Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Memilih Setia

19 Juni 2020   06:40 Diperbarui: 19 Juni 2020   07:15 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            "Gak apa deh. Emang umurmu berapa?" dan spontan ia tertawa walau tidak terbahak saat kujawab, umurku 16 tahun.

            "Tapi Kamu keren lho. I like it. Senang bisa jalan-jalan dengan Kamu. Tapi gimana kalau dianggap kasus, karena jalan bareng dengan anak-anak di bawah umur?" ia tertawa lagi dan aku ikut tertawa. Terbahak malah.

            "Ya lain dong, Mbak. Aku kan laki-laki. Andai aku cewek, mungkin dianggap kasus kalau orang tuanya tidak setuju, karena dalam hal asmara, wanitalah yang dirugikan. Termasuk jalan bareng anak-anak di bawah umur maupun sudah berumur. Kalau iseng, wanita juga yang dirugikan,"jawabku sekenanya lagi sekadar mencairkan suasana.

            Akhirnya sore itu kutemani dia jalan-jalan. Semula ia berencana ke salon yang akhirnya dibatalkannya. Lagipula rambutnya yang potongan shaggy sebahu masih terlihat rapi membingkai wajahnya.

            "Kubonceng ya,"

Tapi ia yang malu-malu, entah malu jalan bareng dengan ABG atau takut ketahuan teman-temannya atau mungkin pacarnya, menolak dan memintaku masuk ke mobilnya. Akhirnya ia sesekali mengajakku jalan-jalan, bahkan lama-lama menjadi sering. Aku pun senang saja menemaninya, bahkan ada kerinduan saat tidak mendengar kabarnya. Ada salah tingkah saat berdekatan dengannya, membuatku memarahi diri sendiri agar teringat pada niat semula, sekadar membuktikan taruhan kepada teman-teman, bahwa aku sang brondong bisa menaklukkan direktur sekolah kepribadian itu.

            "Apapun niatmu, enjoy saja. Kita kan bisa beroleh manfaat dari situasi ini," itulah yang dikatakannya seolah mampu membaca gejolak di hatiku.

Tapi, betulkah kerinduan, salah tingkah, juga gairah yang menjalari tubuhku saat berdekatan dengannya, hanyalah semata ingin membuktikan bahwa aku memang bermental juara? Aku kadangkala tidak dapat menjawab pertanyaan yang gencar bergolak di antara kedua sisi hatiku. Konflik batin yang sesekali saja menyerang. Selebihnya, aku bersikap santai saja, agar ia tidak merasa bahwa sesungguhnya ia kami jadikan bahan taruhan, bak Drupadi yang dipertaruhkan oleh para Pandawa kepada Kurawa saat keduanya bermain dadu.

Entah ia tahu atau tidak, merasa atau tidak, tapi ia tetap baik kepadaku, bahkan makin sering memintaku menemaninya pada acara tertentu. Adakalanya ia juga bermanja kepadaku, misalnya tiba-tiba saja menyandarkan kepala di bahuku sambil membuka-buka bacaan tanpa perasaan bersalah. Mungkin bersalah kepada pacarnya.

            "Kenapa selalu mengajakku? Memang pacar Mbak di mana? Atau jangan-jangan Mbak sudah bersuami dan lagi tinggal berjauhan? Wah, bisa bonyok aku ntar dihajar orang kalau sering-sering jalan dengan isteri orang,"godaku yang jelas tahu kalau ia lajang. Tapi ia punya pacar atau tidak? Itu yang aku tidak tahu.

Ia tertawa mendengar pertanyaanku tanpa mengangkat kepala dari bahuku sambil masih asyik membuka-buka bukunya, membuatku sedikit gemas ingin memeluknya tapi kutahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun