"Ia kan lelaki, Tania. Mana mau menunjukkan kecemburuannya? Lain dengan kita kaum wanita. Kalau cemburu malah ditampakkan sekalian ngambek. Jika suami atau pacar sudah berlagak minta maaf, kita pun puas dan menyudahi ngambek. Lelaki mana mau begitu? Harga diri mereka terlalu tinggi untuk menunjukkan kecemburuan. Lalu nggak pulanglah solusinya."
      "Tapi, Ma,"sela Tania,"Boy mana tahu kalau tidak kuberitahu...
      "Itu artinya, ada orang lain yang memberitahu. Yang memata-matai kedekatan Kalian."
      "Siapa kira-kira? Yang tahu masalah Ade hanya teman sekelompok kami." Tania mencoba mengingat wajah teman sekelompoknya satu per satu.
      "Boy pun tahu hal itu. ia menganggap Ade terlalu buru-buru melibatkan Kamu dalam masalahnya. Masalah yang diciptakan sendiri seharusnya ia bisa mengatasi sendiri, tanpa melibatkan Kamu. Bahkan kemarin diajari Widuri cara menangkis orang yang baper," suara Ibu Boy terdengar menahan tawa.
      "Hah, ada caranya, Ma?"tania bertanya," Bagaimana caranya? Nanti akan kusampaikan pada Ade."
      "Caranya? Dimintai pulsa katanya. Kalau mau rutin ngirim pulsa berarti ia cinta."
      "Wah...wah...janganlah. Si cewek masih belum kerja Ma. Malah dimintai pulsa. Gimana sih? Hehehe." Tania tertawa geli membayangkan ide Widuri yang tak akan disampaikan kepada Ade.
      Di sebelahnya ada Lala. Ia tiba-tiba teringat Randy, kakaknya yang sering meminta uang pulsa kepada Lala. Semula uang pulsa, lalu uang bensin, berlanjut uang makan. Semuanya berdalih pinjam tapi tak dikembalikan. Sungguh, ia belum kenal betul karakter Ade yang sesungguhnya. Selugu Boy ataukah sejahil Randy? Hidupnya terasakan dikelilingi tiga lelaki dengan karakter berbeda.
      "Tapi mengapa Boy segitunya marah, Ma?" Tania bertanya lagi dengan sangat keheranan.
Ia memberi isyarat agar Lala membatalkan niatnya untuk pulang tatkala melihat Lala berdiri dari kursi kemudian melangkah menuju kamar mandi.