Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

SDM Rendah versus SDM Tinggi di Negara yang Sama

16 Agustus 2024   13:59 Diperbarui: 19 Agustus 2024   13:04 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi SDM | Foto : Pexels.com/by Pawel L

SDM Rendah...

Entah mengapa kening saya selalu mengkerut ketika membaca atau mendengar istilah "SDM Rendah". 

Perbedaan cara berpikir ataupun opini, ternyata mudah menyulut orang untuk menyebut "SDM Rendah". 

Pemberitaan, konten ataupun obrolan yang seharusnya berjalan damai dan baik-baik saja, menjadi arena bertinju kata antar para netizen yang berbeda cara pandang.

Belum lagi, budaya kita yang selama ini sering buang sampah sembarangan, merokok saat berkendara, dan sebagainya, selalu dikaitkan dengan istilah SDM Rendah. 

Penyebutan istilah yang menurut saya cukup arogan, dan bernuansa narsistik, dimana orang yang mengatakan merasa paling hebat, atau bisa juga merasa diri yang paling benar.

Terkadang dalam live sebuah e-commerce, memang ada saja penonton yang komentar terlalu ceplas-ceplos dan agak menyakitkan hati. 

Contoh, "Aneh, bangga banget jual tas KW, tapi ambil cuan dari buyer, buat beli tas ori".

Sontak, pemilik sekaligus host dalam live tersebut emosi, dan menyebut kalimat "ga level dengan SDM Rendah, miskin", dan itu bisa diucap berulang-ulang hingga kurang lebih satu jam.

Kalimat penonton live yang memancing emosi pemilik dan host live, tidak sepenuhnya saya benarkan, karena cara orang mendapatkan penghasilan berbeda-beda. Bila tidak senang, akan lebih baik skip saja.

Namun orang yang merespons pun seperti juga menunjukkan levelnya sebagai sesama SDM Rendah. 

Kalimat rendah tidak hanya merujuk pada kemampuan berpikir ataupun finansial saja, cara mengendalikan emosi juga rasanya termasuk dalam kategori rendah.

Dalam ilmu psikologi, orang yang tidak mampu mengendalikan emosi, dikategorikan ber-EQ rendah. 

Bukankah itu berarti penonton dan pemilik sekaligus host live tersebut memiliki tingkat intelektual yang sama rendahnya?

Penonton kurang menghargai bagaimana orang mendapatkan rezekinya, toh, yang membeli senang-senang saja. 

Pihak e-commerce dan pemerintah sendiri tidak banned live orang tersebut, artinya semua baik-baik saja.

Pemilik sekaligus host live-nya juga tidak bisa mengendalikan emosi sampai harus mengulang kata SDM Rendah dan Miskin berulang-ulang.

Lantas mengapa harus saling mengejek?

Kemudian, ada konten dimana pengendara motor malah ngeyel ketika ditegur dan ditilang oleh polisi karena melanggar aturan berkendara.

Jawaban si pengendara motor pastinya membuat orang yang mendengar cukup panas. 

Contoh, "mau lewat jembatan ini lagi ga, Pak, kalau sudah ditilang?", tanya polisi.

"Tergantung. Kalau ada polisi ya, engga", sahut si Bapak pengendara.

Namun ada kalimat si Bapak yang membuat saya tersenyum sendiri, dimana polisi, sebagai lembaga yang melindungi rakyat, seharusnya menjaga dibagian yang tidak boleh dilewati oleh pengendara, dengan begitu mencegah pengendara yang salah jalan. 

Melatih pengendara untuk mematuhi aturan yang berlaku.

Bukannya malah mencegat para pengendara ditengah area yang dilarang, setelah melakukan kesalahan, yang berujung pada "uang damai". 

Tidak salah juga dengan opini Bapak pengendara tersebut, karena banyak negara maju yang menerapkan polisi untuk berjaga di ujung area yang rentan dilanggar aturannya.

Tapi bukan kontennya yang menjadi pusat perhatian saya, melainkan cara beberapa warganet yang berkomentar.

"Begini, nih, kalau SDM Rendah dikasih tau."

"Bagaimana negara bisa maju kalau masih banyak SDM Rendah seperti ini?"

Hmm.. saya menjadi bertanya-tanya SDM Rendah itu maksudnya apa sih sebenarnya?

Karena yang berkomentar seperti itu rasanya juga termasuk SDM Rendah karena tidak bisa mengendalikan dirinya untuk tidak merendahkan orang lain, tanpa mengetahui situasi yang sebenarnya.

Lantas seperti apa SDM Tinggi?

Apakah itu berarti SDM yang pemikiran dan opininya harus sama dengan orang yang berkomentar?

Budaya pergaulannya harus sama seperti orang yang berkomentar?

Tutur kata dan sikapnya harus sama seperti orang yang berkomentar?

Atau orang yang bisa langsung menghakimi seseorang hanya melalui sepotong video atau berita, lantas langsung disebut sebagai SDM Tinggi?

Saya rasa di negara yang sarat akan pluralisme, tidak dari budaya saja, tapi juga pendidikan, ada baiknya untuk saling menjaga komentar.

Kalau tidak suka, lebih baik skip saja, dibanding memicu emosi.

Kalau ada yang bikin emosi, lebih baik tidak perlu direspons, atau tegur saja sekali, langsung block.

Pendidikan sangat mempengaruhi cara berpikir seseorang, tidak semua murid sekolah mendapatkan pendidikan yang terbaik, baik dari orang tuanya, lingkungan ataupun sekolah, dikarenakan situasi.

Cara berpikir seseorang terwujud dalam tutur kata, cara menyikapi situasi, dan bahkan cara mengolah emosi.

Budaya pergaulan seseorang, juga sangat mempengaruhi dalam bagaimana cara dia bersikap, seperti membuang sampah, mengantre di toilet, area mana yang harusnya merokok.

Di era yang serba canggih, termasuk mudahnya kita dalam mengakses sosial media, membuat kita semua saling terhubung, dan mengenal, bahkan saling mempengaruhi.

Mengapa tidak kita gunakan untuk meluruskan budaya yang selama ini melenceng? 

Atau bisa juga dijadikan sebagai media pembelajaran untuk berdiskusi dengan orang yang, ternyata, memiliki cara berpikir yang berbeda, yang bisa juga kita kategorikan "ajaib".

Buang sampah sembarangan sudah menjadi budaya kita sejak masa kolonialisme.

Dan itu sudah berlangsung dari generasi ke generasi, karena dulu sampahnya masih mudah terurai, dan tidak ada plastik.

Plastik baru masuk ke Indonesia pada tahun 1950. Juga, belum ada pemahaman seberapa bahaya sampah plastik bila dibuang sembarangan.

Sayangnya, sedari kecil, tidak semua sekolah menerapkan pelajaran karakter, banyak yang lebih mengedepankan akademis, sehingga pemahaman mengapa sampah harus dibuang pada tempatnya sangatlah minim.

Dan tidak semua orang memahami apa itu sampah organik dan non-organik.

Jangan lupa juga, banyak dari kita yang terlatih disajikan informasi, baik dari orang tua, lingkungan ataupun sekolah, sehingga inisiatif untuk mencari informasi sangat lah sedikit. 

Hal ini dibiasakan bahwa lembar jawaban yang diberikan guru adalah mutlak, maka anak tidak terlatih untuk mencari tahu, mengapa jawabannya harus seperti ini.

Andai bertanya pun pada orang tua, bisa jadi orang tua sudah emosi duluan, karena sudah sangat lelah bekerja. 

Atau bisa juga ditertawakan karena pertanyaan si anak lucu, padahal itu adalah pertanyaan dimana syaraf otak anak sedang terpancing untuk bersikap kritis terhadap sesuatu.

Melihat situasi ini, bukankah ada baiknya, orang yang paham, membuat konten edukasi yang diselingi humor ataupun bernuansa estetik.

Mungkin viewers-nya tidak terlalu banyak, tapi kalau konsisten, lama-kelamaan akan mendapatkan perhatian publik, bukan?

Kemudian merokok saat berkendara, juga sudah berlangsung lama. 

Mereka yang melakukan mungkin sudah terbiasa, dan tidak ada teguran selama ini, karena keadaan cuaca Indonesia dulu jauh lebih nyaman dibandingkan saat ini.

Biasanya orang melakukan sesuatu karena hal yang sudah biasa dilakukan, bukan berpikir ulang. 

Tidak semua orang dididik untuk memikirkan sebab akibat, melainkan melakukan apa yang biasanya dilakukan, tanpa perlu memikirkan akibatnya.

Atau mungkin sebagai cara melepas stres, dan merasa itu adalah bagian dari ekspresinya. 

Bukan kah saat ini kita diizinkan untuk berekspresi lebih bebas?

Namun hal yang kita lupa adalah berekspresi pun tetap harus menjaga kondisi sekitar lingkungan kita tetap kondusif.

Dibandingkan bilang "SDM Rendah", bukankah lebih baik kita membuat konten edukasi tentang bahaya merokok saat berkendara? Dan bagaimana kalau hal tersebut terjadi ke diri mereka ataupun keluarga?

Seperti orang menjadi buta karena abu rokok yang terbang, orang menjadi rentan asma karena mengisap polusi udara dan asap rokok sekaligus. Apalagi kalau orang yang terkena adalah tulang punggung keluarga.

Bukankah SDM Tinggi, seharusnya mampu mempersuasi dan mengedukasi SDM yang dianggap rendah, karena orang yang tahu biasanya mau berbagi pengetahuan? Juga, paham mana yang perlu direspons ataupun tidak direspons.

Bukannya malah mengejek atau emosi yang tidak terkendalikan, menandakan level SDM yang sama, rendah.

Yang satu tidak berpengetahuan, yang satu lagi tidak bisa mengendalikan emosi.

Bukankah lebih baik kita bersama-sama menciptakan SDM Unggul di negara yang sama?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun