teman-teman saya memilih ke SMA, saya pun ingin. Kemudian kuliah, menjadi mahasiswa, saya pun ingin.

Bapak terdiam. Sampai sekarang jika teringat saya membantah dan berdebat tentang pilihan sekolah harus ke SPG atau ke SMA. Meskipun bapak menuruti, selalu timbul rasa iba di hati. Bahwa sebagai lelaki entah terlalu cinta kepada isteri sehingga cemas diambil orang atau gengsi atau justru cemas anak-anaknya terlantar tanpa kehadiran ibu yang mengawasi kami setiap detik, setiap saat, dan setiap waktu, bapak melarang ibu bekerja, padahal ibu tipikal pekerja keras sehubungan dengan latar belakanganya sebagai anak petani.

Bapak akhirnya tampil sebagai pekerja tunggal yang menyadari bahwa gaji guru zaman itu tidak mencukupi untuk memanjakan keinginan isteri dan anak-anak. Oleh karena itu bapak mencoba peruntungan di bidang bisnis yang akhirnya gagal total. Kegagalan yang  menggoreskan keterpurukan karena baru terbebas dari utang ketika saya memasuki SMA.

Alasan itulah, selain alasan di atas, yang membuat bapak meminta kami bersekolah SPG. Dengan asumsi jika tidak bisa membiayai kuliah, kami sudah bisa bekerja, selain SPG-lah tempat yang membekali wanita dengan ilmu-ilmu dasar sebagai ibu. Oleh karena itu, tatkala mendengar SPG dihapus, kemudian diganti PGSD, walaupun tidak disampaikan ke media, karena saat itu internet belum semudah sekarang, bapak memprotes secara lisan. "Ilmu apa yang diperoleh guru jika keguruan hanya setahun, dua tahun? Bahkan sampai mahasiswa pun saya tidak yakin hasilnya setara dengan ilmu-ilmu yang diberikan SPG. Buktikan jika Ilmu Kependidikan di Perguruan Tinggi yang Kamu peroleh tidak kalah dengan SPG." Hehehe.  Kalimat yang membuat saya termotivasi untuk berliterasi. Dulu, tulisan-tulisan hanya saya simpan di laptop sebelum mengenal kompasiana.

Manakala saya dan adik-adik berlatih menyanyi kemudian ada nada yang sumbang, bapak mengatakan andai dulu kami masuk SPG, tentu mendapat ilmu tarik suara tanpa harus mengikuti ekstrakurikuler. Begitu juga tatkala kami kesulitan membaca partitur lagu not balok, bapak pun mengatakan bahwa andaikan dulu kami masuk SPG tentu tidak kesulitan.

Tatkala kami salah menggunakan bahasa Jawa ngoko, krama, dan krama inggil, bapak selalu mengingatkan andaikan dulu kami masuk SPG tentu tidak kesulitan. Kenangan belajar berbahasa Jawa di rumah yang membuat saya terdorong untuk menulis novel berbahasa Jawa. Keinginan yang sudah muncul sejak lama, namun baru kumulai tahun lalu dan terselesaikan tahun ini karena ada motivator yang membuat saya bersemangat untuk menulis. Hehehe.

Kembali kepada ibu yang tega menganiaya anak. Mengapa? Ingatan pun melayang kepada postingan yang muncul beberapa kali di instagram, tentang  dosen yang bertanya kepada seorang mahasiswa, siapakah yang paling dipilih di antara tiga pilihan? Orangtua, anak, atau isteri? Jawabannya sama dengan jawaban bapak saat memotivasi kami, anak-anak perempuannya untuk selalu belajar bersikap menjadi isteri yang baik bagi suami.

Jawaban mahasiswa tersebut bukan memilih orangtua, karena orangtua adalah pemberian Tuhan, bukan pilihan sendiri. Demikian pula dengan anak. Anak pun titipan Tuhan, bukan pilihan sendiri, dan kelak si anak pun akan meninggalkan orangtua tatkala sudah memiliki teman, tetapi isteri adalah pilihan sendiri. Jadi isterilah yang dipilih jika hanya diberi satu pilihan. Mengharukan, bukan?

Dalam novel "Ronggeng Dukuh Paruk" karya Ahmad Tohari, yang ribut ingin memiliki anak adalah Srintil. Mengapa? Karena wanita ingin menyalurkan naluri keibuannya. Oleh karena itu, wanita jika ingin memiliki anak, ia tak peduli itu anak pungut atau anak sendiri, ia akan menyayangi. Demi naluri keibuankah? Demikianlah yang saya rasakan tatkala menghadapi anak-anak bahkan murid-murid.  Mereka adalah media penyaluran naluri keibuan saya walaupun tidak lahir dari rahim saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun