Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Ketika Didikan Seorang Ibu, Baru Terasa oleh sang Anak Setelah Kepergiannya

26 Desember 2023   12:41 Diperbarui: 26 Desember 2023   21:24 932
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang mama | Foto : Pexels.com / Josh Willink

Ga bisa mewarisi harta, tapi gue cuman bisa bekalin ilmu, biar lu pada bisa mandiri dan diterima masyarakat"

Itulah omongan mama yang sampai sekarang selalu saya ingat sampai sekarang. 

Setiap nasihat dan omelannya selalu terselip kalimat tersebut, sampai dulu saya bosan sendiri, dan dalam hati menjawab dengan dumelan, "ya, ya, ya, ga dapet harta. Tenang, ga akan minta juga".

Saya tidak paham sama sekali makna dari ucapan tersebut, yang ternyata sangat berguna di momen penting bagi saya, yakni saat saya benar-benar full masuk dalam dunia kerja, dan ketika kedua orang tua saya sudah tiada. 

***

Mama saya memiliki prioritas untuk anak, yakni pendidikan, baik itu karakter dan akademis. 

Proses mendidik kami tentunya memerlukan peralatan pendidikan ala baby boomers, seperti rotan, ikat pinggang, pentungan, dan sebagainya. Belum lagi kejar-kejaran, supaya ga kena timpuk, serta omelan panjang yang pastinya membuat kuping merona merah, terkadang nyelekit di hati. 

Itu terjadi kalau kami malas belajar, berlaku kurang ajar dan tidak mematuhi aturan rumah. 

Melawan omongan orang tua dengan sahutan, adalah suatu pantangan besar bagi kami. Kami hanya boleh menyahut dan bertanya ketika orang tua sudah selesai ngomel dan menasihati.

Harus selalu menyapa orang yang kami temui, menjadi sesuatu yang wajib. Kami tidak dibiasakan tantrum di depan umum. Hoho.. berani tantrum, tambalan biru-biru sudah pasti menempel di tubuh kami. 

Menjadi juara umum di sekolah, tidak menjadi prioritas mama saya. Tapi sangat penting baginya, kami mengerti apa yang kami pelajari. Mampu menganalisis apa yang sudah kami pelajari. 

Beliau sangat terbuka terhadap pertanyaan-pertanyaan kami yang bisa dikategorikan nyebelin untuk dijawab, tapi selama itu pertanyaan karena rasa penasaran, belum pernah mama mengkritik kami. Semuanya dijawab dengan sabar, atau kalau mama tidak bisa menjawabnya, kami mencari jawabannya bersama-sama. 

Contohnya ada satu pertanyaan yang terlontar, "apa bahasa manusia pertama kali, selain uga uga (istilah saya dalam menyebut bahasa manusia purba yang saya tonton dalam kartun)?"

Mama pun membeli peta dunia, kemudian bersama-sama kami membaca buku Ensiklopedia, lalu disandingkan dengan membaca Alkitab (kitab suci agama Katolik). 

Dari penemuan ala-ala, kami menemukan bahwa bahasa pertama kali adalah bahasa Ibrani, karena dulu daratan di bumi adalah satu.

Kemudian dalam Alkitab yang menceritakan Menara Babel, dimana Tuhan murka manusia bersikap sombong, karena membuat menara menembus langit untuk bertemu dengan Tuhan. Dalam murkanya, Tuhan membuat manusia saling tidak mengerti satu sama lain dalam berbahasa, tempat tinggal pun menjadi terpisah karena perbedaan bahasa. 

Menurut Ensiklopedia, terjadi pecahan lempengan, belum lagi adanya bencana alam, seperti meletusnya gunung berapi, tsunami dan sebagainya yang terjadi dalam kurun waktu bertahun-tahun, membuat daratan terpecah belah, kemudian manusia membentuk ekosistem baru, sehingga manusia pun hidup berkelompok. 

Sedari kecil, kami ditanamkan agar tidak mengartikan apa yang ditulis dalam Alkitab secara harafiah. Tapi ada pesan dan makna yang dalam per kalimat, dan harus dimaknai setelah membaca secara keseluruhan, itupun harus dengan memakai panduan buku yang sudah ada.

Tentu saja penemuan ala-ala kami belum tentu benar, akan tetapi dari situ, kami, sebagai anak-anak, paham kalau kami tidak tahu, yaa kami harus mencari tahu, bahkan tidak malu bertanya pada orang yang lebih ahli.

***

Mama selalu memaksa saya untuk belajar, bahkan menyelesaikan pendidikan hingga kuliah.

Saya sangat benci dengan paksaan tersebut, kala itu. 

Buat saya, belajar tidak pernah menyenangkan karena harus selalu berhadapan dengan beragam sabetan. Pendidikan di sekolah sangat membosankan bagi saya.

Disana saya hanya boleh menghafal, kemudian melakukan apa yang diminta oleh guru. Belum lagi hasil saya begadang semalaman untuk mengerjakan tugas, hanya dinilai dari tebalnya lembaran kertas klipping. 

Saya sama sekali tidak melihat manfaat dari belajar di sekolah. Saya lebih senang bekerja, karena langsung mendapatkan uang. Sehingga saya bisa membeli barang yang saya inginkan tanpa merepotkan mama.

Hanya satu guru, dari sekian guru yang ada, membuat saya semangat belajar. Beliau selalu mengajak murid-muridnya berdiskusi, dan menganalisis apa yang kami pelajari. Berikut dengan nilai ulangan, yang beliau lihat adalah kemampuan kami dalam berpikir, bukan sekedar menghafal, sampai titik koma dalam buku teks harus sama persis.

Mendengar tentang bagaimana cara para gurunya mengajar di sekolah, mama sempat membujuk hingga memaksa saya untuk pindah sekolah.

Tapi saya tidak mau, karena saya sudah senang dengan teman-temannya, ditambah biaya sekolah lain mahal. Belum lagi jam sekolahnya sangat panjang, membuat saya tidak bisa bekerja paruh waktu. 

Jauh di lubuk hati juga saya sadari bahwa keinginan belajar saya sangat rendah. Saya tidak mau membebani mama, yang sudah bekerja sangat lelah demi keberlangsungan hidup kami, tapi hasilnya malah membuatnya kecewa. 

Saat itu saya sama sekali tidak paham, alasan mama sangat ingin saya pindah ke sekolah yang lebih berkualitas, walaupun biaya lebih mahal jauh.

***

Mulai memahami maksud mama begitu keras terhadap kami, baik dalam pendidikan, serta bersikap pada orang lain, ketika saya mulai bekerja full time. 

Dalam dunia kerja, kita harus pandai beradaptasi dan pandai menganalisis keadaan, serta apa yang dikerjakan. 

Beradaptasi dengan sikap, sangat mudah saya lakukan. Bersyukur, dimanapun tempat saya bekerja, saya mampu beradaptasi dengan rekan kerja dan atasan, sehingga terhindar dari lingkungan toxic. Dari sekian tempat kerja, beruntung hanya satu lah yang bermasalah. Hehe.. 

Tapi menganalisis keadaan dan apa yang dikerjakan, hanya bisa saya lakukan dengan meraba-raba, karena saya terbiasa menghafal.

Hanya di rumah saja, saya dibiasakan untuk menganalisis, ketika mama ada di rumah. Tentu pengajaran dari mama ada batas waktu, karena mama saat itu lebih lama bekerja, ketimbang di rumah.

Baru saya sadari betapa pentingnya sekolah yang berkualitas, tidak hanya yang penting sekolah dan mendapatkan ijazah, karena biasanya guru-guru di sekolah berkualitas, akan memancing anak untuk berpikir kritis, minim menghafal.

Beruntung sedari kecil, mama sering memecut saya untuk selalu mau belajar hal baru, karena ketika mama sudah tiada, saya merasa sudah tidak ada lagi yang saya andalkan untuk bertahan hidup. 

Saya harus bisa beradaptasi dengan zaman, dan itu membutuhkan effort untuk mempelajari hal baru, supaya saya bisa bertahan hidup.

Andai mama tidak keras mendidik saya, saya tidak yakin mampu bertahan sampai sekarang tanpa kehadiran orang tua sama sekali.

Disini lah saya baru menyadari apa yang sebenarnya mama warisi, dan beliau pupuk sejak saya kecil, yakni keinginan untuk terus belajar, dan beradaptasi agar bisa bertahan hidup, serta menggapai impian.

***

Kepergian mama, semakin membuat saya menyadari betapa sulitnya menjadi seorang ibu, dan betapa pentingnya seorang ibu mengenyam pendidikan.

Tidak hanya secara akademis dengan cara menghafal, tapi bagaimana memahami apa yang ia pelajari supaya ketika menyerap suatu informasi, tidak hanya mengikuti saran dari seleb di sosial media saja, melainkan membaca buku dan jurnal tentang beragam hal. 

Walaupun ada peran Ayah dalam rumah tangga, tapi sebagian besar adalah Ibu yang pertama kali memberikan "goresan" untuk karakteristik anak dan cara anak berpikir.

Ketika sang Ibu malas belajar, maka jangan mengharapkan si anak dengan sendirinya bisa menjadi anak yang ia harapkan. Karena bagi seorang anak, orang tua adalah pusat dunianya, dimana segala tindakan dan ucapan menjadi teladan baginya.

Hal ini seturut apa yang diperjuangkan oleh Ibu R.A Kartini di Jepara, kemudian ada Ibu Dewi Sartika di Jawa Barat, dan masih banyak lagi, bahwa sangat penting bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki. 

Pertama, untuk mendidik anaknya, tidak hanya secara akademisi, tapi juga secara karakteristik. Kedua, agar istri bisa mendampingi suami untuk berdiskusi, tidak hanya dijadikan "hiasan" ataupun asisten dalam rumah tangga.

Kedua hal ini terus diperjuangkan para perempuan dari berbagai provinsi masa itu, karena banyak sekali kaum perempuan yang sudah menikah, ditinggalkan begitu saja karena dipoligami oleh para suami.

Dan hal tersebut dianggap wajar, terutama untuk perempuan yang sudah menikah, namun tidak dapat memberikan keturunan laki-laki sesuai dengan ketentuan waktu yang diharapkan orang sekitar.

Seperti dalam pribahasa, "sudah jatuh, ketimpa tangga pula", perempuan yang ditinggalkan belum tentu diterima dengan baik oleh keluarganya. Malah, mendapatkan celaan karena dianggap mempermalukan keluarga akibat ditinggalkan oleh suami. 

Suatu keadaan yang miris untuk diterima saat ini, bukan? 

Beruntung ada perjuangan dari para ibu-ibu Indonesia pada masa itu, hingga membuat Kongres Perempuan 1 sampai 3, supaya hak sebagai perempuan untuk mendapatkan kesetaraan dengan pria bisa diterima secara nasional. 

Dengan begitu, kita sebagai perempuan, kini bisa mengenyam pendidikan dengan lebih leluasa, dalam pernikahan pun kita bisa memutuskan dengan pertimbangan bijak apakah perlu dilanjutkan atau cukup sampai di sini tanpa perlu takut dihindari, dikecam ataupun dihina oleh orang-orang disekitar kita.

Anak-anak juga bisa dididik dengan baik, karena sang Ibu mendapatkan pendidikan yang layak. Tidak melulu disalahkan dalam rumah tangga, ketika anak tidak melakukan hal yang baik di mata sosial.

Presiden Sukarno, pahlawan yang kini malah diolok-olok oleh generasi muda karena sepak terjangnya dengan para perempuan, tidak fokus dengan apa yang beliau perjuangkan untuk bangsa dan negara, menjadi sosok yang mendukung kesetaraan perempuan dengan pria, hingga keluar lah Dekrit Presiden no. 316 tahun 1959 yang menetapkan tanggal 22 Desember sebagai hari Ibu.

Tanggal 22 Desember menjadi peringatan nasional, karena tanggal tersebut menjadi hari dimana pertama kali para perempuan membentuk organisasi, bernama Perserikatan Perempuan Indonesia (PPI)  dengan tujuan untuk mendapatkan haknya supaya diterima secara nasional, yang tuntutannya dijabarkan dalam tiga mosi, antara lain :

  • Tuntutan penambahan sekolah rendah untuk perempuan.
  • Perbaikan aturan dalam pernikahan
  • Mengenai dukungan janda dan anak yatim

Persetujuannya sendiri sebenarnya dicapai tahun 1938, dimana perempuan mendapatkan haknya untuk setara dengan pria, dalam pernikahan, namun tetap berlandaskan atas kodrat dan kewajiban masing-masing peran.

Kalau 10 Mei memperingati hari seorang Ibu secara internasional, tapi di Indonesia, 22 Desember memperingati seorang Ibu yang memperjuangkan kesetaraannya dengan pria dalam sebuah keluarga di mata masyarakat, sebagai seorang perempuan, istri sekaligus ibu.

Walau terlambat, saya ingin mengucapkan "Selamat Hari Ibu" kepada seluruh ibu di Indonesia yang pastinya mendedikasikan diri untuk anak dan suaminya, baik itu berperan sebagai ibu rumah tangga ataupun working mom.

Semangat selalu

Referensi

  • Irianti, Dini Indri. 22 Desember 2023. Memahami Lebih Jauh tentang Sejarah Peringatan Hari Ibu di Indonesia. Diakses dari Djkn. kemenkeu.go.id
  • Tour, Pramoedya Ananta. 2003. Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta :  Lentera Dipantara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun