"Bisa juga. Ada mulut yang terbuka dan ada botol pula. Mungkin yang terbayang sesuatu yang sensasional, lalu terbayang-bayang," Pak Wira tertawa kemudian meneruskan cerita,
"Setelah aku banyak uang, seleraku saat itu berubah, Boy. Ingin menunjukkan eksistensi diri, ingin pamer. Aku pun memburu peragawati. Ina marah. Hartaku diobrak-abrik dan kedua anakku dibawa lari. Hehehe."
"Bagaimana rasanya bisa pamer isteri yang kecantikannya sesuai dengan selera massa, Oom?"
"Senang dan bangga sih. Apalagi jika ada yang memuji kalau isteriku cantik. Wah...aku jadi rajin datang ke pesta-pesta, mengajaknya makan-makan dan jalan-jalan ke luar. Memintanya mengenakan busana yang makin menunjukkan keindahan fisiknya dan dengan bangga aku menggandengnya. Siapa sih yang tidak bangga?"
"Tapi, untuk getaran, untuk keinginan mendekati lalu bermesraan, adakalanya tidak terbatas pada yang cantik. Aku pernah penasaran pada wanita yang pantat dan pahanya tampak besar saat memakai celana panjang. Kukejar dia."
"Orangnya mau?"
"Belum sampai memburu, ketahuan ia isteri orang. Nggak jadi deh. Isteriku pun menangkap basah aku sering-sering meliriknya. ...
"Wah, seru dong Oom. Marah nggak tante Ina?"
"Bukan Ina. Isteriku yang kedua, yang bodinya seperti peragawati itu."
"Bagaimana isi marahnya Oom?"
"Hmm...sudah bisa tertebak. Ia mengejek sinis pada postur tubuh wanita itu, yang dikatai seperti palem botol. Semakin ia diejek aku semakin suka. Ada konflik batin antara kagum dan kesal karena kesombongannya. Aneh sih, sesekali malah ilfil jadinya. Terlebih jika ia merasa cantik lalu menuntut pemberian yang lebih dan lebih. Jika sudah demikian, si bodi palem botol malah membayang. Andaikan ia bukan isteri orang. Hehehe."