Kutatap wajah di depanku dengan perasaan simpang siur, antara bangga mampu meraih hati primadona kampus sekaligus cemas ia akan sangat kecewa andai tahu fakta sesungguhnya tentang diriku. Kuikuti dengan mataku setiap geraknya yang manja, lincah, dan seolah sangat percaya sekaligus bergantung kepadaku.Â
Rambutnya berombak sebahu agak ikal membingkai wajahnya yang tirus berpadu dengan kulit langsat. Adakalanya ia tampil bak boneka barby, tapi tak jarang ia tampil tomboy, bahkan cenderung semaunya manakala tugas-tugas di kampus sedemikian menyita waktunya. Sebagai sesama aktivis kampus, kami memang dekat. Pada awalnya sebagai teman bersibuk, tapi kian lama kian terasakan bahwa ia sesungguhnya mulai bergantung kepadaku, mulai memercayakan dirinya kepadaku dengan segenap positive  thinking yang dimiliki.
       Aku merasa bukan tipe pria penggoda, bahkan cenderung bersikap cuek. Sikap yang baru kutahu bahwa hal itu sesungguhnya yang memberi "pesona" lebih bagi diriku, menurut isteriku. Aku tersentak dari lamunan tatkala ia sudah menghabiskan jus dan beranjak dari tempat duduknya kemudian buru-buru ke kasir dan membayar semuanya.
      "Kenapa harus Kamu lagi yang membayar? Gantian donk." Tapi ia yang selalu tampak cantik dalam kondisi apapun, hanya tertawa manja,
      "Kenapa? Nggak mau ya?"
      "Bukan begitu..." aku tidak meneruskan ucapanku karena di depan teman- teman sudah mendekat dan menggoda,
      "Asyik...." ia tersipu malu sedangkan aku merasakan hal yang tidak nyaman di hati. Tiba-tiba ia sudah duduk di sebelahku, menyandarkan kepala di bahuku ketika kami telah mengerjakan tugas kelompok senja itu. Teman-teman tidak lagi menggoda bahkan menganggap kami benar- benar pacaran, sehingga mereka berusaha tidak melihat ke arah kami.
Kubiarkan sesaat cara-caranya, bukan demi kebanggaan, juga bukan terhanyut kepada ulahnya, tapi lebih banyak demi menjaga perasaannya. Akhirnya, setelah menyadari aku tidak bereaksi selain hanya diam, ia pun menatapku sekilas, kemudian mengangkat kepala dari bahuku dengan ekspresi kesal.
      "Kenapa? Marah ya?" spontan saja tanya itu meluncur dari bibirku sambil menatap tepat kedua bola matanya yang tampak berkaca-kaca. Entah mengapa, tiba-tiba aku merasa iba dan spontan begitu saja, kupeluk dia. Ia segera menyusupkan kepala ke dadaku, membuatku terpaksa merasakan bau shampo dari rambutnya yang baru keramas. Tapi hanya sampai di situ yang kulakukan, selebihnya, kubiarkan dia tetap merebahkan kepala di dadaku tanpa merasakan belaian tanganku di rambutnya, sesuatu yang mungkin sangat diharapkannya.
Sungguh, bukan aku cemas ketahuan istriku. Andaikan ia tahu, bisa kupastikan ia tidak akan marah. Bukan karena ia tidak pencemburu karena seperti umumnya wanita, ia juga pencemburu.
Aku bertemu dengannya sepuluh tahun yang lalu, ketika aku iseng saja mengikuti lomba fashion show. Ia yang satu di antara para juri itu, tampak anggun di balik setelan celana panjang dan blazer sepinggang yang membungkus tubuhnya. Di balik keanggunan busananya, sulit disembunyikan betapa sesungguhnya tubuhnya sensual. Dada membusung walau terlindungi blazer, wajah baby face pula, lagipula postur tubuhnya yang tampak mungil bagi ukuran tubuhku, membuatku berani mendekat sekadar bertanya hasil penilaian, saat kami berpapasan.
      "Kamu kenapa nguntit juri itu?" goda temanku sesama peserta lomba.
      "Iseng aja nanya kira-kira aku lolos gak?"
      "Whalah, Kamu kan gak  serius ikut lomba ini."
      "Tapi mental juara tetap saja ada keinginan..."kilahku.
      "Stt...gaet aja dia. Berani nggak? Ia lajang kok,"tiba-tiba seorang juri yang lain, menimpali percakapan kami.
      "Ayoo, tembak aja," teman yang lain mengompori.
      "Taruhan deh, kalau ia mau sama brondong. Kita lihat saja nanti."
Aku pun akhirnya berhasil mendekatinya setelah acara selesai. Seminggu kemudian, aku meluncur ke kantornya. Keinginan yang menyeruak begitu saja. Kerinduan, keinginan membuktikan taruhan teman-teman, cinta, ataukah penasaran saja? Entahlah. Yang pasti, aku telah tiba di kantornya. Di sebuah sekolah kepribadian dan ia direkturnya ternyata.
      "Wah, gak nyangka Kamu ternyata masih SMA," komentarnya sambil menyilakan aku minum ketika sudah duduk di ruang tamunya.Ia mengenakan celana jin dan t-shirt merah seolah bersiap-siap akan pergi entah ke salon atau renang atau ke manalah, yang pasti ia akan keluar kantor.
      "Aku juga nggak nyangka, Mbak direktur sekolah ini. Kukira masih mahasiswa," jawabku sekenanya. Entah mengapa, aku jadi salah tingkah. Padahal sebelum bertemu dia, aku meluncurkan motor dengan santai dan perasaan iseng saja sekadar bertemu dirinya.
      Tapi ia segera mengajak bergurau begitu melihat wajahku mungkin memerah karena salah tingkah.
      "Gak apa deh. Emang umurmu berapa?" dan spontan ia tertawa walau tidak terbahak saat kujawab, umurku 16 tahun.
      "Tapi Kamu keren lho. I like it. Senang bisa jalan-jalan dengan Kamu. Tapi gimana kalau dianggap kasus, karena jalan bareng dengan anak-anak di bawah umur?" ia tertawa lagi dan aku ikut tertawa. Terbahak malah.
      "Ya lain dong, Mbak. Aku kan laki-laki. Andai aku cewek, mungkin dianggap kasus kalau orang tuanya tidak setuju, karena dalam hal asmara, wanitalah yang dirugikan. Termasuk jalan bareng anak-anak di bawah umur maupun sudah berumur. Kalau iseng, wanita juga yang dirugikan,"jawabku sekenanya lagi sekadar mencairkan suasana.
      Akhirnya sore itu kutemani dia jalan-jalan. Semula ia berencana ke salon yang akhirnya dibatalkannya. Lagipula rambutnya yang potongan shaggy sebahu masih terlihat rapi membingkai wajahnya.
      "Kubonceng ya,"
Tapi ia yang malu-malu, entah malu jalan bareng dengan ABG atau takut ketahuan teman-temannya atau mungkin pacarnya, menolak dan memintaku masuk ke mobilnya. Akhirnya ia sesekali mengajakku jalan-jalan, bahkan lama-lama menjadi sering. Aku pun senang saja menemaninya, bahkan ada kerinduan saat tidak mendengar kabarnya. Ada salah tingkah saat berdekatan dengannya, membuatku memarahi diri sendiri agar teringat pada niat semula, sekadar membuktikan taruhan kepada teman-teman, bahwa aku sang brondong bisa menaklukkan direktur sekolah kepribadian itu.
      "Apapun niatmu, enjoy saja. Kita kan bisa beroleh manfaat dari situasi ini," itulah yang dikatakannya seolah mampu membaca gejolak di hatiku.
Tapi, betulkah kerinduan, salah tingkah, juga gairah yang menjalari tubuhku saat berdekatan dengannya, hanyalah semata ingin membuktikan bahwa aku memang bermental juara? Aku kadangkala tidak dapat menjawab pertanyaan yang gencar bergolak di antara kedua sisi hatiku. Konflik batin yang sesekali saja menyerang. Selebihnya, aku bersikap santai saja, agar ia tidak merasa bahwa sesungguhnya ia kami jadikan bahan taruhan, bak Drupadi yang dipertaruhkan oleh para Pandawa kepada Kurawa saat keduanya bermain dadu.
Entah ia tahu atau tidak, merasa atau tidak, tapi ia tetap baik kepadaku, bahkan makin sering memintaku menemaninya pada acara tertentu. Adakalanya ia juga bermanja kepadaku, misalnya tiba-tiba saja menyandarkan kepala di bahuku sambil membuka-buka bacaan tanpa perasaan bersalah. Mungkin bersalah kepada pacarnya.
      "Kenapa selalu mengajakku? Memang pacar Mbak di mana? Atau jangan-jangan Mbak sudah bersuami dan lagi tinggal berjauhan? Wah, bisa bonyok aku ntar dihajar orang kalau sering-sering jalan dengan isteri orang,"godaku yang jelas tahu kalau ia lajang. Tapi ia punya pacar atau tidak? Itu yang aku tidak tahu.
Ia tertawa mendengar pertanyaanku tanpa mengangkat kepala dari bahuku sambil masih asyik membuka-buka bukunya, membuatku sedikit gemas ingin memeluknya tapi kutahan.
      "Pacarku statusnya meragukan. Ia dalam proses cerai dengan istrinya atau punya istri. Gak jelas banget. Ribet deh. Mending dekat sama Kamu saja, jelas statusnya."
      "Wew,"kilahku.
      "Kenapa? Nggak suka?"
      "Gak apa sih."
Tiba-tiba di awal aku memasuki perkuliahan, ia mengajakku merayakan peristiwa itu dengan makan di luar. Dalam temaram cahaya lilin dipadu dengan sinar bulan yang menerobos dari celah dedaunan, aku yang terbawa suasana romantis, mencium pipinya dan berkata iseng saja,"Nikah yuk."
      Di luar dugaanku, ia menjawab,"Ayo."
      Hari-hari pun kami lewati tanpa masalah yang berujung konflik. Tradisi patriarki yang berlaku di sekitar kami pun cuma berkomentar,
      "Enak Kamu, ntar bisa punya istri lagi kalau sudah mandiri." Ia pun tidak pernah emosi mendengar suara-suara sumbang tersebut.
      "Kita jalani saja hidup ini dengan rasa syukur. Kita nikmati saja setiap detik yang kita miliki," begitulah yang dikatakannya jika aku menjadi iba saat ada suara-suara sumbang tentang perbedaan usia kami, padahal ia santai saja mendengarnya.
      "Seperti proses perasaan cintamu kepadaku yang terasa alami, kelak jika kamu merasakan hal yang sama terhadap wanita sebayamu, jalani saja. Biarkan aku sendiri, itu bukan masalah bagiku. Karena aku sayang Kamu,"katanya sambil menciumku, duduk di pangkuanku. Suatu kebiasaan yang sulit dia tinggalkan dan sulit kulupakan.
      "Aku tidak berniat..."
      "Tidak usah berniat mendua. Biarlah Tuhan yang membolak-balik hati manusia. Kita tinggal menjalaninya."jawabnya.
Malam kian larut. Kami pun bersiap pulang. Kuantar dia sampai ke rumahnya. Istriku belum tertidur saat aku pulang. Seperti biasa, ia bertanya tanpa nada marah. Ia memang hampir tidak pernah marah.
      "Kok malam banget? Sudah makan malam?"
Sudah tadi di kantor jawabku. Setelah lulus S1, aku memang bekerja sambil kuliah S2 di sore hari, yang membuatku bertemu dengan si barby Dillya.
Dalam dingin malam itu, begitu saja kupeluk dirinya. Bukan merasa bersalah, bukan pula karena takut ketahuan jika aku tanpa sengaja telah membuat Dillya bergantung kepadaku. Aku hanya merasa, begitu banyak yang suka kepadanya saat itu walau kebanyakan pria-pria beristeri yang tentunya juga sudah mapan secara finansial seperti dirinya. Ia wanita pula yang tidak dilarang dimadu, tapi ia memilihku. Begitu saja kami merasa dekat dan begitu saja kami jalani hari-hari tanpa terasa sudah 10 tahun, tanpa kurasakan perubahan yang berarti pada dirinya.
      "Kenapa? Ingin bercerita tentang Dillya? Aku baca DM-nya. Kamu suka? Kali aja bisa punya anak dengan dia?" Ia bertanya sambil memencet hidungku, menciumku.
      "Kenapa? Ingin bebas jalani hidup tanpa suami? Ingin kluyuran ke luar negeri? Atau ingin nikah dengan mantan-mantanmu dulu? Banyak anak telantar yang masih membutuhkan perhatian kita."jawabku kembali memeluknya.
                       Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H