Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Tantrum

14 Juni 2020   16:32 Diperbarui: 14 Juni 2020   16:29 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia terdiam hanya menyunggingkan senyum tipis. Kembali ia teringat Nia. Bagaimana cara menceritakan ulah Nia yang mencurigainya lalu iri dengkinya muncul atau iri dengkinyalah yang menyulut kecurigaannya? Ah, itu tak penting. Yang dipikirkannya hanyalah, betapa konflik batin tersebut telah menggerogoti waktu Nia. Ia seringkali tampak malas belajar dan sering bangun kesiangan. Haruskah Nia dibawa ke psikolog?

"Di mana Nia?"suaminya bertanya sambil mengarahkan pandangan ke ruang tengah.

"Mungkin di kamar,"jawabnya mengiringi langkah suaminya.

"Tak kusangka, ia tumbuh menjadi gadis yang agak pemalas. Sejak kecil almarhumah ibunya tidak pernah memintanya membantu membereskan pekerjaan rumah. Seminggu yang lalu ia minta motornya diganti baru. Kukatakan, baiklah, asalkan ia mau bersibuk bersamamu dan adiknya untuk membereskan pekerjaan rumah."

"Bukankah ada uang pensiun mama?" ia berkilah.

"Tapi uang pensiun tersebut kugunakan untuk menggaji orang yang membereskan rumah." jawab suaminya lalu terdiam. Ia tidak mungkin mencerikan bahwa Nia mengatainya sebagai ibu tiri pemalas, tidak mau membereskan pekerjaan rumah tidak seperti almarhumah mamanya. Andaikan ibu tirinya tidak pemalas, papanya tentu dapat segera menurutinya membelikan motor baru tanpa syarat harus membantu membereskan urusan rumah segala.

Lelaki itu menghela napas. Ia duduk di meja makan menikmati teh hangat yang disuguhkan Kirana. Betapa ia merasa mendapat cobaan berat. Jika harus jujur, ia kecewa karena Kirana dan Nia, anak gadisnya, memiliki kesamaan. Sama-sama dibelenggu kemalasan. Nia yang masih remaja, bisa jadi, hanyalah anak manja. Ia belum tentu tidak serajin almarhumah mamanya jika kelak menikah dengan lelaki yang dicintainya; yang mengajaknya hidup jujur walaupun untuk itu ia harus bekerja keras.

 Akan tetapi, bagaimana dengan Kirana? Semestinya ia mengerti dan memahami, bahwa keuangan harus dihemat demi anak-anak. Untuk itu seharusnya Kirana mau turun tangan membereskan urusan rumah. Tidak cintakah Kirana kepadanya? Ia menyadari hal itu. Sesadar cintanya yang sebetulnya telah terkubur bersama almarhumah isterinya. Lalu, untuk apa ia menikah? Karena suara sekitarnya menyuruhnya segera menikahi Kirana. Seorang perawan tua yang membutuhkan suami setelah patah hati ditinggal kekasihnya. Ternyata, Kirana tidak total menjalani peran sebagai isteri. Kebersamaan semu, walaupun sekitar mengatakan mereka serasi. Akan tetapi, hidup untuk dinikmati secara pribadi, bukan untuk menangguk puji. Pujian yang bisa saja melenakan, bahkan menghancurkan.

Kini, ia merasa terlanda beban. Pundaknya seakan terbebani ulah Kirana di sisi kiri dan ulah Nia di sisi kanannya. Keduanya seakan tidak mau tahu, seakan tidak peduli, bahwa solusi masalah mereka hanyalah kekompakan keduanya untuk membereskan urusan rumah.

Kirana dan Nia sama-sama seolah tidak mau tahu. Kirana selalu memunculkan sindiran berwujud  dugaan bahwa watak Nia yang iri dengki harus diterapi. Nia selalu mendengungkan tuduhan bahwa ibu tirinya ternyata seorang wanita pemalas yang menikahi papanya demi status, tanpa mau bersentuhan dengan urusan rumah dan dapur seperti mamanya.

Ia menghela napas. Diraihnya foto isterinya di dinding. Ia pun duduk sambil menatap foto itu, mengajaknya bicara. Katakan sesuatu. Salahkah aku? Salahkah menjadi pahlawan kesiangan bagi seorang gadis pekerja yang ternyata masih menikmati patah hatinya? Kukira uluran tanganku membuatnya mau mengerti kondisi psikologis anak-anak kita. Ternyata ia hanya menggoreskan luka bagi Nia, membuat Nia menjadi semakin pemalas. Salahmu juga sih, mengapa dulu Nia kaubiarkan bermalasan?  Kini, ia tidak mau mengerti betapa papanya membutuhkan isteri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun