"Pacarku statusnya meragukan. Ia dalam proses cerai dengan istrinya atau punya istri. Gak jelas banget. Ribet deh. Mending dekat sama Kamu saja, jelas statusnya."
      "Wew,"kilahku.
      "Kenapa? Nggak suka?"
      "Gak apa sih."
Tiba-tiba di awal aku memasuki perkuliahan, ia mengajakku merayakan peristiwa itu dengan makan di luar. Dalam temaram cahaya lilin dipadu dengan sinar bulan yang menerobos dari celah dedaunan, aku yang terbawa suasana romantis, mencium pipinya dan berkata iseng saja,"Nikah yuk."
      Di luar dugaanku, ia menjawab,"Ayo."
      Hari-hari pun kami lewati tanpa masalah yang berujung konflik. Tradisi patriarki yang berlaku di sekitar kami pun cuma berkomentar,
      "Enak Kamu, ntar bisa punya istri lagi kalau sudah mandiri." Ia pun tidak pernah emosi mendengar suara-suara sumbang tersebut.
      "Kita jalani saja hidup ini dengan rasa syukur. Kita nikmati saja setiap detik yang kita miliki," begitulah yang dikatakannya jika aku menjadi iba saat ada suara-suara sumbang tentang perbedaan usia kami, padahal ia santai saja mendengarnya.
      "Seperti proses perasaan cintamu kepadaku yang terasa alami, kelak jika kamu merasakan hal yang sama terhadap wanita sebayamu, jalani saja. Biarkan aku sendiri, itu bukan masalah bagiku. Karena aku sayang Kamu,"katanya sambil menciumku, duduk di pangkuanku. Suatu kebiasaan yang sulit dia tinggalkan dan sulit kulupakan.
      "Aku tidak berniat..."