Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Slow Living di Jakarta

24 Desember 2024   00:20 Diperbarui: 24 Desember 2024   00:20 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hidup di Jakarta | Foto : Kompas.com/ Unsplash (Fuad Najib)

Kututup buku Tanpa Rencana, karya Dee Lestari. 

Salah satu cerpennya yang berjudul "Temu & Power Rangers", membuatku merenung, "iya ya, betapa kerasnya hidup di Jakarta".

Demi bisa menyambung hidup, orang bekerja keras dari pagi sampai malam,  belum lagi lelah yang amat sangat karena perjalanan yang mestinya bisa ditempuh dalam waktu hanya 15 menit, bisa menjadi 30 menit bahkan 1 jam, karena padatnya kendaraan. 

Ditambah, dalam perjalanan harus berjibaku dengan polusi, bikin pikiran makin penuh, selain pekerjaan. 

Pulang ke rumah, mesti harus menghadapi anak dan mama yang masing-masing memiliki keinginan dan tuntutan. 

Mungkin bukan hanya Jakarta, namun aku yang terbiasa tinggal di Jakarta, juga turut berempati dengan karakter Bapak dalam cerpen tersebut.

Sesuatu yang ga mungkin, tapi aku mau tidak mau membayangkan Jakarta yang menawarkan kenyamanan hidup bagi warganya.

Bangun tidur, ku buka jendela rumah, kemudian mendengar suara ayam berkokok.

Udara pagi yang sejuk langsung menerpa wajahku, dan ahh... tercium daun-daun yang segar, yang membuat hidung dan kerongkonganku begitu adem.

Sinar matahari menyinari kebun rumahku, belum lagi telingaku dimanjakan dengan suara kicauan burung.

Bisingnya kendaraan, aku hanya mendengar sayup-sayup.

Indah benar pagiku.

Serasa aku berada di kampung halaman.

PPN 12% ga terasa berat bagiku, karena aku mendapatkan hakku sebagai warga negara. Kehidupan yang layak, dengan suasana tinggal yang tentram.

Kemudian aku menyiapkan bekal untuk anakku yang sebentar lagi akan pergi ke sekolah.

Kubayangkan anakku berusia sekitar 6 tahun, berarti kurang lebih kelas 1 SD.

Ia sangat bersemangat sekali sekolah, karena sebentar lagi teman-temannya akan menjemputnya. Bersama-sama berjalan kaki.

"Pergi dulu, Ma", ia pamit denganku sambil salim.

Menurutku salim bukan bagian dari agama, tapi tindak-tanduk kesopanan. Guru-guru di sekolah, mengutamakan pendidikan karakter pada usia golden age. Dan aku setuju.

"Hati-hatii", kataku dengan riang.

"Pergi dulu ya, Tantee..", sapa teman-teman anakku dengan sopan.

Aku percaya mereka bisa menjaga dirinya sendiri, karena kami, para tetangga saling kenal, minim gunjingan.

Para tetangga saling menjaga, dan hampir tidak ada pengendara mobil ataupun motor yang ugal-ugalan.

Belum lagi di kota ini, pemerintah daerahnya bisa menciptakan kesejahteraan yang merata, jadi kriminalitas tidak ada sama sekali.
Anak-anak kami mendapatkan haknya untuk merasa aman melangkah keluar dari rumahnya.

Mereka juga bisa belajar mandiri, sekaligus bisa bermain leluasa dengan teman-temannya.

Begini kondisinya, rasanya PPN 12% dan pajak lainnya serasa ga memberatkan, karena keamanan anakku dan teman-temannya, terjamin dengan baik.

Lanjut, aku menyiapkan diri untuk pergi bekerja.

Kantor yang tidak jauh dari rumahku, dan bisa ditempuh hanya dalam waktu 15 menit jalan kaki.

Aku senang berjalan kaki, karena udara di sini begitu bersih.

Kendaraan yang lewat juga begitu minim, lagi pengendaranya juga santun, paham aturan lalu lintas.

Mereka yang bisa berkendara, benar lulus ujian berkendara, bukan yang asal bisa bayar, kemudian mendapatkan SIM.

Polisi disini, ga mata duitan, sangat tegas terhadap aturan. Sama sekali ga bisa dibujuk rayu dengan uang damai.

Begini, rasanya aku rela gajiku dipotong pajak, karena aku juga mendapatkan keamanan, dan tahu pemerintah hadir untuk menjamin keselamatanku, tentu juga warga Jakarta lainnya.

Ditempat kerja, jujur saja, kami jarang libur.

Tapi memiliki waktu istirahat dan jam kerja yang jelas.

Atasan kami mengutamakan produktif yang berkualitas, bukan sekedar kuantitas.

Tentunya hal ini diperlukan kreativitas, supaya omset bisa mencapai target.

Juga, biaya operasional dan produksi kami ga terlalu tinggi, karena pemerintah bisa memberikan kebijakan yang ketat.
Kami bersaing sehat dengan perusahaan lokal lainnya.

Andaipun ada perusahaan asing, pemerintah memiliki regulasi yang jelas, sehingga daya jual perusahaan lokal tidak terganggu.

Biar begitu, perusahaan asing juga mendapatkan benefit yang baik, yang dimana perusahaan dan negeri kami mendapatkan keuntungan yang seimbang.

Pemerintah di Jakarta, susah dibujuk dan disogok, apalagi kalau hal tersebut bisa mengancam perekonomian warganya.
Mereka memikirkan kesejahteraan hidup warganya.

Jadi harga dan kualitas barang impor tidak akan pernah melibas usaha lokal.

Gaji di Jakarta, tidak terlalu tinggi seperti yang dibayangkan orang.

Seadanya saja, namun kami masih bisa menabung.

Harga kebutuhan pokok bisa kami dapatkan, karena pemerintah mampu menyeimbangkan harga.

Diluar Jakarta, para petani diberikan fasilitas dan bimbingan oleh pemerintah daerahnya untuk menghasilkan hasil pertanian yang terbaik, dengan harga yang terjangkau.

Jadi, negeri kami tidak mengimpor barang-barang yang sudah ada di negeri kami. Justru kami mengimpor hasil pertanian dan perkebunan, juga perikanan.

Yang kami impor adalah barang-barang yang tidak ada di negeri kami, seperti keyboard yang estetik, kendaraan listrik dan elektronik lainnya. 

Pemerintah kami sangat mampu menjaga hajat hidup orang banyak, termasuk sumber dayanya.

Kami tidak dilatih untuk memiliki mental yang miskin, yakni menunggu bantuan pemerintah. Kami dilatih untuk bersama membangun bangsa ini bersama pemerintah, dengan produktif, dan kreatif dalam berinovasi dengan sumber daya yang negeri ini miliki.

Ah, seperti ini rasanya pajak yang dikenakan oleh pemerintah, terasa ga berat.
Karena pemerintah hadir sebagai pengayom yang mampu bertanggung jawab pada kehidupan rakyatnya. Hampir tidak ada pemberitaan tentang korupsi. 

Presiden kami sangat tegas, ketika ketahuan korupsi, maka akan dimiskinkan. 

Diampuni, namun tidak lagi tinggal di kota, melainkan diasingkan ke tempat terpencil, bersama satu keluarga besar, berikut dengan kerabat yang menjadi satu keturunan, termasuk rekan-rekannya yang berkomplot.

Tentu melihat ketegasan sang Presiden, membuat para menteri, sekaligus jajaran pejabat ataupun staff dibawahnya segan untuk korupsi, karena risikonya jauh lebih menakutkan ketimbang korupsi.

Enaknya di Jakarta, selain hidup kami terjamin, kami juga bisa mendapatkan hiburan dengan mudah.

Kami ga gampang stres. Durasi perjalanan ga terlalu lama, udara juga sejuk, dan kondisi sosial sangat aman dan nyaman.

Kami tidak perlu sering pergi ke tempat yang estetik sambil menikmati kopi susu yang mahal. 

Cukup dengan duduk-duduk di teras rumah, sambil ngopi tubruk yang hangat, sudah menjadi me time yang indah.

Kami ga kekurangan teman, karena disini aku dan para tetangga bisa saling mengobrol dan bernyanyi dengan riang, sambil menikmati hidangan hasil kebun kami.

Tentu kami ga kekurangan pemandangan yang hijau ataupun langit yang biru, karena pemerintah mampu membuat tata kota yang seimbang.
Ada properti, pusat bisnis, namun tetap memperhatikan kesehatan lingkungan hidup.

Hmmm... ini Jakarta tahun berapa, ya? Sudah pernah terjadi atau belum ya?

Kalau belum, Jakarta masih bisa mencapai kemakmuran seperti ini kan, ya, sebelum tenggelam ....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun