Aduh, rasanya masa depan saya terlihat buram.
     Terbayang di pikiran seperti melihat perahu kecil yang jauh dari daratan namun terlihat dekat dengan badai.
     Langit terlihat abu-abu hitam.
     Hembusan angin yang biasanya lembut sejuk namun hari ini terasa sangat kencang. Seakan-akan meniup apapun yang menghadang langkahnya.
     Kalau nasib baik sampai pula ke pantai tapi jika takdir tak bagus maka terdampar jua di dunia lain. Nasib oh nasib.
     Seperti itu pun terasa nasib saya saat ini.
     Di liburkan perusahaan dengan alasan, ada penyakit corona atau covid19. Bisa buat manusia cepat mati.
     Ah! Gawat dong bos. Muka saya takut bos pun terlihat cemas.
     Waktu saya tanya selanjutnya bagaimana? Si bos dengan muka ragu-ragu menjawab ada penyakit kejam bisa buat cepat mati manusia.
     Saya ngomong lagi bahwa takdir manusia sudah ada yang atur di mana saja bisa mati.
Tapi si bos komen dengan bijak bahwa dia sudah tahu tapi ada aturan yang bikin si bos sebel banget.
Saya diam menunggu mulut monyongnya bergerak.
Si bos menatap saya dengan muka bingung.
Saya kenal sama sikap si bos. Saya sudah tiga tahun kerja sama dia. Orangnya baik walau kami punya perbedaan dari status sosial termasuk beda bentuk wajah dan lain cara beribadah.
Selama kerja sama dia, saya jarang kena omel karena kalau si bos pusing paling di bakar tembakau di ruang pribadinya.
Tapi sudah enam bulan ini si bos selalu curhat ke saya.
Katanya kalau hidup saya lebih susah dari hari ini bagaimana? Saya diam doang karena belum punya jawaban.
Pernah sih sekali kasih si bos jawaban tapi si bos balas bicara dengan nada ngejek bahwa dia juga tahu cara seperti itu.
Kerja keras dan doa tiada henti adalah syarat menjadi manusia sukses.
Si bos bosan dengar slogan seperti itu.
Bagi dia saat ini untuk menjadi manusia sukses harus punya banyak informasi menuju Roma.
Mendengar curahan hati si bos sepertinya dia takut jika esok hari hidupnya kembali ke titik nol alias kembali hidup jadi orang miskin.
Saya coba meringankan beban bathin si bos.
Saya ngomong bahwa nasib manusia saat bagus atau sedang jelek sudah di atur oleh Tuhan. Manusia merasa senang atau sedih adalah hasil dari tulisan  tangan pemilik surga dan neraka di dunia lain.
Walau ada individu sukses atau insan yang gagal sebenarnya itulah ketetapannya yang di atas.
Si bos bakar kemenyan eh rokok kretek kesukaannya. Baginya rokok merek lain bukan berisi tembakau bagus tapi delapan puluh persen di isi kertas bekas pakai. Kejam nih si bos!
Aaapaaa! Saya mendadak bego.
Si bos tertawa sampai perut perut buncitnya bergoyang.
Walau muka saya terlihat dungu tapi hati terasa senang melihat si bos bahagia.
Si bos cerita lagi saat dia tidur malam sambil menahan lapar. Namun si bos merubah pikiran negatifnya menjadi suatu persepsi positif. Saat tidur si bos selalu bermimpi makan enak. Aduh!
Boleh menangis tapi jangan berhenti mimpi enak karena dari sana lahir semangat berjuang di hidup yang keras. Asap rokok keluar dari mulut dan hidung pemilik perusahaan beromset lima belas milyar pertahun.
Dulu si bos pernah mau hijrah ke dunia lain akibat nggak kuat lagi menahan sesak di dada.
Hidup terasa sepi. Semua terlihat semu walau ada anak dan istri. Teman dan saudara hanya sebagai pelengkap penderita. Akibat kenyataan yang memberikan kisah bahwa uang adalah segalanya.
Kalau ada uang dunia terasa damai. Saat sakit masih bisa merasa senang karena masih bisa membeli obat. Nggak bingung  untuk belanja sembako dan belanja ehem-ehem.
Tapi kalau kantong kosong kok seperti hidup di peti mati. Nggak bisa kemana-mana. Â Bagaimana mau kemana? Kan nggak punya uang. Ya udah telan sendiri aja ludahmu.
Namun kita sebagai manusia biasa tetap harus menerima seleksi alam hukum rimba.
Di dalam aturan seleksi alam hukum rimba mahluk yang mampu bertahan adalah wujud perkasa.
Kalau kalimat itu di tempelkan kepada realita hidup saya adalah, kalau ingin menang persaingan untuk kembali ke dunia kerja saya harus punya kekuatan yang mampu mengalahkan para pesaing.
Saya harus punya kekuatan yang lebih kuat dari pesaing. Namun apakah saya mampu menang? Sedangkan si bos terpaksa merumahkan karyawan dan diri sendiri.
Si bos yang punya uang bejibun gede kayak gunung karakatau harus menangis melihat pintu kantornya di gembok pemerintah karena bandel masih buka saat ada wabah corona.
Tapi si bos ngomong lagi ke saya untuk jaga kesehatan badan dan otak. Usahakan tetap waras. Karena nanti kalau masalah sudah usai semua karyawan bakal di panggil lagi tanpa ada tes penerimaan.
Gaji bakal di sesuaikan tapi harus sabar karena yang namanya usaha nggak semudah membalikan telapak tangan, nasehat si bos.
Semoga kita menang di dalam seleksi alam hukum rimba. Amin.
Saya menangis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H