"Perempuan yang diejek itu tidak marah, Oom?"
"Bagaimana bisa marah? Ia kan nggak dengar ejekan itu," pak Wira tertawa sambil melemparkan pandangan ke arah taman yang ditumbuhi beberapa palem botol.
"Walaupun mirip palem botol, tapi menarik Boy. Orangnya tampak tak acuh yang membuat aku malah penasaran ingin memburunya."
"Masa sampai sekarang masih suka menjadi hunter, Oom?"
"Tidak. Anakku sudah banyak. Semuanya ada enam termasuk Tania dan Rendy. Mereka butuh biaya kan? Lagipula aku sudah merasa tua. Sudah capek."
"Oom betah tinggal di rumah isteri yang mana?" desak Boy yang penasaran karena pak Wira jarang pulang ke rumah yang sekompleks dengannya.
"Tentu yang bikin aku bisa istirahat dari omelan dan tuntutan Boy," jawabnya sambil mulai menikmati hidangan yang baru saja disajikan.
"Yang paling cantik tentunya, Oom?" goda Boy. Ia belum pernah berpapasan dengan isteri pak Wira yang tinggal di perumahannya. Anaknya dua, masih SMA. Seingat Boy, wanita itu bertubuh tinggi dan  besar. Itu pun dilihatnya sekilas saat ada arisan ibu-ibu PKK di rumahnya.
"Ibu yang sekompleks denganku itu yang dulunya peragawati, Oom?"
"Bukan. Peragawati yang dulu itu kabur, disaut orang."
"Walah Oom, kayak jemuran saja, disaut," jawab Boy tertawa geli.