Ade terkejut. Ketika membuka pintu apartemen, tampak isterinya sudah berada di dalam. Dalam kelelahan ingin segera berbaring, ia pun menegur mesra,
        "Selamat malam, Ratuku," katanya sambil melepas sepatu dan meletakkannya di sudut dekat pintu sedangkan kaus kaki segera dimasukkannya ke tempat cucian.
        Nayla terkejut. Ia baru saja bertelepon dengan Tania mengenai foto wanita yang dikirim kepadanya secara misterius entah oleh siapa. Suaminya mengatakan itu fotonya dengan Tania. Ia tidak percaya begitu saja, kemudian mengirimkan kepada Tania yang dijawab bukan dirinya, walaupun ada kesamaan tentang gaya rambut. Keduanya menyisir rambut ke belakang. Tapi itu bukan Tania.
Walaupun sekilas ada kemiripan, jelas itu foto gadis yang diceritakan Ade kepadanya. Yang katanya tengah dihindarinya. Maka dari itu, ia mengajaknya bersandiwara. Tapi, mengapa mereka foto berdua? Semisterius itukah Ade? Sampai-sampai suaminya keberatan jika ia berdua saja dengannya dalam waktu yang lama, walaupun dengan alasan mengerjakan PR?
        Hmm...Nayla memaki tapi cukup dalam hati. Sungguh ia tidak sanggup membiarkan amarah meledak melalui mulut. Walaupun akhirnya sama saja, jika melalui mulut berarti harus mengenang nasihat "mulutmu harimaumu", jika marah melalui tulisan pun ia dihadang saran,"jemarimu harimaumu"
        Ia menahan tangis yang sejak kemarin sudah ditahannya, sudah tertumpah pula, lalu menangis dan menangis lagi. Hanya itu yang dilakukannya. Pada akhirnya ia pun meminta izin kepada abangnya untuk tidak masuk kerja dua hari. Ia ingin menengok suaminya. Suami yang sepertinya merasa nyaman saja kendati hidup tanpa isteri. Seolah tidak terjadi apa-apa terlebih kini ia merangkap sebagai mahasiswa S2. Lengkap sudah ulahnya. Tapi, Nayla  begitu mencintainya, sehingga apa pun ulah suaminya, ia mencoba memaklumi.
        Maka, yang dilakukan kemudian adalah berjalan dari balkon secepatnya untuk memeluk suaminya.
        "Siapa sih ratuku itu, Mas?" tanyanya dalam isak tertahan sambil memberikan secangkir kopi.
        Ade terkejut. Ia merasa telah salah ucap. Hm...ia pun menunduk sambil duduk di tepi ranjang kemudian berlama-lama melepas celana kerjanya. Perilaku yang diharapkan dapat mengalihkan ingatan isterinya tentang kata "ratuku" yang diucapkan spontan tadi sore.
        "Lagipula kan masih sore, masih hampir magrib, tapi sudah mengucapkan selamat malam."
        "Aku menggodamu saja kok. Mengapa tiba-tiba datang tanpa kabar?" jawabnya kemudian mencoba tenang setenang-tenangnya agar isterinya tidak semakin curiga sambil beranjak ke kamar mandi.
        Setelah masuk kamar mandi, dari bawah sowher ia berteriak
        "Segera ganti baju, jangan hanya mengenakan tanktop dan hotpans begitu. Kita segera makan di luar."
        Nayla tanpa banyak kata, menuruti sambil membuka lemari pakaian. Disibaknya satu per satu bajunya di gantungan. Ia mencoba mengingat satu per satu letaknya, jangan-jangan...
        "Ada apa termangu? Memang curiga ada yang hilang?" goda Ade sambil memeluknya dari belakang, "Percayalah. Aku aman di sini."
        Sesaat ia merasakan bahwa pelukan suaminya masih seperti dulu. Masih sama seperti awal ia memeluknya dulu. Beberapa tahun yang lalu. Tapi, ucapan ratuku tadi, untuk siapa?Untuk sesaat, amarah menguasai dirinya dan hampir saja ia memberontak melepaskan diri dari pelukan suaminya. Namun tubuhnya seakan lunglai. Yang terasakan kemudian, air mata menghangati sudut-sudut matanya.
        Ade tidak memerhatikan atau memang tidak tahu, ditambah rasa lapar yang menguasai perutnya, ia pun segera menuju pintu. Nayla pun segera mengikutinya dengan rasa marah yang masih menguasai sekujur tubuhnya.
        "Kita jalan kaki saja ya Sayang,"bisik Ade setelah mereka keluar dari lift sambil kembali memeluknya di keremangan senja menuju rumah makan.
        Hmmm...Nayla tidak segera menjawab, hanya mengikuti langkah kaki suaminya. Semakin merasakan bahwa suaminya masih mencintainya, amarah yang dirasakan semakin tidak kunjung mereda. Bahkan amarah itu malah semakin melonjak menguasai kepala memintanya untuk merajuk lebih lama.
        "Kok diam sih?" tanya suaminya sambil memilih tempat duduk di sudut dekat kolam. Tempat yang hanya terisi dua kursi dinaungi dedaunan dilengkapi cahaya lampu yang temaram, lengkaplah suasana romantis yang ditampilkan. Suasana yang mengenangkan pada masa lalu, awal mereka bertemu, andaikan Nayla tidak dikuasai rasa cemburu.
        Sesungguhnya Nayla tidak diam. Sambil menunggu pesanan makanan diantarkan ke tempat mereka berdua, jemarinya sibuk menulis pesan,
        "Mengapa sih Kamu begitu lemah kepada wanita, Mas?"
        Tapi ia segera memaklumi bahwa suaminya adalah lelaki. Jika dikaji lebih jauh, lelaki mana yang sanggup bersikap kasar kepada perempuan? Walaupun  sanggup menahan godaan, mereka tetap bisa bersikap sabar. Sikap yang berbeda dengan para wanita, yang bisa spontan marah manakala ada pria yang mencoba menyentuhnya. Bisa jadi, lelaki malah menikmatinya kendati godaan itu tidak dimasukkan ke hatinya.
        "Ayo selfie," ajak Ade sambil mendekatkan tubuh ke arah isterinya kemudian memotret mereka berdua.
        "Kok manyun?" godanya tertawa melihat ekspresi Nayla yang difoto tanpa tersenyum, bahkan memberi isyarat agar suaminya segera membaca pesan yang dikirimkannya.
        "Wanita siapa?"tanya Ade berlagak bego.
        "Semua wanita akan memiliki feeling yang sama. Kaucari wanita dari belahan bumi manapun, firasatnya akan sama, asalkan...
        "Asalkan apa?" tanya Ade memandangnya dengan mata seolah bergantung kepada gerak bibirnya untuk menunggu jawabannya.
        "Asalkan wanita itu mencintaimu dengan tulus. Kalau nggak percaya, tanyakan pada ibu mertua."
        "Ibu mertua siapa?" tanya Ade mencoba mencairkan suasana,
        "Terserah. Ibu mertuamu atau ibu mertuaku."
        "Feeling apa yang Kaurasakan? Nyerah deh,"goda Ade sambil mengangkat kedua tangannya berlagak sebagai musuh yang kalah perang.
        "Kamu berbohong kan?"
        "Karena aku nggak tahu harus berkata apa menghadapi interogasimu."
        "Tapi menyebut seseorang dengan kata ratuku itu menjengkelkan, tahu. Ia bisa GR,"serunya sambil mencubiti lengan suaminya. Perasaan rindu dan marah yang membaur jadi satu membuatnya ingin mencium suaminya kalau saja pesanan makanan tidak segera datang. Tempat mereka memang tampak gelap dari tempat lain. Seolah memang didesain untuk berduaan.
        "Karena Kamu sok mesra begitu, makanya si cewek berani mengejarmu," gerutunya kemudian, sambil menuangkan teh panas yang cangkirnya telah diberi gula batu.
        "Tahu darimana Kamu kalau si cewek mengejarku."
        "Foto kalian berdua itu.  Dia bukan Tania, kan?"
        "Siapa bilang ia bukan Tania," Ade mencoba berkilah tapi akhirnya diam, karena Nayla tentu sudah bertanya kepada Tania.
        "Gadis itu bukan Tania kan?"
        "Bukan,"jawab Ade kemudian.
        "Aku kenal dia ketika Kamu nggak menemaniku pindahan tempo hari,"jawabnya ringan.
        "Kamu sibuk terus sih, dimanfaatkan Bang Dori yang tengah mencoba usaha baru. Kamu selalu rapat dan rapat."
        "Alasan yang dicari-cari,"gerutu Nayla sambil melihat kembali foto gadis itu.
        "Cantik kan?" katanya sambil menunjukkan foto yang diterimanya secara misterius itu.
        "Tentu saja cantik. Kan perempuan."
        "Lalu, Kamu bangga dikejar perempuan cantik?"
        "Kalau iya kenapa? Kamu kan juga bangga dikejar lelaki."
        "Jawaban nggak lucu. Jawaban yang dicari-cari. Kapan aku begitu?"
        "Aduh, kok nggak nyambung sih? Kamu sibuk rapat. Aku sibuk kerja, lalu kuliah lagi banyak PR. Lalu siapa yang mengerjakan PR-ku?" jawab Ade tak mau disalahkan, setelah ia tersudut karena Nayla memintanya untuk berterus terang, sampai ia datang ke apartemen suaminya tanpa mengabari terlebih dahulu. Kedatangan yang membuat Ade terkejut lalu spontan menegur dengan kata ratuku. Kata-kata yang akhirnya membuatnya mengaku. (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H