"Iya tuh. Sejak sore tadi sepulang kerja ia ke sini. Sepertinya capek banget,"suara ibu Boy masih lantang terdengar sambil menengok Boy yang seolah telah tertidur pulas,"Setelah mandi, makan, lalu ngobrol di kamar bersama papanya. Kini mereka berdua malah tertidur di kamarku."
      "Kangen masa kecil mungkin, Ma. Ndusel di antara mama dan papanya,"sahut Tania tertawa. Kesedihannya menepi sesaat.
      "Mungkin saja. Sejak dulu kalau ada masalah mesti tidur bertiga di kamarku. Yang sabar menghadapi lelaki ya, Tania. Nggak lelaki muda nggak lelaki tua, semua lelaki adalah bayi gede."
      Tania tertawa lagi sebelum ibu Boy bertanya secara bersungguh-sungguh,
      "Sebetulnya ada masalah apa sih Kalian?"
      "Nggak tahu. Ma. Tadi pagi saat berangkat kerja ia nggak terlihat kalau menyimpan marah padaku tuh." Tania keheranan karena ia tidak merasa melakukan kesalahan.
      "Di kampus Kamu punya teman lelaki?" ibu Boy bertanya lagi.
      "Tentu saja, Ma. Banyak. Teman sekelompok ada dua orang," jawab Tania dengan polosnya, belum menyadari apa sesungguhnya yang terjadi.
      "Memang di antara teman sekelompokmu, ada yang lebih dekat denganmu?" ibu Boy masih bertanya lagi dengan santai.
      Tania baru menyadari yang terjadi. Ia pun tertawa tanpa mengerti bahwa Boy sebenarnya cemburu pada Ade.
      "Ada, Ma. Namanya Ade. Tiga hari yang lalu mama nanya hal itu padaku. Sekarang nanya lagi. Apakah Boy marah, Ma? Mengapa ia nggak bertanya padaku?" jawab Tania sambil mengernyitkan kening. Ia merasa selama ini Boy tidak pernah membahas hal itu kepadanya. Ia bahkan akan bercerita mengenai ajakan Ade untuk berfoto bersama bulan depan jika isterinya datang menengoknya.