Setelah masuk kamar mandi, dari bawah sowher ia berteriak
        "Segera ganti baju, jangan hanya mengenakan tanktop dan hotpans begitu. Kita segera makan di luar."
        Nayla tanpa banyak kata, menuruti sambil membuka lemari pakaian. Disibaknya satu per satu bajunya di gantungan. Ia mencoba mengingat satu per satu letaknya, jangan-jangan...
        "Ada apa termangu? Memang curiga ada yang hilang?" goda Ade sambil memeluknya dari belakang, "Percayalah. Aku aman di sini."
        Sesaat ia merasakan bahwa pelukan suaminya masih seperti dulu. Masih sama seperti awal ia memeluknya dulu. Beberapa tahun yang lalu. Tapi, ucapan ratuku tadi, untuk siapa?Untuk sesaat, amarah menguasai dirinya dan hampir saja ia memberontak melepaskan diri dari pelukan suaminya. Namun tubuhnya seakan lunglai. Yang terasakan kemudian, air mata menghangati sudut-sudut matanya.
        Ade tidak memerhatikan atau memang tidak tahu, ditambah rasa lapar yang menguasai perutnya, ia pun segera menuju pintu. Nayla pun segera mengikutinya dengan rasa marah yang masih menguasai sekujur tubuhnya.
        "Kita jalan kaki saja ya Sayang,"bisik Ade setelah mereka keluar dari lift sambil kembali memeluknya di keremangan senja menuju rumah makan.
        Hmmm...Nayla tidak segera menjawab, hanya mengikuti langkah kaki suaminya. Semakin merasakan bahwa suaminya masih mencintainya, amarah yang dirasakan semakin tidak kunjung mereda. Bahkan amarah itu malah semakin melonjak menguasai kepala memintanya untuk merajuk lebih lama.
        "Kok diam sih?" tanya suaminya sambil memilih tempat duduk di sudut dekat kolam. Tempat yang hanya terisi dua kursi dinaungi dedaunan dilengkapi cahaya lampu yang temaram, lengkaplah suasana romantis yang ditampilkan. Suasana yang mengenangkan pada masa lalu, awal mereka bertemu, andaikan Nayla tidak dikuasai rasa cemburu.
        Sesungguhnya Nayla tidak diam. Sambil menunggu pesanan makanan diantarkan ke tempat mereka berdua, jemarinya sibuk menulis pesan,
        "Mengapa sih Kamu begitu lemah kepada wanita, Mas?"