"Duh, suamiku ngambek deh, Mbak," ia menyampaikan hal yang didengarnya kepada Lala walaupun Lala pun bisa mendengarkan percakapan mereka.
      "Padahal aku sayang banget sama suamiku. Coba ia nggak melarang aku kerja, tentu aku tetap bekerja. Aku nggak tega makan uang hasil kerja kerasnya yang diperoleh dengan bertaruh nyawa," kata Tania dengan ekspresi serius.
      "Bekerja bertaruh nyawa? Sehingga Kamu nggak tega membayangkan bergantung kepada uangnya? Lalu ingin bekerja tapi dilarang? Memang suamimu sopir?" Lala menjawab dengan ekspresi tak kalah serius.
      "Nggak selalu begitu. Namanya kerja kan bertaruh nyawa, terlebih jika suamiku kerjanya bagus lalu dipromosikan naik jabatan. Tentu ada saja yang ingin menjegal. Apakah itu bukan bertaruh nyawa? Tegakah aku membayangkan menikmati uangnya dengan hanya ongkang-ongkang kaki? Tapi ia melarangku memenuhi panggilan kelulusan tes PNS hanya karena ditempatkan di lain provinsi. Saat aku jenuh hanya ongkang-ongkang kaki, aku disuruhnya kuliah. Kini ia malah cemburu pada Ade. Hmm..."
      "Hmm...tapi Kamu jauh lebih beruntung dari nasibku kan? Abangmu itu malah tega memintai uangku, padahal aku wanita dengan postur lebih kecil darinya pula. Ia selalu minta dan minta walau berdalih pinjam. Sedangkan suamimu memenuhi semua kebutuhanmu. Kamu diminta hanya ongkang-ongkang kaki kenapa malah keberatan? Sedangkan Randy mungkin malah senang jika kuminta demikian. Bahkan belum kusuruh sudah ongkang-ongkang kaki si Randy tuh. Hidup ini memang aneh."
      "Aku kuliah pakai uangnya, tapi aku juga diam-diam jualan online lho. Boy nggak tahu. Kalau tahu tentu dilarang. Aku tawarkan contoh daster dan baju-baju untuk ibu-ibu di kampus. Lumayan laris lho,"pamer Tania. (bersambung)
     Â
       Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H