"Tapi ada hal yang istimewa dari papamu, Boy. Orangnya jujur. Benar-benar ingin berjalan lurus," Pak Wira mengenang kembali kemalangan temannya itu dalam mencoba mengais rezeki sebagai pebisnis,
"Beberapa Ia kali tertipu dalam upaya berbisnis. Hahaha... Tapi ia suami yang baik. Suami yang setia dan menghargai isteri. Makanya Boy,"lanjutnya setelah meneguk segelas air minum kemasan,
"Sejujurnya aku ingin Kamu tumbuh sebagai lelaki yang taat etika dan aturan serta jujur seperti papamu. Orangnya humanis dan empatik. Sebagai suami juga setia. Tapi aku nggak ingin Tania menderita diajak hidup pas-pasan seperti mamamu. Aku bersiap membekalinya dengan rumah dan mobil. Jika kelak Kamu mengizinkannya bekerja di luar rumah, syukurlah. Jika ia ada ide untuk bersibuk dari dalam rumah, itu juga upaya baik karena semakin banyak rezeki, semakin banyak kita bisa berbuat baik kepada sesama, bukan?"
Pak Wira menghela napas sebelum melanjutkan ucapannya. Akhir-akhir ini ia sering merasa kurang sehat. Pola makannya sejak muda sampai kepala lima tidak pernah berubah. Beliau tidak pernah berusaha untuk diet, mengurangi makan daging merah, misalnya. Oleh karena itu, kadar gula darah yang naik turun, tekanan darah dan kolesterol yang semakin meninggi, asam urat pun tak surut dalam menyambangi, membuatnya sering tidak enak badan.
Akan tetapi, harapan untuk bisa menyenangkan Tania dengan cara menikahkannya, memberinya materi yang dianggapnya akan membuatnya senang, sekaligus memberi uang saku, uang kuliah, dan kebutuhan remaja lainnya, membuatnya bergembira.
Tania, anak perempuannya yang lucu. Kini telah tumbuh menuju dewasa. Ia sangat bersyukur ada kesempatan untuk menemuinya, untuk menikahkannya kelak. Andaikan ia mati pun, mungkin ia akan hadir ke dalam mimpi anaknya itu, sekadar mengatakan bahwa ia adalah ayahnya.
"Jika ia sudah merasa kelelahan dengan peran sebagai ibu rumah tangga tanpa kesibukan apa pun, setidaknya ia telah kubekali dengan impian semua wanita. Lagipula, agar ia senang dan berharga di hadapanmu," Pak Wira kembali menepuk bahu Boy,
"Jangan salah paham, Boy. Semua itu kulakukan demi kebahagiaan dan harga diri anakku, bukan menyuap Kamu."
"Tentulah Oom. Terimakasih banyak. Semoga Tania mau kepadaku akhirnya. Saya pun bisa ringan ini, bisa konsentrasi membiayai kedua adik saya. Kasihan mama."
"Rezeki sudah diatur oleh Yang Kuasa. Jika Kalian berjodoh, saya juga tak ingin Tania merampas keinginanmu untuk menyenangkan orangtuamu. Minimal, satu langkah yang harus Kalian lewati dalam hidup, harus berhemat demi keinginan memiliki kebutuhan primer era modern, sudah terpenuhi. Kamu bisa mengalihkan  dana untuk kebutuhan lain yang juga tak kalah penting bagi lelaki."
Kebutuhan penting bagi lelaki yang bagaimana nih Oom? Kawin lagi? Tapi pertanyaan itu hanya lintasan kegelian yang menggelitik lidahnya. Ucapan yang segera ditelan dan dibatalkan begitu saja, mengingat ucapan itu walaupun bergurau, tentu sangat menyakitkan bagi seorang ayah, yang play boy sekaliber pak Wira pun.Â