Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Tantrum

14 Juni 2020   16:32 Diperbarui: 14 Juni 2020   16:29 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kirana kembali termenung setelah anak tirinya berlalu meninggalkannya. Hujan masih saja menancapkan kaki-kakinya ke bumi. Ketajaman yang sanggup menggoreskan luka di hatinya karena protes anak tirinya. Kaki hujan seolah setajam luka yang digoreskannya kepada mantan muridnya yang datang menemuinya setelah memperoleh pekerjaan, tapi dimintanya kembali pulang padahal di luar hujan sedang tercurah seperti senja ini. Senja saat ia termenung di depan jendela dalam balutan deras hujan.

Salahkah Nia? Tentu tidak. Akan tetapi, ia pun tidak menyalahkan keputusan suaminya untuk menggaji orang mengurusi urusan rumah tangga. Selain ia tidak pernah melakukannya, ia pun enggan berperan ibarat pembantu bagi kedua anak tirinya. Pekerjaannya pun menyita waktunya dari pagi, sedangkan menganggarkan gajinya untuk itu, ia tidak sanggup karena masih memiliki tanggungan mencicil rumah KPR BTN yang belum lunas. Rumah yang tidak lagi ditempati, tapi bukankah ia pun berhak memiliki investasi daripada berlomba berebut harta warisan dengan anak tiri?

"Kurasa, Kak Nia terlalu perhitungan ya Tante. Harusnya ia kan mengajak tante berunding untuk berbagi tugas rumah. ia membantu mengerjakan apa, aku juga mau membantu. Bukan malah marah-marah melulu, lalu mengancam akan minggat segala. Itu karena ia tidak rela uang pensiun mama terpakai."

Kirana tidak segera menjawab. Betapa berat beban yang mengganggu pikirannya. Ia sangat ingin menyetujui pendapat anak lelakinya itu. Anak tirinya yang mencoba memahaminya dengan cara menyalahkan kakaknya.

"Ulah mana  yang membuatmu kesal?" tiba-tiba meluncur begitu saja pertanyaan tersebut,

"Kak Nia mengancam akan minggat jika tidak dibelikan motor baru."

"Mengapa ia minta motor baru?"

"Karena ia tahu, uang pensiun mama diterima papa."

"Betul. Uang pensiun itu digunakan untuk membayar orang yang membereskan rumah dan memasak, bukan? Ia tahu itu,"jawab Kirana.

"Tapi, ia tidak mau berdamai dengan Tante, untuk mengerjakan pekerjaan rumah bersama-sama, barangkali beban menjadi ringan, lalu papa bisa membelikan motor baru? Bukan dengan cara mengancam ingin minggat."

Kirana terdiam. Ia tidak menyalahkan Nia jika enggan membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Sesuatu yang wajar karena ia pun tidak ingin menawari Nia kesibukan itu. Ia tidak sanggup karena waktunya pun tersita untuk pekerjaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun