Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Tantrum

14 Juni 2020   16:32 Diperbarui: 14 Juni 2020   16:29 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perubahan keputusan yang menyakiti hati anak gadisnya, membuatnya seolah tantrum jika teringat papanya tidak segera memenuhi permintaannya untuk memiliki motor baru. Semua itu karena keberadaan ibu tirinya.

Kirana masih termenung. Tiba-tiba ia teringat seorang muridnya saat ia mengajar di STM. Suatu sore, seorang lelaki berpakaian tentara mengetuk pintu rumahnya. Gaya anak muda atau karena ia bukan pria Jawa seperti dirinya, betapa terkejutnya manakala tamu tersebut menegurnya dengan ucapan

"Kirana, tidak tahukah Kamu, aku suka padamu sejak dulu. Kini, aku sudah bekerja. Lihatlah, sudah pantas bukan aku menjadi suamimu?"ujarnya riang sambil membuka baretnya.

Ia  tidak menjawab. Saat itu tahun kesembilan patah hatinya. Maka, tanpa mempersilakan tamunya duduk, ia seolah kerasukan dan marah,

"Aku kan gurumu. Bagaimana mungkin Kamu suka padaku?"

"Tapi itu kan dulu. percayalah, aku cinta padamu,"jawab si lelaki dengan logat luar jawanya yang asing di telinga Kirana.

"Pergilah. Aku tidak mau,"jawabnya tegar seolah ia akan tabah hidup menyendiri selamanya berteman luka jiwa.

Pada tahun kesebelas, ia tidak tahan lagi mendengar aneka gunjingan. Belum lagi kesedihan ibunya melihatnya tetap melajang. Kesedihan tanpa keluhan tapi cukup membuatnya seolah akan menjadi anak durhaka jika tidak segera menuruti keinginan ibunya untuk menikah.

"Terimalah. Perwira, sebaya denganmu, duda ada dua anak. Kelak, jika kamu tidak bisa melahirkan anak, tidak ada masalah, bukan?"

Tiba-tiba bayangan mantan muridnya dua tahun lalu, yang mengetuk jendelanya karena ia menutup pintu, terlintas lagi. Air matanya berlinangan. Betapa keras kemauannya, padahal ia tidak tahu, aku menolaknya karena aku cemas tidak sanggup memberinya anak. Aku cemas melukai. Cemas melukai atau terluka? Semua serba tidak jelas. Ditunjang dengan opini sekitar tentang ketidaklaziman wanita menikah dengan lelaki muda, lengkaplah ketegarannya dalam menutup pintu hati dan rumahnya untuk tekat lelaki muda itu.

Lelaki muda yang belum tentu tidak memiliki keabadian cinta. Keabadian cinta yang tidak lagi dipercaya setelah pacarnya meninggalkannya. Pacarnya yang meninggalkannya pun belum tentu tidak memiliki keabadian cinta untuk wanita lainnya. Semua orang bisa saja memiliki keabadian cinta. Hanya saja, untuk siapa cinta abadi itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun